Wednesday, July 31, 2019

Ketika semakin belajar menata waktu shalat dan melakukan shalat-shalat sunnah yang Rasulullah contohkan, semakin merasa bahwa kegiatan lain selain shalat adalah sekadar interupsi, bukan sebaliknya.

Monday, July 29, 2019

Perempuan mulia itu ditinggal di tengah gurun tanpa ada orang di sekitar dengan perbekalan air dan beberapa butir kurma seadanya dengan membawa bayi yang masih harus disusui. Saat sang suami pergi menjauh meninggalkan dirinya dan sang buah hati, perempuan itu tidak panik ataupun marah. Malah sebaliknya, begitu mendengar jawaban suaminya atas pertanyaan dirinya, “ Apakah Allah telah memerintahkanmu untuk melakukan ini?” Kemudian dijawab “ Iya” dengan pasti oleh suaminya, seorang laki-laki yang juga berhati mulia. Maka tenanglah hati Siti Hajar, sang perempuan mulia itu. Ia pun berkata dari keyakinan hatinya, “Jika demikian, Dia tidak akan menelantarkan kita.”

Saat terik matahari semakin membakar dan perbekalan mulai menipis, sang ibu mulai berikhtiar mencari pertolongan, barangkali ada tanda-tanda kehidupan di sekitar atau sekadar ada rombongan kafilah yang tengah melintas. Maka ia berlari-lari antara bukit Shafa dan Marwah yang berjarak hampir setengah kilometer. Tak ada sedetikpun keraguan dalam hatinya bahwa Allah akan menolong. Tapi lewat mana? Maka ia terus berlari kembali, satu putaran, dua putaran. Nafas mulai terengah-engah dan keringat deras bercucuran. Namun semangatnya terus menyala dipacu juga oleh rasa sayangnya pada sang bayi yang pasti membutuhkan air susu ibunya, ia tidak mau menyaksikan bayinya kehausan di depan matanya sendiri. Ia pun terus berlari, bolak-balik tanpa henti.
Hingga usai putaran ketujuh langkahnya terhenti karena mendengar bayi Ismail menangis. Saat ia mendekat tampaklah seorang malaikat tengah menggali di titik mata air Zamzam. Allah menolong sang ibu tak jauh dari obyek yang paling dijaga pada saat itu, yaitu dengan mengeluarkan air Zamzam tak jauh dari tempat bayi Ismail berada.

Kisah ini kita dengar dan baca setiap tahun, terutama menjelang perayaan Idul Qurban. Tapi sadarkah bahwa berlari antara Shafa dan Marwah itu bukan hanya tentang sejarah? Kalau tidak untuk apa kisah ini dicantumkan dalam Al Quran yang mestinya berfungsi menjadi pemandu umat Rasulullah saw di setiap zaman hingga akhir nanti dan seterusnya?

Kita semua yang berhajat menemukan mata air zamzam dalam kehidupan masing-masing seharusnya melakukan sa’i dengan penuh semangat dan tanpa keraguan sedikitpun seperti yang telah dilakukan oleh Siti Hajar ra. Mata air hikmah yang membuat kita mengerti kenapa Allah menakdirkan kesempitan itu, kesulitan yang itu, perceraian yang itu, kedukaan yang itu, konflik yang itu, penyakit yang itu, problem yang itu dan lain sebagainya. Karena selama kita tidak menemukan mata air hikmah di balik setiap perkara yang membuat kepala kita pusing dan menjadikan wajah kita menjadi buram, maka kita akan terus didera oleh kehausan dan bukan tidak mungkin akan mati hati kita. Menjadi tidak percaya Tuhan, menjadi skeptis terhadap janji-Nya, agama menjadi hal yang terdengar basi , sebatas ritual dan tidak menginspirasi.

Allah Ta’ala mengajarkan kepada kita semua kunci untuk menemukan mata air kehidupan itu adalah dengan menempuh sa’i dalam diri dan kehidupan masing-masing, sebuah perjalanan spiritual bolak-balik antara langit dan dunia, antara berdoa dan ikhtiar, antara harap dan takut.
Semua harus belajar untuk mendaki bukitnya masing-masing. Tidak hanya sekali atau dua kali. Tidak hanya menunggu satu atau dua tahun. Mungkin bahkan harus menunggu puluhan tahun seperti Nabi Zakariya yang berdoa meminta keturunan, tapi toh ungkapan beliau yang sangat luhur dan tak goyah sedikitpun keyakinannya kepada Allah hingga diabadikan dalam Al Quran, “ ..dan aku tidak pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu” (QS Maryam [19]:4)

Lantas, pantaskah kita yang baru berdoa beberapa tahun saja merasa belum dikabulkan lalu kecewa hingga berkata “ Allah tidak mengabulkan doaku”, sebuah ungkapan yang justru akan menutup pintu terkabulnya doa.

Lalu, pantaskah kita yang baru didera kesulitan kurang uang sedikit, konflik sedikit, susah sedikit sambil masih bisa makan dan minum kenyang dan tidur nyenyak lalu mengeluhkan keadaan hidupnya. Yang padahal jauh lebih nyaman dibanding dengan keadaan yang harus dijalani oleh Siti Hajar  dan bayinya.

Begitulah, memang nyata banyak kandungan hati yang masih harus dikurbankan dalam prosesi qurban nanti. Hati yang mudah marah, hati yang gampang tersinggung, hati yang mengeluh terus. Diri yang malas, diri yang merasa diri lebih baik dari yang lain, diri yang lupa akan tugas sejatinya. Semua itu patut disorot dan dimintakan lebur satu persatu seiring dengan darah hewan kurban yang mengalir yang kita beli dengan harta yang dipinjamkan oleh Allah.
Agar kurban hanya bukan sekadar festival penyembelihan semata yang diikuti dengan “barbeque party”. Tapi harus ada perubahan yang kita rasakan dalam diri. Agar menjadi manusia yang tangguh seperti Ibrahim as, Siti Hajar ra, dan Ismail as. Tiga tokoh utama yang menjalankan skenario Allah hingga membentuk peribadatan kurban yang menjadi salah satu ibadah penting umat Islam sedunia.

Berlari tujuh putaran. Mengusap tujuh lapisan cermin hati hingga menemukan mata air pengetahuan dalam diri masing-masing, melalui gerinda ujian dan sungai takdir kehidupan masing-masing. Semoga setiap orang meraih status haji sejati. Seperti yang disimbolkan dalam gerak thawaf sebagai puncak dari ibadah haji. Yaitu gerakan memutar sebuah orbit mengelilingi Baitullah. Dengannya semoga kita menemukan orbit diri masing-masing. Sebuah kehidupan yang kita berpijak kokoh di atasnya. Yang kita menemukan kebahagiaan yang hakiki di dalamnya.

