Tuesday, August 31, 2021

 Hawa nafsu dan syahwat manusia itu cenderung tak mau susah. Inginnya hidup mudah, tanpa tantangan, nyaman dan meraup kenikmatan selama mungkin. 


Tapi istilah "selama mungkin" pun adalah sebuah ilusi. Karena kita dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa semua hal berbatas waktu di dunia ini. Situasi pandemi yang tengah mencengkeram dunia saat ini menyadarkan kita bahwa kematian itu nyata dan demikian dekat. Bahwa itu bukan sebuah skema di masa yang jauh dan membuat kita tenang saja dengan alasan "cease the day" lalu menjustifikasi syahwat sendiri untuk untuk meraih apa-apa yang dia inginkan. 


Ironinya adalah dalam upaya melindungi dirinya dari sakit dan derita, manusia malah menggali lubang sendiri dalam sebuah kubangan kesengsaraan yang tak berujung. 


We tried so hard to numb our pain. Sakit yang timbul dari kekecewaan kita, sakit yang diakibatkan oleh trauma, sakit hati karena perlakuan orang dekat. Kita coba mengatasinya dengan melarikan diri dari semua itu. Menyingkir jauh-jauh dari sumber sakit. Memutus komunikasi, pretend that it never happened, mengalihkan kepada kesibukan atau kesenangan lain yang berfungsi seperti obat anti nyeri yang hanya menghilangkan rasa sakit itu sesaat. And yet, it never worked, we still feel the pain somehow.


Sekarang saya mulai paham, bahwa upaya untuk keluar dari rasa sakit di alam dunia ini adalah bagaikan mengejar bayangan sendiri. Kita merasa sudah berlari jauh tapi ia tak akan pernah terjangkau.


Jalaluddin Rumi berkata , "Wahai jiwa, jangan melarikan diri dari rasa sakit, akan tetapi carilah obat di dalam sakit itu sendiri." 


Karena obat dari setiap sakit kita ada di dalam rasa sakit itu sendiri. Solusi dari permasalahan kita ada di masalah itu sendiri.

Jalan keluar dari kemumetan dunia kita ada di dalam labirin kehidupan itu sendiri.


Artinya rasa sakit yang kita rasakan adalah sebuah keniscayaan dari sebuah proses terbukanya sebuah khazanah baru dalam diri. Seperti halnya tak akan ada sebuah kelahiran tanpa sebuah kontraksi. Dan semua ibu yang pernah melahirkan tahu persis bagaimana rasanya meregang nyawa menahan sakit saat melahirkan.


Kita harus belajar menahan derita dalam kehidupan. Belajar sabar menghapi hal yang tidak masuk akal. Belajar tawakal kepada Dia dalam menapaki masa depan yang penuh misteri ini. That it's okay not to be okay.


Tanda kedewasaan adalah kemampuan untuk menelan pil pahit dalam kehidupan. Kita harus terbiasa menelan kedukaan. Itu satu-satunya cara untuk bertumbuh. Sebagaimana raga pun merasa sakit saat ia bertumbuh. A growing pains.


"...Bersabarlah terhadap apa yang menimpamu..." firman Allah Ta'ala dalam QS Luqman: 17

No comments:

Post a Comment