Tuesday, June 27, 2023

 Apa kesamaannya antara mencuci piring dan menerjemahkan buku.

Atau antara mengasuh anak dan hening berdzikir di atas sajadah.

Atau antara mendengarkan curhatan orang dengan bermunajat kepada Allah.

Atau antara berjibaku mencari nafkah dengan duduk manis mendengarkan pengajian.

Atau antara melayani satu orang dan melayani 1000 orang.

Atau antara berbicara dengan pimpinan negara dengan bicara dengan tukang parkir.


Apa benang merahnya?

Apa hal yang menyatukan itu semua?

Apa causa prima dari semua fenomena dan kegiatan itu?


Buat saya, semua menyatu karena keluar dari sapuan tinta ciptaan Sang Pencipta yang mewujud menjadi takdir.


Ada Tuhan di balik sesuatu.

Ada Tuhan di balik anak yang rewel.

Ada Tuhan di balik kondisi fisik yang ada.

Ada Tuhan di balik setiap pasang surut kehidupan, siang-malam, terang-gelap, keberlimpahan dan kesempitannya.


Keberadaan-Nya membuat hidup menjadi bermakna. Karena tak ada sesuatu yang Dia izinkan kecuali pasti didasarkan ilmu dan timbangan kebenaran-Nya.


Kesadaran bahwa Dia ada di balik sesuatu membuat kita bisa lebih menerima takdir kehidupan kita dengan lebih suka cita. Menyadari bahwa semua sudah dikadar dan bahwa apa yang luput dari kita diganti dengan sesuatu yang lebih baik. It’s always a win-win solution. Tak ada kerugian dalam kacamata orang yang beriman. Perkara belum sampai pemahaman dan ilmunya tak masalah, orang beriman terbiasa berjalan dengan kegaiban dan ketidaktahuan, mereka baik-baik saja karena mengimani bahwa Allah yang akan menjamin semuanya. Bahwa Allah tak akan menelantarkan mereka. Bahwa Tuhan yang sama yang mengirimkan semua fenomena dan keadaan adalah Tuhan yang menjadi sumber utama dari semua hal. Yang menyatukan yang berserak.

Yang menyulam yang tercabik.

Yang merekatkan yang tercerai berai.


Dengannya dia sudah tak lagi membedakan berada di depan sajadah atau di depan laptop.

Work from home atau mengukur jalanan seharian.

Kondisi sehat atau sakit.

Dapat gaji atau untung kecil atau banyak.

Semua fenomena akan selalu datang silih berganti seperti pasang surut lautan. That’s life.


Apapun itu yang sang mukmin lihat adalah tangan Tuhan. Di balik senyuman atau muka masam seseorang. Di balik cacian atau pujian. Di balik saat bahagia atau saat berduka. Ada tangan Yang Kuasa yang mengirim itu semua.


Dan jika engkau betul-betul yang mencari Dia, akankah kau tertawan dengan semua pemberian itu sambil tak melihat Dia yang berada di balik itu semua?


“…agar menjadi jelas siapa yang telah mencintai-Ku dari kalangan umat manusia.”


- Kitab Nabi Idris II, pasal 30

Tuesday, June 13, 2023

 My father, my communication coach


Seumur hidup saya tidak pernah ikut kursus komunikasi atau public speaking. But somehow, kalau saya sudah bicara di depan audiens kata-kata itu mengalir mudah saja. I even get energy from that. Makanya dulu pernah menikmati sekali bekerja sebagai trainer. Jalan-jalan ke pelosok Indonesia sampai keluar negeri untuk presentasi dibayarin kantor hotel dll dan di akhir bulan dapat gaji besar. Wah heaven banget pokoknya. Tapi ternyata Allah Ta’ala memperjalankan saya ke tempat jalan hidup yang lebih presisi. I have to admit, dimanapun saya berada, dalam posisi apapun, communication skill yang Allah berikan membuat saya bisa lebih cepat menapaki karir dan diterima oleh sekitar.


I have to give this credit to my father. Dari beliau saya belajar berkomunikasi dengan orang. He was a chatter. Orang bisa dibuat betah bicara berjam-jam dengan beliau, apapun latar belakangnya. Saya ingat setiap minggu Papa selalu diskusi berjam-jam dengan seorang pendeta dari gereja pentakosta dekat rumah. Walaupun diskusi kerap berlangsung hangat, they agree to disagree. Sebuah kedewasaan dalam berdiskusi yang saya serap secara tak sadar - sambil mulut saya mengunyah sebungkus chiki rasa kaldu ayam kesukaan saya.