Berlarilah menerjang lelah, kecewa, kesulitan dan duka dan jangan mengizinkan setitikpun keraguan kepada janji-Nya menyelinap di hati. Dan jika saat rasa lemah itu tiba, saat rasanya ingin berhenti, katakanlah kepada diri sendiri,
“ I know you’ re tired, but come! This is the way” - Rumi

Saturday, July 27, 2019


Ayat dalam Al Quran yang menerangkan proses diturunkannya Ruhul-Qudus dalam sebuah mekanisme pewahyuan yang membuat seseorang mengenal kodrat diri (misi hidupnya)

QS Al Zalzalah [99]: 1-5

Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat

Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya

Dan manusia bertanya, “ Apa yang terjadi dengan bumi ini?”

Pada hari itu bumi menyampaikan beritanya.

Karena sesungguhnya Tuhanmu telah mewahyukan (hal yang demikian itu) kepadanya.

***

Dalam menemukan kodrat diri, sebuah misi spesifik yang Allah perintahkan untuk setiap manusia, maka jalan yang harus ditempuh adalah berbagai guncangan kehidupan. Mungkin dibuat kehilangan sesuatu yang dia sayangi, dibuat sulit mencari penghidupan, dibubarkan rumah tangganya, diganti pekerjaannya, dibuat pindah ke sebuah tempat yang baru, diberi pasangan yang memaksanya harus bersabar, dibuat anaknya bermasalah atau kondisi tubuhnya dibuat lemah. Dan banyak lagi ragam guncangan dalam kehidupan.

Sadarilah bahwa semua proses itu adalah sebuah mekanisme pembersihan jiwa, agar dikeluarkan beban-beban masa lalu, kemarahan, kesombongan, kelalaian dan lain-lain yang memenuhi rongga dada (shadr).

Memang proses ini akan membuat orang limbung, menjadikan ia bingung dan cemas hingga hampir putus asa. Ia akan bertanya-tanya, “ Apa yang terjadi dengan diriku?”

Justru di hari itulah bumi kita sendiri menyampaikan berita tentang hijab-hijab yang ada tersembunyi di dalam dirinya. Sesuatu yang kita luput melihatnya atau tidak mau tahu. Hijab itu harus keluar karena ia menghalangi turunnya cahaya Allah.

Semua itu dilakukan bagi para hamba pilihan-Nya yang akan Allah berikan mekanisme pewahyuan, sebuah ketetapan (‘ amr) yang suci, ia tidak akan bisa masuk kecuali ke dalam sebuah wadah yang terlebih dahulu sudah disucikan.

Maka berbahagialah dan berbesar hatilah menjelang takdir kehidupan kita masing-masing. Sungguh Allah tak mungkin berbuat kesalahan dalam menggoreskan pena takdir-Nya.



Salah satu ciri orang yang bertaqwa dalam Al Quran (QS Al Baqarah : 2-3) adalah mereka yang beriman kepada yang gaib. Apa artinya? Ia tidak berkepentingan mengetahui masa depan, karena tawakal kepada Allah dan menerima apa yang ditetapkan per hari ini.

Dimanapun ia berada, apakah sedang dalam posisi enak, dalam keadaan yang terhimpit masalah, dalam kesulitan, dalam kekurangan, sedang sakit, dalam kebingungan, dalam kegalauan semuanya ia terima dan melakukan apa yang terbaik yang ia bisa lakukan dengan apapun yang ada di sekitarnya.

Keadaan gaib atau tidak diketahui justru merupakan sebuah rahmat berbentuk hijab dari-Nya agar manusia bisa fokus dengan apa yang tengah disajikan dihadapannya, karena pada setiap saat karunia-Nya sungguh melimpah, tapi banyak manusia yang luput meraupnya. Seorang sufi hingga mengatakan bahwa ketika meninggal dunia kebanyakan manusia tidak mengisi lebih dari satu persepuluh kantung rezekinya.

Kenapa banyak rezeki yang tidak terambil? Karena kebanyakan mengeluhkan takdir dan keadaan hari ininya sambil berangan-angan jika kondisi hidupnya berubah ia akan beribadah dengan lebih baik. Padahal tidak ada ibadah yang lebih baik selain menerima dan menjalankan semua amanah serta keadaan yang ada per saat ini dengan ikhlas.

Dengan demikian tangga mi’ raj kita ke langit sebenarnya terbentang setiap saat, di pekerjaan yang kita keluhkan itu, di keadaan yang kita ingin lari darinya itu, di pasangan yang kita saat ini ingin berpisah darinya itu, di kesibukan yang mendera dan membuat punggung kita rasanya hampir patah itu, di sakitnya badan yang kita tak sabar ingin segera disembuhkan itu, di saat penantian doa yang juga belum dikabulkan itu. Di setiap keadaan ubahlah ia menjadi emas yang berharga, dan itulah keajaiban hati manusia. Bisa mengubah sesuatu yang biasa-biasa saja menjadi bernilai tinggi di langit-Nya.

Jadi orang yang bertaqwa adalah ia yang bisa menyikapi kehidupannya dengan baik. Tak menunggu beramal jika punya ini-itu, jika sudah dikabul doa, jika dalam keadaan yang itu dsb. Just do it. Lakoni kehidupan apa adanya dengan suka cita dan wajah yang cerah. Selagi jatah nafas masih bersisa…


