Perempuan mulia itu ditinggal di tengah gurun tanpa ada orang di sekitar dengan perbekalan air dan beberapa butir kurma seadanya dengan membawa bayi yang masih harus disusui. Saat sang suami pergi menjauh meninggalkan dirinya dan sang buah hati, perempuan itu tidak panik ataupun marah. Malah sebaliknya, begitu mendengar jawaban suaminya atas pertanyaan dirinya, “ Apakah Allah telah memerintahkanmu untuk melakukan ini?” Kemudian dijawab “ Iya” dengan pasti oleh suaminya, seorang laki-laki yang juga berhati mulia. Maka tenanglah hati Siti Hajar, sang perempuan mulia itu. Ia pun berkata dari keyakinan hatinya, “Jika demikian, Dia tidak akan menelantarkan kita.”
Saat terik matahari semakin membakar dan perbekalan mulai menipis, sang ibu mulai berikhtiar mencari pertolongan, barangkali ada tanda-tanda kehidupan di sekitar atau sekadar ada rombongan kafilah yang tengah melintas. Maka ia berlari-lari antara bukit Shafa dan Marwah yang berjarak hampir setengah kilometer. Tak ada sedetikpun keraguan dalam hatinya bahwa Allah akan menolong. Tapi lewat mana? Maka ia terus berlari kembali, satu putaran, dua putaran. Nafas mulai terengah-engah dan keringat deras bercucuran. Namun semangatnya terus menyala dipacu juga oleh rasa sayangnya pada sang bayi yang pasti membutuhkan air susu ibunya, ia tidak mau menyaksikan bayinya kehausan di depan matanya sendiri. Ia pun terus berlari, bolak-balik tanpa henti.
Hingga usai putaran ketujuh langkahnya terhenti karena mendengar bayi Ismail menangis. Saat ia mendekat tampaklah seorang malaikat tengah menggali di titik mata air Zamzam. Allah menolong sang ibu tak jauh dari obyek yang paling dijaga pada saat itu, yaitu dengan mengeluarkan air Zamzam tak jauh dari tempat bayi Ismail berada.
Kisah ini kita dengar dan baca setiap tahun, terutama menjelang perayaan Idul Qurban. Tapi sadarkah bahwa berlari antara Shafa dan Marwah itu bukan hanya tentang sejarah? Kalau tidak untuk apa kisah ini dicantumkan dalam Al Quran yang mestinya berfungsi menjadi pemandu umat Rasulullah saw di setiap zaman hingga akhir nanti dan seterusnya?
Kita semua yang berhajat menemukan mata air zamzam dalam kehidupan masing-masing seharusnya melakukan sa’i dengan penuh semangat dan tanpa keraguan sedikitpun seperti yang telah dilakukan oleh Siti Hajar ra. Mata air hikmah yang membuat kita mengerti kenapa Allah menakdirkan kesempitan itu, kesulitan yang itu, perceraian yang itu, kedukaan yang itu, konflik yang itu, penyakit yang itu, problem yang itu dan lain sebagainya. Karena selama kita tidak menemukan mata air hikmah di balik setiap perkara yang membuat kepala kita pusing dan menjadikan wajah kita menjadi buram, maka kita akan terus didera oleh kehausan dan bukan tidak mungkin akan mati hati kita. Menjadi tidak percaya Tuhan, menjadi skeptis terhadap janji-Nya, agama menjadi hal yang terdengar basi , sebatas ritual dan tidak menginspirasi.
Allah Ta’ala mengajarkan kepada kita semua kunci untuk menemukan mata air kehidupan itu adalah dengan menempuh sa’i dalam diri dan kehidupan masing-masing, sebuah perjalanan spiritual bolak-balik antara langit dan dunia, antara berdoa dan ikhtiar, antara harap dan takut.
Semua harus belajar untuk mendaki bukitnya masing-masing. Tidak hanya sekali atau dua kali. Tidak hanya menunggu satu atau dua tahun. Mungkin bahkan harus menunggu puluhan tahun seperti Nabi Zakariya yang berdoa meminta keturunan, tapi toh ungkapan beliau yang sangat luhur dan tak goyah sedikitpun keyakinannya kepada Allah hingga diabadikan dalam Al Quran, “ ..dan aku tidak pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu” (QS Maryam [19]:4)
Lantas, pantaskah kita yang baru berdoa beberapa tahun saja merasa belum dikabulkan lalu kecewa hingga berkata “ Allah tidak mengabulkan doaku”, sebuah ungkapan yang justru akan menutup pintu terkabulnya doa.
Lalu, pantaskah kita yang baru didera kesulitan kurang uang sedikit, konflik sedikit, susah sedikit sambil masih bisa makan dan minum kenyang dan tidur nyenyak lalu mengeluhkan keadaan hidupnya. Yang padahal jauh lebih nyaman dibanding dengan keadaan yang harus dijalani oleh Siti Hajar dan bayinya.
Begitulah, memang nyata banyak kandungan hati yang masih harus dikurbankan dalam prosesi qurban nanti. Hati yang mudah marah, hati yang gampang tersinggung, hati yang mengeluh terus. Diri yang malas, diri yang merasa diri lebih baik dari yang lain, diri yang lupa akan tugas sejatinya. Semua itu patut disorot dan dimintakan lebur satu persatu seiring dengan darah hewan kurban yang mengalir yang kita beli dengan harta yang dipinjamkan oleh Allah.
Agar kurban hanya bukan sekadar festival penyembelihan semata yang diikuti dengan “barbeque party”. Tapi harus ada perubahan yang kita rasakan dalam diri. Agar menjadi manusia yang tangguh seperti Ibrahim as, Siti Hajar ra, dan Ismail as. Tiga tokoh utama yang menjalankan skenario Allah hingga membentuk peribadatan kurban yang menjadi salah satu ibadah penting umat Islam sedunia.
Berlari tujuh putaran. Mengusap tujuh lapisan cermin hati hingga menemukan mata air pengetahuan dalam diri masing-masing, melalui gerinda ujian dan sungai takdir kehidupan masing-masing. Semoga setiap orang meraih status haji sejati. Seperti yang disimbolkan dalam gerak thawaf sebagai puncak dari ibadah haji. Yaitu gerakan memutar sebuah orbit mengelilingi Baitullah. Dengannya semoga kita menemukan orbit diri masing-masing. Sebuah kehidupan yang kita berpijak kokoh di atasnya. Yang kita menemukan kebahagiaan yang hakiki di dalamnya.
Berlarilah menerjang lelah, kecewa, kesulitan dan duka dan jangan mengizinkan setitikpun keraguan kepada janji-Nya menyelinap di hati. Dan jika saat rasa lemah itu tiba, saat rasanya ingin berhenti, katakanlah kepada diri sendiri,
“ I know you’ re tired, but come! This is the way” - Rumi
No comments:
Post a Comment