Saya lihat Papa begitu luwes menghadapi orang-orang yang dianggap aneh di masyarakat pada saat itu. Kaum transgender yang cenderung dimarginalisasi bisa diraih oleh Papa dan dibuatkan tulisan khusus yang membuat kita lebih memahami kisah hidup mereka.


Papa suka blusukan juga. Mencari informasi ke rumah di gang-gang seputar kota Bandung untuk mewawancarai dan memuat artikel tentang Pak Sariban, seorang petugas kebersihan di Bandung yang memiliki sepeda unik, stang sepedanya diganti dengan stang mobil dengan berbagai hiasan. Orangnya pun seunik sepedanya.


Spesialisasi almarhum Papa adalah mewawancara orang-orang yang memiliki pengalaman khusus dalam hidupnya, sebuah perubahan besar yang mengguncangkan. Mereka yang mungkin cenderung dikucilkan oleh masyarakat. Papa akan datang dan menghabiskan jam demi jam mencoba memahami latar belakang mereka dan menuliskan kisahnya. Sungguh tak mudah membuat orang yang baru ditemui untuk membuka diri dan menceritakan hal-hal pribadinya, apalagi mengetahui bahwa kisah itu akan dimuat di media massa. Papa biasanya punya cara untuk meraih kepercayaan orang itu. 


My father is a very fine storyteller. Dia bisa menceritakan kisah yang biasa didengar jadi demikian menarik lengkap dengan ekspresi dan intonasi yang disesuaikan. Dan saya belajar banyak dari beliau. So, when i friend of mine praise me how a wonderful storyteller and excellent speaker i am. Saya terdiam dan teringat almarhum Papa saya. It wasn’t me. It was him. Kemampuan saya berkomunikasi datang dari orang tua saya. Saya cuma menikmati apa yang ada dan mencoba memanfaatkannya sebaik mungkin agar bernilai akhirat. Agar pahalanya mengalir kepada kedua orang tua saya. Al fatihah❤️


Monday, June 12, 2023

 Ilusi Sebuah Kelapangan


Tadinya saya pikir, kalau saya punya waktu luang lebih banyak untuk diri sendiri, saya bisa lebih produktif untuk menulis. 

Ternyata, berkali-kali saya coba meraup waktu luang lebih banyak dengan menitipkan anak ke ibu, suami, atau memanfaatkan saat mereka sedang mengikuti program summer camp selama seminggu penuh. Ternyata keluangan itu hanya sebuah ilusi, karena entah kenapa saya termakan oleh satu kesibukan dari kesibukan lain sehingga apa yang saya rencanakan pun tak terwujud.


Tadinya, saya pikir kalau saya punya lebih banyak "me-time", saya bisa lebih bisa banyak mengerjakan banyak hal yang terkait passion sendiri. Tapi ternyata, entah kenapa, justru ketika waktu luang saya malah kehilangan arah dan mata air inspirasi seakan berhenti mengalir. Apa yang saya raih di akhir program "me-time" pun tak seperti yang saya bayangkan. 


Saya coba renungkan dimana salahnya. Rasanya secara logika bukan terletak di keluangan yang ada. It was simply an open door. A chance to do something right in front of your eyes. What's wrong then? Kenapa justru ketika saya berada di tengah keluangan seakan "flow" itu berhenti mengalir dan saya kehilangan arah karenanya.


Saya mengawali perenungan saya dengan berdzikir. Dengan kesadaran bahwa tanpa panduan-Nya renungan saya bisa jadi hanya akan menjadi sebuah renungan liar yang tanpa arah. Or even worse, merasa memiliki tujuan akan tetapi sebenarnya tengah didikte oleh si hawa nafsu.


Rasanya ini masalahnya. Perkara penyandaran hati atau tawakal. Bisa jadi saya lebih mengandalkan waktu-waktu luang luang itu dibanding kuasa-Nya. Memang tipis, tapi yang namanya terpeleset atau tersandung itu memang bukan oleh hal-hal yang besar. Bisa jadi saya begitu pede, "ah, asyik dapat waktu luang seharian nih, bisa kerjain banyak tulisan" sambil lupa mengucap "insya Allah" dengan sebuah kesadaran betul bahwa itu semua tak akan terwujud tanpa izin-Nya. 