Friday, July 26, 2019

 Menyeru kepada Allah adalah kewajiban setiap orang.
Rasulullah saw bersabda, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari)
Tugas menyeru ini bukan hanya kewajiban para da’i yang menyeru orang dari mimbar atau di forum-forum pengajian. Setiap orang terkena kewajiban ini, sebagai tanda syukur terhadap segenap pemberian-Nya.
Kegiatan menyeru ini juga bukan selalu harus berbicara dari  rumah ke rumah. Bagi seorang Siti Maryam ra misalnya, tugas penyeruan beliau adalah dengan menjadi seorang ibu. Oleh karenanya derajat sebuah penyeruan sama sekali tidak diukur dari berapa banyak orang yang diseru, itu hanya masalah tugas yang  harus dipikul yang disesuaikan dengan kapasitas jiwa dan kondisi lingkungan masing-masing.
Langkah pertama sebelum menyeru adalah harus ridho dengan apa yang Allah sampaikan ke kehidupan kita masing-masing. Identifikasi apa kewajiban kita dan hal yang dapat kita lakukan dengan baik sesuai dengan potensi diri. Lalu berjalanlah dengan semua bekal yang Allah telah berikan.
Seorang istri yang berjuang untuk senantiasa bermanis muka, seorang suami yang tidak mengeluh di antara perjuangan mencari nafkah, seorang anak yang rajin belajar dan mematuhi orang tua, pekerja kantor yang masuk tepat waktu dan mengerahkan 110% kemampuannya di hari itu, pedagang yang jujur dan mempermudah transaksi, tetangga yang kerap berbagi kepada sekitarnya. Semua itu pun merupakan sebuah bentuk seruan. Bahkan dakwah bil hal (menyeru melalui perbuatan) kerap kali lebih efektif membuat orang tertarik kembali mengenal Allah.
Dengan demikian pada hakikatnya setiap orang adalah seorang penyeru dari bidangnya masing-masing. Jika kita berjuang menjadi orang baik, tidak menyakiti orang lain, berprestasi di pekerjaan atau sekolah, memiliki etos kerja yang baik, jujur, berwajah cerah serta memancarkan sifat-sifat baik lainnya, maka orang akan menjadi tercahayai oleh semua pesona itu dan tertarik meraup cahaya itu langsung dari sumbernya, yaitu Allah Ta’ ala.
Demikian tinggi penghargaan Rasulullah kepada orang yang telah menjadi jalan agar orang lain mendapatkan hidayah, beliau bersabda, kepada Ali bin Abi Thalib: “Demi Allah, sesungguhnya Allah swt memberikan hidayah kepada seseorang dengan (da’wah)mu, maka itu lebih baik bagimu dari unta merah.” (HR. Bukhari, Muslim & Ahmad).
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani ketika menjelaskan hadits ini mengatakan bahwa: “Unta merah adalah kendaraan yang sangat dibanggakan oleh orang Arab saat itu.”
Hadits ini menunjukkan bahwa usaha seorang da’i menyampaikan hidayah kepada seseorang adalah sesuatu yang amat besar nilainya di sisi Allah SWT, lebih besar dan lebih baik dari kebanggaan seseorang terhadap kendaraan mewah miliknya.
Jadi jangan dibalik, jangan kerja keras siang malam untuk mengejar ingin memiliki sebuah kendaraan mewah atau - hal yang lain yang dianggap mewah dan diidamkan - yang itu dengan menelantarkan hak istri atau suami dan anak-anak serta keluarga. Bahkan tak jarang dalam prosesnya sampai menghalalkan berbagai cara dan melabrak pagar-pagar kehidupan untuk sekadar meraih sesuatu yang kita idamkan itu.
Inilah panduan agama, agar kita tidak tertipu oleh kemilau dunia dan meraup apa-apa yang memang telah ditetapkan berada dalam jangkauan dengan cara-cara yang tidak terpuji dan tidak membawa kemaslahatan dunia dan akhirat.
Pada akhirnya, kewajiban menjadi seorang penyeru adalah sebuah pemicu agar setiap orang menemukan jalan keselamatan dan kebahagiaannya masing-masing karena tidak mungkin kita menyeru sesuatu kepada orang tentang sesuatu apapun yang belum kita miliki.


Thursday, July 25, 2019


Allah Ta’ala memperkenalkan diri-Nya sebagai Ar Rahman Ar Rahiim.

Perhatikan QS Al Fatihah [1]:1

Bismillahirrahmaanirrahiim

Dengan asma Allah Ar Rahman Ar Rahiim.

Dari sekian banyak asma-Nya, dua asma itu yang Dia tonjolkan yang menjadi wajah utama yang ingin Dia perkenalkan.

Akar kata rahima-yarhamu-rahmat dalam Al Quran diulang sebanyak 338 kali. Ibnu Faris dalam Al-Maqyis menyebutkan bahwa kata yang terdiri dari huruf  ra-ha-mim, pada dasarnya menunjuk kepada arti: “kelembutan hati”, “belas kasih” dan “kehalusan”. Dari akar kata ini lahir “rahima” yang memiliki arti “ikatan darah, persaudaraan atau hubungan kerabat.” Seorang waliyullah menjelaskan dengan gamblang tentang arti “ rahmat”  adalah sebuah “ pertolongan Allah”

Mari coba renungkan, “pertolongan”  dan “belas kasih” hanya akan termanifestasi dalam keadaan dimana ada sesuatu obyek yang ditolong dan perlu diberi kasih.  Dengan kata lain, situasi yang memungkinkan asma itu termanifestasi pastilah dalam keadaan yang sulit, remuk hatinya, sedih, dalam kesempitan, dilanda kebingungan dsb.

Inilah takdir kehidupan. Suatu pagelaran lembar yang menjabarkan siapa Dia melalui sebuah panggung empat dimensi yang canggih. Setiap orang terlahir dengan takdirnya masing-masing, sebuah jalan yang Allah desain khusus bagi setiap jiwa.

Bahwa hidup akan penuh dengan suka-cita, tawa dan sedih, sehat dan sakit, lapang dan sempit, iya demikianlah yang terjadi. Semua niscaya dipertukarkan dalam ritme yang telah Dia tetapkan. Agar manusia tidak patah arang jika terlalu lama dalam kesulitan dan juga tak terlena jika terbuai dalam kelapangan dan kesenangan hidup.

Maka jangan tertipu oleh ilusi ingin hidup jauh dari ujian. Itu tanda jiwa yang lemah.

Jangan juga terberangus oleh pikiran bahwa tidak ada lagi harapan dari dosa yang telah menumpuk sekian banyak dan kesempitan hidup yang tak jua menemukan titik terang Itu tanda jiwa yang kufur.

Terima manis dan pahitnya kehidupan, keduanya adalah obat yang sangat menyehatkan jiwa.

Jangan kaget ketika masa sulit datang. Sebutlah, “ Alhamdulillah”

Jangan juga terhanyut oleh kemudahan kehidupan, semua baik-baik saja, dibuat rajin shalat, rajin mengaji, hingga timbul waham “ aku orang yang sudah shalih dan baik”. Naudzubillah. Itu mendekati ujung jurang kejatuhan. Seperti halnya yang terjadi pada iblis.

Persembahkan selalu hati yang senantiasa fakir. Karena memang kita fakir. Makhluk yang senantiasa membutuhkan pertolongan-Nya, pemeliharaan-Nya, penjagaan-Nya dan kasih sayang-Nya.

Justru dengan kefakiran itu kita bisa merasakan suatu kekuatan dahsyat sebagai insan. Kekuatan yang berasal dari-Nya yang bisa menegakkan tulang punggung kita yang lelah dan menegakkan kepala yang tertunduk lesu serta mencerahkan wajah jiwa yang buram karena sekian banyak masalah kehidupan. Kekuatan dari dalam yang berkata kepada setiap kesulitan hidup, “ Hei kesulitan hidup, sebesar apapun engkau. Kuasa Tuhanku lebih besar darimu!”

Dan saksikanlah bagaimana Dia menurunkan rahmat-Nya!

Mengeluhkan keadaan diri serta tidak menerima takdir kehidupan adalah hal-hal yang berlawanan dengan sifat ubudiyah. Mentalitas seperti itu menunjukkan dia belum menjadi seorang abid (hamba) sejati, dan cenderung ingin bermain menjadi Tuhan (playing God). Merasa opsi kehidupan yang ada di benaknya adalah yang lebih baik.

Ia lupa bahwa yang memporsi setiap persoalan adalah Allah. Jika Allah tidak mengizinkan tidak akan mungkin seekor nyamuk pun bisa hinggap dan menggigitnya.

Kalau ada orang yang diizinkan menyakiti kita, menipu kita, bersifat kasar kepada kita, membicarakan keburukan kita, menghubungi dan mengetuk pintu kita semua bisa terjadi hanya jika Allah menghendaki itu terjadi. Jika sesuatu Allah izinkan terjadi maka sebetulnya ada hikmah dan segudang kebaikan yang harus kita gali. Karena tidak mungkin Allah Yang Maha Ilmu merancang sesuatu kejadian sekecil apapun itu tanpa sebuah tujuan di dalamnya.

