Dulu, saya menganggap pekerjaan ibu rumah tangga adalah
pekerjaan paling sepi di dunia. Sepi dari pengakuan, sepi dari penghargaan, pun
ngga ada duitnya – malah nombok.
Itu dulu. Zaman belum ngaji. Waktu belum ditegur oleh
Mursyid saya dengan sebuah hadits yang mengejutkan dari seorang sahabat
Rasulullah saw bernama Mu’ adz bin Jabbal. Ini seorang sahabat yang luar biasa, banyak kebagian hadits yang mencengangkan Tak heran, beliau dalam kesaksian
seorang sahabat yang lain adalah sebagai sahabat yang paling banyak membaca Al
Quran.
Haditsnya panjang, tapi setelah kita membaca berita itu pasti akan bereaksi seperti Mu’ adz yang kira-kira berkata, “Siapa orang yang
bisa memenuhi itu dan selamat darinya?”
Dalam hadits itu disebutkan tentang ada tujuh lapis langit
saringan amal lengkap dengan malaikat penjaga di setiap langitnya. Amal-amal yang
naik akan disaring di setiap lapis langitnya, kalau di dalamnya tercampur unsur ghibah, menghalalkan berbagai cara untuk mencapai
dunia hingga tidak mempedulikan aspek zuhud dan wara’, takabbur, ujub, hasad,
tidak merasa kasihan dengan orang lain yang ditimpa kemalangan, mencari
kemasyhuran (sum’ ah) dan riya, maka semua amalan itu akan disuruh dipukulkan
kembali kepada orang yang beramal, alias ditolak mentah-mentah. Lebih lanjut di
hadits itu dikisahkan ada orang yang amalannya naik menembus semua saringan
amal itu hingga disujudi oleh para malaikat saking kerennya amalan itu dalam
pandangan mereka, tapi ketika amal-amal itu dihadapkan kepada Allah lantas
Allah menolaknya! Allah berfirman, “ Ia lakukan perbuatan ini karena selain
Aku. Maka laknat-Ku jatuh padanya.”
Duh, sedih banget ngga sih, sudah susah-susah shaum,
berjuang menunaikan haji, berjihad fisabilillah, apapun amalan yang kita anggap
amal shalih itu tapi akhirnya tidak ada yang diterima sama sekali. Jadi benar
bahwa kita tidak aman kalau sekadar menyandarkan diri kepada amal-amal kita yang bahkan tak
seberapa itu dibandingkan segala pemberian-Nya.
Terus kaitannya dengan dunia si emak, ibu rumah tangga yang katanya sepi?
Ya itu, tadinya saya pikir pekerjaan yang sepi dari pengakuan manusia itu kurang keren. (Riya’ banget ngga sih). Setelah mendapat penjelasan dari Mursyid saya bahwa justru
perbuatan yang dilakukan dalam sepi yang tidak ada satu orang pun tahu (asal
ngga diupload di sosial media) – itu yang aman dari saringan riya, sum’ah dll.
Dengan kata lain, peluang naik ke langit hingga sampai ke hadapan Allahnya
lebih besar. Asal ikhlaaaas bener. Harus bersih hati. Mengerjakan semua dengan
cinta.
Kenapa dengan cinta (kasih-sayang) ?
Karena itu kunci yang diberikan oleh Rasulullah saw saat menjawab
pertanyaan Mu’ adz diatas. Beliau berkata, “Ya Mu’adz, sesungguhnya hal itu
sangat mudah bagi siapa saja yang diberi kemudahan oleh Allah SWT dan untuk
memenuhi hal tersebut cukuplah bagimu mencintai untuk orang lain seperti engkau
mencintainya untuk dirimu sendiri, dan juga membenci (sesuatu) untuk orang lain
seperti engkau membencinya untuk dirimu sendiri, maka dengan itu wahai Mu’ adz
engkau menjadi selamat.”
Indah jika semua dikerjakan dengan cinta. Cuci piring jadi
indah, semua piringnya jadi terlihat senyum semua. Merapikan mainan yang
berantakan terus jadi merdu ada suaranya, setiap mainan seakan berkata “ terima
kasih!” , membersihkan wc sekalipun jadi asyik-asyik aja, sambil bersenandung “ini
untuk-Mu…” Termasuk merapikan kaos kaki suami yang suka sembarangan disimpan,
tadinya suka misah-misuh, sekarang ehmm..senyum sambil bilang “ sini kaos kaki,
aku bantu kau disimpan ke keranjang cuci”. Ah adem…cukup Allah yang menjadi
saksi. Jadi selama ini aku salah
menganggap diri kesepian, padahal Dia selalu hadir, setiap saat. Malah aku yang berpaling darinya karena mendambakan hal yang lain. Duh Gusti,
maafkan…
No comments:
Post a Comment