Kadang, Tuhan bercanda dengan kita melalui hal-hal keseharian seperti itu. Dalam sebuah rencana yang meleset. Dalam sebuah keterlambatan yang tampaknya disebabkan orang lain atau sebuah kemacetan. Atau dalam sebuah kecelakaan kecil seperti terpeleset, teriris pisau, terjepit pintu dll yang mestinya membuat kita berpikir. Are those really only random things happening in my life? Ah, rasanya Tuhan terlalu tinggi daya intelektualitasnya untuk sekadar membuat useless random things.


Di dunia ini kita mengenal Tuhan melalui sifat-sifat-Nya, asma-asma-Nya dan segenap perbuatan-Nya. Sebuah pengenalan awal yang demikian menggairahkan. Sesuatu yang membuat hidup itu tak pernah membosankan.


Dan tentang ilusi sebuah kelapangan yang saya tengah belajar darinya itu. Rasanya memang Tuhan tak perlu sebuah precondition untuk menurunkan karunia-Nya yang bisa berupa ilham, inspirasi, ide, dll. Adalah pikiran kita yang sering membatasi jelajah kuasa-Nya dengan mendiktekan batasan syarat dan ketentuan sendiri. Seolah kalau aku punya itu akan jadi begini. Kalau aku dalam kondisi yang itu akan jadi begitu. Kalau aku bisa begitu akan begono. Ah ribet banget pikiran manusia memang. Padahal Gusti Allah itu lha ya simpel. Apa yang ada syukuri dan lakoni sebaik-baiknya. Agar kita tidak terjebak pada sebuah ilusi ingin berada dalam kondisi yang kata si hawa nafsu "lebih baik". Because this time, this moment, is the best we've got. Make the best out of it!

Sunday, June 11, 2023

 Saya diperkenalkan dengan agama pertama kali oleh kedua orang tua dan almarhum kakek dan nenek. Mereka tak pernah ceramah mengutip ayat atau hadits, paling mengajak shalat sesekali. Itu pun tidak memaksa sampai akhirnya saya yang ingin shalat sendiri bahkan ke masjid sendiri.


Saya belajar agama melalui akhlak mereka. Melalui keceriaan dan keramahan almarhum Papa dalam menghadapi berbagai orang apapun agama, suku dan keyakinannya. Dia bisa masuk ke semua golongan dan membuat orang betah ngobrol berjam-jam dengannya.


Saya belajar kerja keras dan tidak menyerah serta kepemurahan dari Mama, yang tak pernah sekalipun dalam hidup pernah mendengar satu kata keluhan keluar dari lisannya sesulit apapun situasi hidup yanh dihadapi. She’s a rock and keep being my rock. Dari Mama saya belajar indahnya berbagi, karena beberapa kali melihat beliau menghentikan kendaraan sekadar memanggildan memberi uang kepada kakek penjual kangkung, bapak tukang kangkung atau nenek penjual jajan pasar. Dan selalu memberi uang lebih dari yang seharusnya.


Saya belajar ketekunan dari almarhum kakek saya yang pandai membuat berbagai kerajinan kayu. Beliau membuatkan meja televisi dan stroller untuk boneka kecil saya. Dari beliau saya pun diajari teknik menyapukan kuas dan mencamoir warna-warna primer.


Saya belajar kesabaran dan keriangan dari almarhum nenek saya yang tak pernah saya lihat cemberut atau bersungut-sungut sepanjang hidupnya. Kisah kesabaran beliau mengasuh 12 anak dalam keterbatasan dan suasana perang kerap saya dengar dari anak-anaknya sendiri.


Sekarang saya sudah jadi ibu bagi anak-anak saya. Belajar dari pengalaman, saya meyakini bahwa anak-anak lebih menyerap apa yang kita sebagai orang tua lakukan dan pancarkan dalam tindak-tanduk keseharian dibandingkan apa-apa yang kita katakan berbusa-busa. Rasanya itu sebaik-baik cara untuk menjaga fitrah mereka, bukan sekadar mengajarkan doktrin agama but i have to give them the living example. The living Islam. Semoga dengannya jiwanya terus tumbuh dengan disemai oleh sifat-sifat Ilahiyah. Aamiin ya Rabb[]


Amsterdam, 12 Juni 2023/23 Dzulqo’dah 1444 H

Thursday, June 8, 2023

 Give each other space


Marriage is a top sport. Perlu stamina, daya tahan dan kesabaran dalam menjalaninya. Kadang bosan dan jenuh itu ada. Tapi itu pun sesuatu yang harus dilampaui. Salah satu juris menghadapinya adalah dengan memberi ruang satu sama lain. Give each other space.