Artinya, jika semua perkara Allah yang menentukan. Tugas utama kita sebelum disibukkan dengan mencari solusi, membuat persiapan dan memikirkan penyelesaian ihwal masalah yang ada, adalah terlebih dulu bertanya kepada Allah tentang mengapa Ia mengizinkan semua itu terjadi? Mohonlah tuntunan-Nya agar Dia berkenan memberi petunjuk kepada hati. Nanti perlahan-lahan akal hati akan bertambah kemampuannya untuk mencerna, membaca serta memahami setiap pergerakan kehidupan. Sampai kepada sebuah titik dimana seseorang berkata dengan sungguh-sungguh,

Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, peliharalah kami dari siksa neraka.. (QS Ali Imran (3) : 191)

Thursday, July 18, 2019

Beruntungnya kita Tuhan sudah menetapkan qadha dan qadar dalam kehidupan. Agar kita bisa tenang dengan pembagian-Nya.

Berpongah diri meminta mengendalikan kehidupan diri sendiri adalah bagaikan mencoba mengambil alih fungsi otonom tubuh:  memompakan jantung sendiri, mengembang-kempiskan paru-paru sendiri, mengkoordinasi gerak makanan dari mulut hingga ke anus sendiri, mengatur pelepasan kulit sendiri, meregulasi kadar hormon sendiri dll. Pasti tidak akan sanggup. It's too much!

Kita yang bersikukuh ingin doa yang itu yang dikabulkan, ingin rezeki yang itu, ingin pekerjaan yang itu, ingin jodoh yang itu dll. Sambil tak paham konsekuensi terkabulnya doa  lima sampai jutaan langkah ke depan, apa dampaknya satu dekade hingga ratusan tahun ke depan, apa kaitannya dengan lingkungan sekitar. Pasti juga tidak akan ter-manage. It's way too much!

Doa, yes!
Ngoyo, no!

Agama mengajarkan:
Ridho pada ketetapan-Nya,
Sabar dengan ujian-Nya
Syukur dengan pemberian-Nya.

Sejuk dan damai hati ini❤

Tuesday, July 16, 2019


Seandainya rumah tangga kedua orang tua saya baik-baik saja dan seandainya mereka tetap harmoni dalam kelapangan hidup, barangkali saya tidak akan tergerak mencari Tuhan di usia 13 tahun.

Alhamdulillah Allah berkenan menarik hati saya melalui hantaman badai rumah tangga orang tua yang diikuti oleh krisis ekonomi dalam keluarga kami sebagai dampak dari sebuah perpisahan.

Pada awalnya saya merasa bumi yang saya pijak amblas ke dalam tanah, seperti ditempa gempa bumi, saya tidak bisa berdiri tegak. Limbung. Bingung. Sedih. Juga bercampur marah dan kecewa. Alhamdulillah Allah menjaga saya dari pergaulan yang buruk, narkoba dsb. Saya pun menenggelamkan kebingungan saya dan mencoba menghilangkan rasa sakit yang ada dengan menyibukkan diri dalam sekian banyak aktivitas: bimbingan belajar, les Bahasa Inggris, tenis, renang dan setiap akhir pekan nonton di bioskop bersama teman-teman. Pokoknya bagaimana caranya setiap hari pergi pagi dan pulang malam dalam keadaan lelah hingga tidak merasakan keadaan yang tidak harmonis di rumah, a very place you called home. Yang seharusnya menjadi “ rumahku surgaku”.

Setelah sekian lama hidup, saya melihat penggal waktu yang dulu terasa menyakitkan ini adalah sebuah rahmat (pertolongan) Allah Ta’ ala. Karena kalau tidak saya sudah tak tahu berakhir dimana, dengan segala keliaran pikiran dan cita-cita dan semua potensi yang membuncah. Saya pasti akan dibuat lupa kepada-Nya, lupa mengerjakan amanah-Nya dan lalai bersiap untuk kehidupan lain yang pasti menjelang.

Gejolak dalam keluarga itu membuat saya berpikir ulang mengenai makna kehidupan. What is life all about? Apa yang kita cari dalam hidup? Apa yang harus aku lakukan? Siapa aku?

Allah Maha Tahu semua pertanyaan itu membuat saya terjaga di malam hari selama bertahun-tahun. Trying to figure out everything. Mencoba memahami posisi saya di dalam konstelasi besar kehidupan.

Sekarang, Alhamdulillah saya bisa mulai memetik manisnya buah pendidikan Ilahiyah itu hingga menyadari bahwa Dia tidak berbuat kesalahan setitikpun dalam menetapkan sebuah takdir. Tentang orang tua saya yang sempat dibuat berseteru, tentang kekecawaan saya setiap kali melihat ketidakharmonisan mereka, tentang kesedihan saya setiap melihat almarhum ayah harus tinggal di tempat yang berbeda. Semua menjadi indah pada saatnya. Di balik setiap kepahitan kehidupan, Dia hanya berniat memberikan yang lebih baik dari itu semua.Sedemikian rupa hingga jika saya diberi pilihan untuk mendesain ulang kehidupan masa lalu saya, saya tidak akan mengubah satu helai benang takdirpun yang telah Dia untai. Karena Allah adalah Penjalin Kehidupan yang terbaik.

Kenapa saya mau berbagi hal yang sangat pribadi ini?

Karena saya tahu setiap sahabat memiliki arena perjuangannya masing-masing yang kadang kita dibuat terpukul, lelah, sedih,  dan tak berdaya. Tapi percayalah itu justru saat “hari Tuhan” datang. Karena Dia sungguh ada bersama mereka yang remuk hatinya.

“Hari Tuhan”  adalah saat dimana Dia berkenan memperkenalkan Dirinya. Ketika semua pegangan horizontal dan duniawi tak bisa diandalkan, ketika semua ikhtiar tampaknya tak membuahkan hasil, tatkala kita nyaris tak bisa melihat secercah cahaya di dalam kegelapan. Di saat genting itu justru Dia pasti datang, agar kita menjadi mengenal-Nya, Sang Tuhan yang sejati. Bukan tuhan-tuhan palsu yang senantiasa kita andalkan dengan semua perhitungan dan daya upaya kita.

Maka berbesar hatilah walaupun hati terasa remuk. Dia Yang Kuasa membangunkan manusia dari maut tentu mudah untuk merekatkan pecahan-pecahan hati yang berkeping-keping menjadi utuh kembali. Dengan satu syarat, we have to give God all the pieces…


Sunday, July 14, 2019


Benar memang takdir hidup sudah Allah tuliskan, bahwa tinta penciptaan sudah kering.

Rasulullah saw bersabda, “ Telah ditulis lembaran-lembaran dan tinta ciptaan telah kering.” (HR. Muslim).

Akan tetapi jalur mana yang hendak kita tempuh adalah pilihan masing-masing, adapun kita hanya bisa memilih satu dari sekian banyak pilihan jalur kehidupan yang telah Allah rancang sejak zaman azali.  Dari sekian banyak pilihan itu ada satu jalur kehidupan yang Allah ridhoi, itulah Shiraathal Mustaqiim. Sesuatu yang kita mohon kepada Allah untuk ditunjukkan ke sana, setidaknya dalam bacaan Al Fatihah yang dipanjatkan shalat wajib kita sebanyak 17 kali setiap hari. “Ihdinashiraathal mustaqiim”.

