Tuesday, July 2, 2019

Saya datang ke Jakarta dengan membawa semangat untuk meraih masa depan yang cerah. Dalam benak saya suksesnya kehidupan itu diukur dari pencapaian karir dan status sosial ekonomi. I mean, that’s what most people respect right? Jika anda datang sekeluarga di sebuah restoran mewah mengendarai mobil mewah, maka pak satpam langsung memberi hormat ala militer begitu ia membukakan pintu mobil Anda. Sebuah gestur yang tak mungkin dia berikan kepada orang yang datang dengan kendaraan umum. Jika punya banyak uang, Anda bisa membeli apapun yang diinginkan, tinggal di hotel mewah manapun, bepergian ke luar negeri sesering mungkin, menyekolahkan anak di sekolah mahal dsb. Itu motivasi awal saya datang ke Jakarta.

Berbekal ijazah S1 dari sebuah perguruan tinggi negeri ternama di pulau Jawa, saya pun mulai memberanikan diri bertarung di medan kota metropolitan. Tiga tahun pertama saya bekerja di sebuah lembaga pendidikan swasta, karena mengikuti “passion” saya yang senang mengajar. Dulu gaji yang didapat perbulan sekitar dua juta rupiah. Cukup untuk menyewa kamar kost dan memboyong istri yang saya baru nikahi di tahun kedua. 

Di tahun keempat saya beralih profesi, menekuni dunia marketing. Tergoda dengan gaji yang lebih tinggi dengan sistem insentif yang menggiurkan. Cocok untuk mewujudkan cita-cita saya yang ingin jadi orang kaya.

Saya bekerja keras siang-malam, tak jarang akhir pekan pun menghabiskan waktu untuk berkeliling Indonesia mempromosikan produk perusahaan. Kerja keras dan ketekunan saya memang meraup hasil. Dalam waktu dua tahun saya sudah naik tingkat ke level manager. Kemudian setelah membukukan prestasi penjualan yang tinggi selama tujuh tahun berturut-turut, saya pun didaulat menjadi Head of Sales and Marketing. 

Namun kemudian ketika kesempatan untuk memegang posisi Regional Marketing Director untuk wilayah Asia Tenggara ada di depan mata. Sebuah posisi yang saya idam-idamkan, rumah tangga saya malah terkena prahara. Istri saya mengaku bahwa ia memiliki PIL (pria idaman lain). Hancur hati saya saat itu. Namun saya pun menyadari kesalahan bukan sepenuhnya ada padanya, waktu dan perhatian saya benar-benar tersita untuk mendaki tangga karir. Saya pun mengurungkan niat untuk mengejar posisi Regional Marketing Director itu agar bisa lebih fokus mengurus keluarga. Karena pertimbangan anak, kami tetap bertahan walau kerap terasa hambar hubungan ini. Aneh, kalau saya pikir-pikir rasanya momen bahagia bersama pasangan banyak terjadi justru saat dulu saya masih bergaji dua juta dan tinggal di kostan sempit berdua.

Ketika dihadapkan dengan realitas keluarga yang bermasalah, saya pun mulai mengurangi kecepatan saya dalam mengejar karir, jadi tidak ngotot seperti dulu. Pernah mencoba untuk membangun bisnis sendiri dengan membeli usaha franchise, namun gagal beberapa kali. Kerap ditipu oleh rekan bisnis hingga hampir milyaran rupiah.

Sekarang saya dan istri sudah memutuskan untuk pulang kembali ke kampung halaman. Menjalani hidup sederhana dengan berbekal usaha kecil-kecilan disana. Kami sepakat, dulu dengan gaji UMR saja bisa hidup baik, malah lebih bahagia walau kerap pas-pasan. Jadi, cukup atau tidaknya rezeki itu ternyata bukan dihitung dari berapa besar gaji atau pendapatan. Karena dulu waktu saya gaji dua juta pengeluaran dua juta. Sekarang gaji saya lima puluh juta pengeluaran pun lima puluh juta, karena gaya hidup sudah berubah. Jadi gaji berapapun akan cukup kalau kita bersyukur. 

Beberapa tahun terakhir saya mempelajari suluk, jadi makin paham bagaimana cara yang paling tepat menyikapi kehidupan agar mendapat ridho dari-Nya. Ternyata itu yang paling utama dibanding apapun pencapaian dunia kita yang fana ini. Butuh waktu 20 tahun untuk akhirnya saya menyadari hal ini, setelah sebelumnya berkubang dalam lumpur dunia yang melalaikan. Masya Allah. Semoga kisah saya ini menjadi pelajaran, bahwa semestinya yang dikejar itu bukan kedudukan, gaji besar, posisi, jabatan dll dengan mengabaikan Tuhan. Tapi jika kita berjalan bersama-Nya, apapun posisi yang diamanahkan akan menjadi berkah. Hal itu terasa di hati. Karena saya percaya betul neraka atau surga kita nanti sudah bisa dirasakan sejak saat ini. Maka carilah posisi, tempat, pekerjaan, kegiatan dll yang meniupkan angin surga buat jiwa kita. Karena bukankah pada akhirnya jiwa kita yang akan melanjutkan perjalanan di alam-alam berikutnya? Oleh karenanya berilah dia makanan yang tepat dalam kita berkecimpung mencari penghidupan di dunia. Tidak cukup dengan mencari yang halal tapi juga harus thayyib.


(Inspired by a true story)

No comments:

Post a Comment