Suami saya senangnya naik gunung. Saya senangnya mendaki gunung pengetahuan di perpustakaan. Dia tahu saya ogah diajak hiking apalagi mendaki gunung dengan kondisi lutut saya yang mulai terasa reyot dampak dari jatuh saat kecil dulu. So, we give each other’s space. Saya lepas dia pergi 2 minggu dalam upayanya mendaki Gunung Mont Blanc. Hari ini dia videocall ingin berbagi pemandangan spektakuler yang terbentang indah di hadapannya. Walaupun koneksi internetnya kurang bagus tapi saya menghargai niat dan usahanya untuk berbagi itu dengan saya. That’s sweet💝


Itulah suami saya, betah seharian jalan dan mendaki bersimbah keringat sementara saya lebih suka menggeluti tumpukan naskah-naskah dan menulis. Kita menghargai ruang kesukaannya masing-masing. And yes, kadang mesti berkorban untuk satu sama lain. It’s part of the game. But one thing for sure, saya tidak pernah menghalangi passionnya akan sesuatu. Selalu mensupportnya sebisa mungkin sambil meyakinkannya, “Don’t worry, i’ll take care of the kids. We’ll be fine insya Allah. This is who you are. Enjoy” agar dia pergi dengan lapang hatinya.


It reminds me to a good quote, “The greates gift you can give someone is the space to be his or herself without the threat of you leaving.”


Tuesday, June 6, 2023

 Tentang si rambut putih


Rasulullah saw bersabda, "Janganlah mencabut uban. Tidaklah seorang muslim yang memiliki sehelai uban, melainkan uban tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat nanti." (HR Abu Daud 4204)

Dalam riyawat lain disebutkan, "Sesungguhnya uban itu cahaya bagi orang-orang mukmin."

Ka'ab bin Murroh ra berkata, "Saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang telah beruban dalam Islam, maka dia akan mendapatkan cahaya di hari kiamat" (HR Tirmidzi no. 1634)

Di sebuah riwayat dari Sa'id bin Musayyib, Allah Ta'ala berfirman bahwa uban adalah kewibawaan.

"Ibrahim adalah orang yang pertama menjamu tamu, orang pertama yang berkhitan, orang pertama yang memotong kumis, dan orang pertama yang melihat uban lalu berakta, "Apakah ini wahai Tuhanku?" Maka Allah berfirman, "Kewibawaan wahai Ibrahim." Ibrahim berkata, "Wahai Tuhanku, tambahkan aku kewibawaan itu." (HR Bukhari dalam Al Adabbul Mufrod 120)

Dalam Alkitab juga disebutkan ihwal rambut putih ini,

"Rambut putih adalah mahkota yang indah yang didapat pada jalan kebenaran. " Amsal 16:31

Selain faktor genetik dan lingkungan, stress atau rasa takut juga bisa mencetuskan rambut menjadi memutih. Rasulullah saw pernah berkata ketika Abu Bakar bertanya kenapa rambut beliau lekas beruban, "Surat Huud, Al Waaqi'ah, Al Mursalat, An Naba dan At Takwir, itulah yang menyebabkan rambutku lekas putih."

Rambut putih pun merupakan utusan Allah yang mengingatkan manusia tentang kematian yang pasti menjelang. Imam Al Ghazali menuliskan dalam Mukasyafatul Qulub tentang dialog antara Nabi Ya'qub dengan malaikat maut yang dikisahkan sebagai sosok yang bersahabat dengan sang nabi. Ketika sang malaikat maut datang, Nabi Ya'qub bertanya, "Wahai malaikat maut, engkau datang kemari untuk bertamu atau untuk mencabut ruhku?"

Malaikat menjawab, "Aku datang hanya bertamu."

Kemudian Nabi Ya'qub kembali berkata, "Saya tahu bahwa pekerjaanmu adalah mencabut nyawa manusia. Tapi alangkah lebih bagusnya lagi jika sebelumnya engkau beri isyarat kepadaku sebelum engkau mencabut nyawaku nanti."

Sang malaikat maut pun berkata kepada Nabi Ya'qub, "Baiklah, kelak akan kukirim kepadamu dua atau tiga isyarat."