Lalu bagaimana kita mengetahui bahwa doa kita telah dikabulkan? Bahwa kita tengah berpijak di atas shiraathal mustaqiim masing-masing? Bahwa kita telah mengambil pilihan yang telah Allah ridhoi?

Untuk itulah Allah membantu kita dengan mekanisme shalat lima waktu, sebagai perangkat standar untuk melakukan kalibrasi, evaluasi ulang perjalanan hidup kita, apa yang kita cari dan apa yang menjadi orientasi hidup sebenarnya. Itupun jika shalat kita dilakukan dengan kesadaran ingin diatur oleh Allah Ta’a la dengan berserah diri kepada-Nya. Maka mekanisme pengaturan-Nya kontan akan berjalan.

Kenyataannya sedikit manusia yang hidupnya ingin diatur oleh Allah. Kebanyakan mengalirkan hidup dan nafasnya pada keinginan dirinya demi mengejar sebuah tahta yang bernama kenyamanan. Kalau itu yang ia pilih maka rencana Allah untuk mengalirkan orang itu ke dalam takdir diri terbaiknya dunia dan akhirat menjadi tidak terpenuhi. Dan dia akan berakhir menjadi orang yang merugi. Naudzubillah.

Bagaimana kemudian agar hidup kita diatur oleh Allah?

Biasakan dimulai dengan niat dan akad yang baik kepada-Nya. Dimulai dengan hal yang sehari-hari kita temui. Saat membuka mata di pagi hari, panjatkan doa dalam shalat fajar agar Allah mengilhamkan ide dan rencana yang Ia ridhoi. Saat memilih hendak menempuh jalur mana ke pekerjaan, sertakan Allah disana, mintalah pendapat-Nya. Saat memutuskan akan makan siang apa, tanya kepada Allah mana yang paling thayyib. Dan seterusnya, jika Allah biasa kita libatkan dalam pilihan keseharian, Dia akan hadir memberikan panduan-Nya dengan berbagai cara. Tinggal rasakan dan biasakan. Lama kelamaan itu akan menjadi karakter. Kita dan Dia menjadi tidak terpisahkan. Lisan kita akan menjadi kelu untuk berbicara atau memutuskan jika kehadiran-Nya tidak kita rasakan.

Allah itu dekat. Buktikan bahwa ia lebih dekat dari semua pikiran kita, kesenangan kita, rancangan masa depan kita, dan semua keinginan kita yang tak ada habis-habisnya itu. Jangan abaikan kehadiran-Nya dengan hanya memandang Dia dalam shalat yang kering dan singkat itu. Jangan batasi keberadaan-Nya hanya dalam lingkup ruang sajadah atau ruang shalat yang kita hanya sambangi beberapa menit dalam sehari itu.

Bagaimanapun kita berada dalam ruang kehidupan milik-Nya, dalam kendaraan hidup yang Dia ciptakan, di dalam sebuah mekanisme universal yang Dia aturkan. Sadarilah kita tengah menjadi tamu. Dan tamu yang sopan adalah ia yang tahu diri akan posisi dirinya. Saat kita meronta dalam hidup dan menolak ketetapan-Nya, Dia bisa tegas berfirman:

Siapa saja yang tidak rela menerima ketetapan-Ku (takdir-Ku) dan tidak sabar menghadapi ujian-ujian-Ku kepada dirinya, silakan dia mencari Tuhan selain Aku.

[HR. Ath-Thabrani dan Ibnu ‘Asakir]
Taqwa itu paling sulit diukur. Seseorang bisa mengklaim atau merasa dirinya taqwa. Tapi Allah Yang Maha Tahu berapa kadar ketaqwaan dia sebenarnya.

Taqwa ini sebuah kata yang kerap kita dengar sejak kecil, namun apa hakikat dia sebenarnya tidak banyak orang yang berminat menggalinya dengan sungguh-sungguh. Padahal kita sebagai manusia yang dhaif (lemah) sangat butuh mengetahui apakah kita sudah bertaqwa atau belum, serta sejauh mana kualitas taqwa kita.

Jika tidak, kita hanya akan berputar pada masalah yang itu-itu saja dalam kehidupan. Sudah merasa berdoa lama tapi tidak dikabulkan. Padahal Allah Ta’ ala sudah memberikan kuncinya, berupa taqwa.

“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan jalan keluar baginya. Dan Dia akan memberi rizki kepadanya dari arah yang tidak dia sangka-sangka.” (at-Tholaq: 2)

Ukuran taqwa yang paling sederhana sebenarnya dilihat dari derajat tawakal kita. Sejauh mana kita bersandar kepada Allah.

Jika masih mudah tersinggung oleh apa kata orang lain, barangkali hati kita masih lebih bersandar pada apa kata orang dibanding apa keinginan Allah.

Jika masih gelagapan saat uang habis sedangkan kebutuhan hidup banyak, barangkali hati kita masih cenderung bersandar pada tabungan, gaji dan pertolongan manusia dibanding menyandarkan diri kepada Dia Yang Maha Pemberi rezeki. 

Jika masih merasa sedih dan kecil hati dengan keadaan hari ini dalam beribadah kepada-Nya dengan terselip keluhan yang halus dengan kondisi dan segala kerepotan yang ada, barangkali kita terlampau menyandarkan diri kepada amal ibadah dalam berjalan kepada-Nya.

Dengan demikian, diturunkannya sekian banyak persoalan hidup, kesempitan mencari rezeki, kesulitan dalam rumah tangga, kerepotan dalam mengurus anak, tubuh yang lemah karena sakit dan semuanya adalah sebuah pertolongan dari Allah Ta’ ala agar kita bisa melihat bagaimana respon hati kita dalam menjelang semua itu.

Karena sungguh Allah Ta’ ala adalah Dzat yang tidak pernah menzalimi segenap ciptaan-Nya, tapi kadang sesuatu harus dilaksanakan walaupun itu terasa pahit bagi si hamba akan tetapi tersimpan banyak kebaikan dibalik ujian itu. Agar kita tidak terlena dalam kehidupan. Merasa baik tapi isi hati masih penuh kejahatan yang kemudian akan Nampak jelas di alam barzakh dan alam berikutnya.
Na’udzubillahimindzaalik…


Thursday, July 11, 2019

“Kamu ngga mindahin anakmu ke sekolah keren itu?” kata seorang ibu yang anaknya sekelas dengan si bungsu, Rumi yang bertemu saat pesta perayaan akhir tahun sekolah dasar (eindejaarfeest basisschool) kemarin.

Alasan ibu itu memindahkan anaknya ke sekolahan di area elit itu karena ada beberapa anak yang berperilaku agresif katanya di kelas. Selain itu dia lebih cenderung mencari “white school” dimana anak-anak yang sekolah disana dominan kulit putih alias bule Belanda asli. 

Walaupun negeri Belanda ini dikenal toleransinya tinggi terhadap pendatang, tapi tetap di masyarakat pemisahan itu ada, hingga muncul istilah “black school”, bukan karena cat sekolahnya serba hitam,  bukan juga karena kebanyakan anak-anak disana orang hitam atau karena mayoritas yang sekolah dari imigran gelap . Tapi istilah “black school” diberikan kepada sekolah yang murid-murid (dan gurunya) bukan asli Belanda. Biasanya kebanyakan keturunan Maroko, Turki (mereka walaupun banyak yang putih-putih kulitnya tetap dibilang ‘black’🧐), juga keturunan Kepulauan Antiles, Suriname dan ya kulit sawo matang seperti saya dan anak-anak dari Indonesia termasuk kategori “black”.

Saya paham kekhawatiran ibu itu, dan dia hanya berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya, seperti kita semua. Tapi kalau urusan cari sekolah anak, saya menuruti saran Mursyid saya untuk menimbang keinginan dengan kemampuan dan keadaan. Sekolah yang sekarang sangat ideal karena dekat rumah, hanya tujuh menit berjalan kaki dan tiga menit bersepeda. Guru-gurunya oke banget. Dan kalau masalah satu atau dua anak yang agresif atau bandel, saya pikir dimana-mana juga biasanya ada. Mau itu di “white school”, “black school” atau “yellow school” - kalau ada.

Masalah memilih sekolah ini memang membuat kita belajar tawakal sama anak. Ada beberapa rambu yang harus diperhatikan oleh orang tua. 

Pertama: Jangan ngoyo. 
Kalau uangnya ngga cukup menyekolahkan anak ke sekolah swasta yang itu, cari saja sekolah yang sesuai dengan budget. Bebas utang sana-sini.
Kalau sekolah idaman itu terlalu jauh malah menyulitkan buat anak yang setiap hari sekolah saja harus melewati medan macet dan perjalanan sekian lama, cari saja sekolah yang lebih dekat. 

Kedua: Ini rambu dasar yang utama. Tawakalkan ihwal pendidikan dan masa depan anak kepada Allah Ta’ala. Ucapkan dalam sebaris doa, “Ya Allah, aku tawakalkan anak ini kepada-Mu”. Dan Allah akan langsung menyambut.

Jangan menyandarkan nasib anak kepada selain-Nya yang berupa sekolah yang keren, guru-guru yang lulusan luar negeri, passing grade yang tinggi, sejarah lulusan yang sukses dll. Pamali! Semua itu tidak ada yang dapat menjamin anak tidak terjerumus hidupnya dalam jalur yang salah yang mengakibatkan dia tidak bahagia.

Belajarlah dari kisah seorang Nabi mulia, Yaqub as yang menitipkan anak yang dicintanya, Yusuf as kepada kakak-kakaknya agar ia tidak diterkam oleh serigala. Sang Nabi ditegur oleh Allah dengan cara justru yang mencelakakan Yusuf adalah kakak-kakaknya sendiri, orang yang dimintai pertolongan.

Anak-anak kita dipenuhi oleh ancaman “serigala-serigala” kehidupan. Ada narkoba, pergaulan bebas, hedonisme dll. Langkah pertama adalah mencari perlindungan kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Setelah itu baru optimalkan ikhtiar tanpa harus melabrak pagar-pagar batas diri.

Kembali ke ajakan ibu tadi di atas untuk memindahkan sekolah anak. Saya menolak dengan tiga alasan
Pertama, sekolah yang ada tidak ada masalah untuk saat ini, alhamdulillah.
Kedua, kalaupun pindah jauh harus antar jemput anak pakai angkutan umum sekitar 45 menit dan belum punya SIM, berbeda dengan ibu itu yang sudah punya SIM dan kendaraan sendiri.
Ketiga, so what menyekolahkan anak di “black school”? Mursyid saya bilang pada kasus yang serupa, “Barangkali si anak malah lebih cerdas disana karena lebih kompleks berpikirnya.” 
Wallahu’alam
MALAIKAT HAFADZAH DAN 7 MALAIKAT PENJAGA LANGIT

Dari Ibnu Mubarak dan Khalid bin Ma'dan, mereka berkata kepada Mu'adz bin Jabal, "Mohon ceritakan kepada kami sebuah hadits yang telah Rasulullah ajarkan kepadamu, yang telah dihafal olehmu dan selalu diingat-ingat karena sangat kerasnya hadits tersebut dan sangat halus serta dalamnya makna ungkapannya. Hadits manakah yang engkau anggap sebagai hadits terpenting?"

Mu'adz menjawab, "Baiklah, akan aku ceritakan. "Tiba-tiba Mu'adz menangis tersedu-sedu. Lama sekali tangisannya itu, hingga beberapa saat kemudian baru terdiam. Beliau kemudian berkata, "Emh, sungguh aku rindu sekali kepada Rasulullah. Ingin sekali aku bersua kembali dengan beliau." Kemudian Mu'adz melanjutkan:

Suatu hari ketika aku menghadap Rasulullah saw yang suci, saat itu beliau tengah menunggangi untanya. Nabi kemudian menyuruhku untuk turut naik bersama beliau di belakangnya. Aku pun menaiki unta tersebut di belakang beliau. Kemudian aku melihat Rasulullah menengadah ke langit dan bersabda, "Segala kesyukuran hanyalah diperuntukkan bagi Allah yang telah menetapkan kepada setiap ciptaan-Nya apa-apa yang Dia kehendaki. Wahai Mu'adz!"

"Labbaik, wahai penghulu para rasul!"

"Akan aku ceritakan kepadamu sebuah kisah, yang apabila engkau menjaganya baik-baik, maka hal itu akan memberikan manfaat bagimu. Namun sebaliknya, apabila engkau mengabaikannya, maka terputuslah hujjahmu di sisi Allah Azza wa Jalla!

Wahai Mu'adz.

Sesungguhnya Allah Yang Maha Memberkati dan Maha Tinggi telah menciptakan tujuh malaikat sebelum Dia menciptakan petala langit dan bumi. Pada setiap langit terdapat satu malaikat penjaga pintunya, dan menjadikan penjaga dari tiap pintu tersebut satu malaikat yang kadarnya disesuaikan dengan keagungan dari tiap tingkatan langitnya.

Suatu hari naiklah malaikat Hafadzah dengan amalan seorang hamba yang amalan tersebut memancarkan cahaya dan bersinar bagaikan matahari. Hingga sampailah amalan tersebut ke langit dunia (as-samaa'i dunya), yaitu sampai ke dalam jiwanya. Malaikat Hafadzah kemudian memperbanyak amal tersebut dan mensucikannya.

Namun, tatkala sampai pada pintu langit pertama, tiba-tiba malaikat penjaga pintu tersebut berkata, "Tamparlah wajah pemilik amal ini dengan amalannya tersebut! Aku adalah pemilik ghibah. Rabb Pemeliharaku memerintahkan kepadaku untuk mencegah setiap hamba yang telah berbuat ghibah di antara manusia --yaitu membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan orang lain yang apabila orang itu mengetahuinya, dia tidak suka mendengarnya -- untuk dapat melewati pintu langit pertama ini!"