Tak lama berselang, malaikat maut kembali mengunjungi Nabi Ya'qub. Melihat kedatangan malaikat maut, sang nabi pun bertanya, "Apa kedatanganmu kali ini? Apakah hanya untuk bertamu seperti biasanya?"

Sang malaikat maut berkata, "Tidak, aku akan mencabut nyawamu."

Nabi Ya'qub kaget mendengar pernyataan malaikat maut kali ini, kemudian dia berkata, "Bukankah aku dulu berpesan kepadamu untuk mengingatkan aku terlebih dulu sebelum kau mencabut nyawaku?"

Malaikat maut pun menjawab, "Sebenarnya, aku sudah mengirimkan kepadamu isyarat yang kau tunggu-tunggu, tidak hanya satu bahkan tiga sekaligus. Pertama, rambutmu sudah banyak yang beruban. Kedua, tubuhmu yang mulai rapuh, mudah lelah dan sakit-sakitan. Dan yang ketiga adalah badanmu yang sudah tidak sanggup lagi untuk menopangmu (sudah membungkuk). Itulah isyarat yang telah kukirimkan kepadamu dan juga kepada semua manusia keturunan Adam sebelum aku mencabut nyawa mereka."

***

Secara fisiologis, fenomena rambut memutih atau beruban adalah sebuah proses alamiah kembali ke asal, karena rambut pada awalnya berwarna putih. Dia menjadi berwarna karena sejak di dalam kandungan terbentuk zat yang dinamakan melanin yang dihasilkan oleh sel-sel pigmen bernama melanosit. Seiring dengan bertambahnya usia kemampuan sel-sel penghasil melanin berkurang hingga satu persatu mati. Jadi hawa kematian memang dekat dengan fenomena tumbuhnya selembar rambut putih. Sebuah pengingat yang halus namun kuat agar kita ingat kehidupan di alam lain yang akan dijelang.

- Oleh-oleh tulisan setelah memerhatikan jumlah rambut putih yang makin menghiasi mahkota ini.
Amsterdam, 6 Juni 2023 / 17 Dzulqa'dah 1444 H



 Godaan emak-emak yang sedang berjuang menjaga keseimbangan antara melakukan segenap kesibukan mengurus rumah tangga yang tiada habisnya setiap hari dengan kegiatan menulis adalah suka tergoda untuk mengabaikan hal-hal yang dianggap 'endlessly time consuming activity' dan sepertinya remeh temeh seperti menyapu dan membereskan rumah dll. Dengan alasan, itu bisa dikerjakan nanti. Ditumpuk, ditunda dan dianggap tidak urgent sambil kembali duduk di depan komputer dan mencoba menulis.

Tapi setelah satu menit, dua menit, kok inspirasi malah kering. Dada malah menggemuruh, seperti ada perasaan tidak nyaman. Dan mulai muncul suara nurani yang berkata, "Sudah berhenti dulu. Gih nyapu sana!" Saya coba ikuti suara itu dan kemudian kembali menulis. Ternyata wuss...jadi lancar dan perasaannya lebih enak. 


Lesson learned, jangan abaikan amanah-amanah yang tampaknya kecil dalam keseharian walaupun sekadar menyapu rumah, sekadar melap meja yang berdebu, sekadar membuat kinclong wc dll. Sepertinya saja semua pekerjaan itu adalah sesuatu yang menyita waktu dan tenaga. Tapi bisa jadi itu semua adalah mahar yang harus dibayar untuk turunnya sebuah hembusan inspirasi, hadirnya sebuah semangat yang membuncah atau datangnya sebuah karunia yang tak terkira. 

Wallahu'alam.

Thursday, June 1, 2023

 Numbing Out


Salah satu defense mechanism seseorang dalam menghadapi stress yang berlebih atau mengalami sebuah peristiwa yang membawa kesedihan yang demikian dalam adalah dengan melakukan emotional numbing. Kita memutuskan diri kita dari perasaan-perasaan yang berkecamuk baik itu marah, kesal, sedih dll, dengan harapan dengan numbing itu kita akan merasa tenang. But it's actually a wrong move. The most insiduous traps that we can fall into these days is numbing. Kita melarikan dari dari kenyataan perasaan yang ada. Kita berusaha membius emosi kita yang timbul dari sekian fenomena yang diakibatkan oleh dinamika pertemanan, keluarga atau di pekerjaan.