Kemudian, keesokan harinya, malaikat Hafadzah naik ke langit beserta amal shalih seorang hamba lainnya. Amal tersebut bercahaya yang cahayanya terus diperbanyak oleh Hafadzah dan disucikannya, hingga akhirnya dapat menembus ke langit kedua. Namun, malaikat penjaga pintu langit kedua tiba-tiba berkata, "Berhenti kalian! Tamparlah wajah pemilik amal tersebut dengan amalannya itu! Sesungguhnya dia beramal, namun di balik amalannya itu dia menginginkan penampilan duniawi belaka ('aradla dunya).Rabb Pemeliharaku memerintahkan kepadaku untuk tidak membiarkan amalan si hamba yang berbuat itu melewati langit dua ini menuju langit berikutnya!" Mendengar itu semua, para malaikat pun melaknati si hamba tersebut hingga petang harinya.

Malaikat Hafadzah lainnya naik bersama amalan sang hamba yang nampak indah, yang di dalamnya terdapat shadaqah, shaum-shaumnya serta perbuatan baiknya yang melimpah. Malaikat Hafadzah pun memperbanyak amal tersebut dan mensucikannya hingga akhirnya dapat menembus langit pertama dan kedua. Namun, ketika sampai di pintu langit ketiga, tiba-tiba malaikat penjaga pintu langit tersebut berkata, "Berhentilah kalian! Tamparkanlah wajah pemilik amalan tersebut dengan amalan-amalannya itu! Aku adalah penjaga al-Kibr (sifat takabur). Rabb Pemeliharaku memerintahkan kepadaku untuk tidak membiarkan amalannya melewatiku, karena selama ini dia selalu bertakabur di hadapan manusia ketika berkumpul dalam setiap majelis pertemuan mereka."

Malaikat Hafadzah lainnya naik ke langit demi langit dengan membawa amalan seorang hamba yang tampak berkilauan bagaikan kerlip bintang gemintang dan planet. Suaranya tampak bergema dan tasbihnya bergaung disebabkan oleh ibadah shaum, shalat, haji dan umrah, hingga tampak menembus tiga langit pertama dan sampai ke pintu langit keempat. Namun malaikat penjaga pintu tersebut berkata, "Berhentilah kalian! Dan tamparkan dengan amalan-amalan tersebut ke wajah pemiliknya! Aku adalah malaikat penjaga sifat 'ujub (takjub akan keadaan jiwanya sendiri). Rabb Pemeliharaku memerintahkan kepadaku agar tidak membiarkan amalannya melewatiku hingga menembus langit sesudahku. Dia selalu memasukkan unsur 'ujub di dalam jiwanya ketika melakukan suatu perbuatan!"

Malaikat Hafadzah lainnya naik bersama amalan seorang hamba yang diiring bagaikan iringan pengantin wanita menuju suaminya. Hingga sampailah amalan tersebut menembus langit kelima dengan amalannya yang baik berupa jihad, haji dan umrah. Amalan tersebut memiliki cahaya bagaikan sinar matahari. Namun, sesampainya di pintu langit kelima tersebut, berkatalah sang malaikat penjaga pintu, "Saya adalah pemilik sifat hasad (dengki). Dia telah berbuat dengki kepada manusia ketika mereka diberi karunia oleh Allah. Dia marah terhadap apa-apa yang telah Allah ridlai dalam ketetapan-Nya. Rabb Pemeliharaku memerintahkan aku untuk tidak membiarkan amal tersebut melewatiku menuju langit berikutnya!"

Malaikat Hafadzah lainnya naik dengan amalan seorang hamba berupa wudlu yang sempurna, shalat yang banyak, shaum-shaumnya, haji dan umrah, hingga sampailah ke langit yang keenam. Namun malaikat penjaga pintu langit keenam berkata, 'Saya adalah pemilik ar-rahmat (kasih sayang). Tamparkanlah amalan si hamba tersebut ke wajah pemiliknya. Dia tidak memiliki sifat rahmaniah sama sekali di hadapan manusia. Dia malah merasa senang ketika melihat musibah menimpa hamba lainnya. Rabb Pemeliharaku memerintahkanku untuk tidak membiarkan amalannya melewatiku menuju langit berikutnya!"

Naiklah malaikat Hafadzah lainnya bersama amalan seorang hamba berupa nafkah yang berlimpah, shaum, shalat, jihad dan sifat wara' (berhati-hati dalam bermal). Amalan tersebut bergemuruh bagaikan guntur dan bersinar bagaikan kilatan petir. Namun, ketika sampai pada langit yang ketujuh, berhentilah amalan tersebut di hadapan malaikat penjaga pintunya. Malaikat itu berkata, 'Saya adalah pemilik sebutan (adz-dzikru) atau sum'ah (mencintai kemasyhuran) di antara manusia. Sesungguhnya pemilik amal ini berbuat sesuatu karena menginginkan sebutan kebaikan amal perbuatannya di dalam setiap pertemuan. Ingin disanjung di antara kawan-kawannya dan mendapatkan kehormatan di antara para pembesar. Rabb Pemeliharaku memerintahkan aku untuk tidak membiarkan amalannya menembus melewati pintu langit ini menuju langit sesudahnya. Dan setiap amal yang tidak diperuntukkan bagi Allah Ta'ala secara ikhlas, maka dia telah berbuat riya', dan Allah Azza wa Jalla tidak menerima amalan seseorang yang diiringi dengan riya' tersebut!"

Dan malaikat Hafadzah lainnya naik beserta amalan seorang hamba berupa shalat, zakat, shaum demi shaum, haji, umrah, akhlak yang berbuahkan hasanah, berdiam diri, berdzikir kepada Allah Ta'ala, maka seluruh malaikat di tujuh langit tersebut beriringan menyertainya hingga terputuslah seluruh hijab dalam menuju Allah Subhanahu. Mereka berhenti di hadapan Ar-Rabb yang Keagungan-Nya (sifat Jalal-Nya) bertajalli. Dan para malaikat tersebut menyaksikan amal sang hamba itu merupakan amal shalih yang diikhlaskannya hanya bagi Allah Ta'ala.

Namun tanpa disangka Allah berfirman, "Kalian adalah malaikat Hafadzah yang menjaga amal-amal hamba-Ku, dan Aku adalah Sang Pengawas, yang memiliki kemampuan dalam mengamati apa-apa yang ada di dalam jiwanya. Sesungguhnya dengan amalannya itu, sebenarnya dia tidak menginginkan Aku. Dia menginginkan selain Aku! Dia tidak mengikhlaskan amalannya bagi-Ku. Dan Aku Maha Mengetahui terhadap apa yang dia inginkan dari amalannya tersebut. Laknat-Ku bagi dia yang telah menipu makhluk lainnya dan kalian semua, namun Aku sama sekali tidak tertipu olehnya. Dan Aku adalah Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib, Yang memunculkan apa-apa yang tersimpan di dalam kalbu-kalbu. Tidak ada satu pun di hadapan-Ku yang tersembunyi, dan tidak ada yang samar di hadapan-Ku terhadap segala yang tersamar. Pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang telah terjadi sama dengan pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang belum terjadi. Pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang telah berlalu sama dengan pengetahuan-Ku terhadap yang akan datang. Dan pengetahuan-Ku terhadap segala sesuatu yang awal sebagaimana pengetahuan-Ku terhadap segala yang akhir. Aku lebih mengetahui sesuatu yang rahasia dan tersembunyi. Bagaimana mungkin hamba-Ku menipu-Ku dengan ilmunya. Sesungguhnya dia hanyalah menipu para makhluk yang tidak memiliki pengetahuan, dan Aku Maha Mengetahui segala yang ghaib. Baginya laknat-Ku!"

Mendengar itu semua maka berkatalah para malaikat penjaga tujuh langit beserta tiga ribu pengiringnya, "Wahai Rabb Pemelihara kami, baginya laknat-Mu dan laknat kami." Dan berkatalah seluruh petala langit, "Laknat Allah baginya dan laknat mereka yang melaknat buat sang hamba itu!"

Mendengar penuturan Rasulullah saw sedemikian rupa, tiba-tiba menangislah Mu'adz Rahimahullah, dengan isak tangisnya yang cukup keras. Lama baru terdiam, kemudian dia berkata dengan lirihnya, "Wahai Rasulullah, bagaimana bisa aku selamat dari apa-apa yang telah engkau ceritakan tadi?"

Rasulullah bersabda, "Oleh karena itu, wahai Mu'adz, ikutilah Nabimu di dalam sebuah keyakinan."

Dengan suara yang bergetar Mu'adz berkata, "Engkau adalah Rasul Allah, dan aku hanyalah seorang Mu'adz bin Jabal. Bagaimana aku bisa selamat dan lolos dari itu semua?"

Nabi yang suci bersabda, "Baiklah, wahai Mu'adz, apabila engkau merasa kurang sempurna dalam melakukan semua amalanmu itu, maka cegahlah lidahmu dari ucapan ghibah dan fitnah terhadap sesama manusia, khususnya terhadap saudara-saudaramu yang sama-sama memegang Al-Quran. Apabila engkau hendak berbuat ghibah atau memfitnah orang lain, haruslah ingat kepada pertanggungjawaban jiwamu sendiri, sebagaimana engkau telah mengetahui bahwa dalam jiwamu pun penuh dengan aib-aib. Janganlah engkau mensucikan jiwamu dengan cara menjelek-jelekkan orang lain. Jangan angkat derajat jiwamu dengan cara menekan orang lain. Janganlah tenggelam di dalam memasuki urusan dunia sehingga hal itu dapat melupakan urusan akhiratmu. Dan janganlah engkau berbisik-bisik dengan seseorang, padahal di sebelahmu terdapat orang lain yang tidak diikutsertakan. Jangan merasa dirimu agung dan terhormat di hadapan manusia, karena hal itu akan membuat habis terputus nilai kebaikan-kebaikanmu di dunia dan akhirat. Janganlah berbuat keji di dalam majelis pertemuanmu sehingga akibatnya mereka akan menjauhimu karena buruknya akhlakmu. Janganlah engkau ungkit-ungkit kebaikanmu di hadapan orang lain. Janganlah engkau robek orang-orang dengan lidahmu yang akibatnya engkau pun akan dirobek-robek oleh anjing-anjing Jahannam, sebagaimana firman-Nya Ta'ala, "Demi yang merobek-robek dengan merobek yang sebenar-benarnya..." (QS An-Nâziyat [79]: 2) Di neraka itu, daging akan dirobek hingga mencopot tulang.

Mendengar penuturan Nabi sedemikian itu, Mu'adz kembali bertanya dengan suaranya yang semakin lirih, "Wahai Rasulullah, siapa sebenarnya yang akan mampu melakukan itu semua?"

"Wahai Mu'adz! Sebenarnya apa-apa yang telah aku paparkan tadi dengan segala penjelasannya serta cara-cara menghindari bahayanya itu semua akan sangat mudah bagi dia yang dimudahkan oleh Allah Ta'ala. Oleh karena itu, cukuplah bagimu mencintai sesama manusia, sebagaimana engkau mencintai jiwamu sendiri, dan engkau membenci mereka sebagaimana jiwamu membencinya. Dengan itu semua, niscaya engkau akan mampu dan selamat dalam menempuhnya!"

Khalid bin Ma'dan kemudian berkata bahwa Mu'adz bin Jabal sangat sering membaca hadits tersebut sebagaimana seringnya beliau membaca Al-Quran, dan sering mempelajarinya serta menjaganya sebagaimana beliau mempelajari dan menjaga Al-Quran di dalam majelis pertemuannya.

: : : : : : : : : : : : : : : : :

Al-Ghazali rahimahullah kemudian berkata, "Setelah kalian mendengar hadits yang sedemikian luhur beritanya, sedemikian besar bahayanya, atsar-nya yang sungguh menggetarkan, serasa akan terbang bila hati mendengarnya serta meresahkan akal dan menyempitkan dada yang kini penuh dengan huru-hara yang mencekam. Kalian harus berlindung kepada Rabb-mu, Pemelihara Seru Sekalian Alam. Berdiam diri di ujung sebuah pintu taubat, mudah-mudahan kalbumu akan dibuka oleh Allah dengan lemah lembut, merendahkan diri dan berdoa, menjerit dan menangis semalaman. Juga di siang hari bersama orang-orang yang merendahkan diri, yang menjerit dan selalu berdoa kepada Allah Ta'ala. Sebab itu semua adalah sebuah persoalan besar dalam hidupmu yang kalian tidak akan selamat darinya melainkan disebabkan atas pertolongan dan rahmat Allah Ta'ala semata.

Dan tidak akan bisa selamat dari tenggelamnya di lautan ini kecuali dengan hadirnya hidayah, taufiq serta inayah-Nya semata. Bangunlah kalian dari lengahnya orang-orang yang lengah. Urusan ini harus benar-benar diperhatikan oleh kalian. Lawanlah hawa nafsumu dalam tanjakan yang menakutkan ini. Mudah-mudahan kalian tidak akan celaka bersama orang-orang yang celaka. Dan mohonlah pertolongan hanya kepada Allah Ta'ala, kapan saja dan dalam keadaan bagaimanapun. Dialah yang Maha Menolong dengan sebaik-baiknya...

Wa lâ hawla wa lâ quwwata illa billâh.

-Dicuplik dari Kitab "Minhajul Abidin" karya Imam Al Ghazali-

Shaahibul Ghibah, Malakul Fakhr, Shaahibil Kibr, Shaahibul Ujbi, Shahibul Hasad, Shaahibur-Rahmah, Shaahibudz-Dzikr.

Membincangkan aib orang, kemegahan diri, kesombongan, mentakjubi diri, iri dengki, tidak penyayang, mengharap pujian-pujian.

Semoga kita semua dijauhkan Allah dari sifat-sifat yang buruk dan merugikan diri tersebut.

Selamat beribadah Jum'at, 12 Januari 2018.