Cara orang "numbing out" itu bermacam-macam. Ada yang hobi shopping online terus, ataupun kalau tidak belana ya bisa berjam-jam scroll down layar telepon melihat barang-barang yang ditawarkan online. Yang lain bisa numbing dengan cara memuaskan diri dengan makanan yang enak-enak, sebanyak-banyaknya. Ada yang numbing dengan melakukan seks - kalau perlu jajan (na'udzubillahimindzaalik). Ada yang numbing dengan beres-beres terus tak henti. Ada yang numbing dengan olahraga berlebihan, melebihi kapasitas tubuhnya. Ada yang numbing dengan melakukan binge-watching, berjam-jam melarutkan dirinya dalam alur cerita yang ditawarkan. Apapun dilakukan agar tidak berkonfrontasi dengan perasaannya sendiri. 


Yang bahaya dari mekanisme numbing out adalah bahwa itu bisa membuat kita jadi ketagihan sesuatu. Ada yang jadi ketagihan minuman keras, ada yang ketagihan obat. In the beginning most of them wanted just to numb their feeling.


Tapi, kenapa sih orang memilih untuk memilih berperilaku numbing ini? Ada berbagai faktor yang setiap orang hadapi, dari mulai sakit hati, kecemasan, merasa kesepian, merasa diri buruk dan tak berharga, tidak merasa nyaman dengan ketidakpastian dalam hidupnya, merasa stress berat dengan berbagai hal yang harus dia hadapi, merasa diri kosong - tak karuan arah hidup, merasa tak pernah dihargai, merasa kecewa dengan diri sendiri, merasa hidup dalam topeng dan tidak bebas menjadi diri sendiri, atau berbagai trauma dan kekerasan baik itu secara fisik atau psikis yang pernah dialami. Latar belakangnya beragam, tapi underlying cause biasanya tentang lack of purpose. Belum menemukan tempat pijakan yang kokoh dalam kehidupan.


Numbing adalah jalan singkat untuk meredakan sakit dan kegelisahan yang dia alami. Sekadar terapi simtomatik dari penyakit yang sebenarnya tengah meradang dalam diri. It's just a short term defense mechanism sebenarnya. Tapi ketika seseorang berulang kali mengulang numbing ini dia secara perlahan tapi pasti berjalan semakin jauh dari kesejatian dirinya. Because when we numb, we walk away from ourselves.


So what should we do instead?

Pertama, sadari bahwa diri dan kehidupan ini bukan milik kita. Karena kalau benar-benar hidup ini milik kita, sejak awal kita harus punya power untuk memilih lahir dari orang tua yang mana, kapan, di mana,  dalam raga yang mana dsb. The fact that it's all given adalah bahwa hidup ini adalah amanah, sebuah pemberian dari Yang Maha Kuasa yang wajib disyukuri.


Lalu, sadar emosi-emosi yang muncul itu. Jangan disangkal. Penyangkalan dan numbing tidak akan pernah menyelesaikan masalah bercokol di hati kita. Sadari itu, berefleksi dan merenung akan alasan yang sebetulnya yang ada. Kenapa kita bereaksi seperti itu? Dari mana perasaan itu? Apa yang kita takuti? Apa kemudian pelajarannya buat kita? Proses ini membutuhkan ketenangan dan waktu. But we should take time to really feel what we're feeling. Pandang dalam-dalam rasa sakit itu. Sit with our pain and leaning into it. Jangan melarikan diri darinya. Hadapi ketakutan itu. 


Kemudian mulai ubah pola-pola numbing yang sudah dilakukan. Misalnya mengurangi screen-time diganti dengan aktivitas yang lebih produktif. Menyadari bahwa numbing hanya sebuah upaya agar kita menjadi disconnect dari sekitar dan membuat keadaan tidak lebih baik. Then start to make connections with other significant people. Berderma, melayani sesama walaupun sesimpel mendengarkan seseorang curhat, membantu teman yang punya anak-anak kecil untuk jagain anak-anaknya selama si ibu belanja. Bereskan kamar kita yang berantakan dan berdebu. Berjalan-jalan di hari yang cerah. Lakukan semua dengan bismillah dan istighfar banyak-banyak. Dengan harapan Allah Ta'ala membukakan rahmatnya kepada hati kita yang membeku. Agar dia tidak mengeras dan membatu hingga kita tak bisa lagi mengenali kebenaran, tak bisa lagi memandang keindahan dalam semesta kita, tak sanggup lagi bersuka cita dalam menghadapi takdir yang Dia Ta'ala tuliskan. 


Remember, numbing gets us nowhere. Better face our discomfort and ask for help from God along the way.[]