Seandainya rumah tangga kedua orang tua saya baik-baik saja
dan seandainya mereka tetap harmoni dalam kelapangan hidup, barangkali saya
tidak akan tergerak mencari Tuhan di usia 13 tahun.
Alhamdulillah Allah berkenan menarik hati saya melalui
hantaman badai rumah tangga orang tua yang diikuti oleh krisis ekonomi dalam
keluarga kami sebagai dampak dari sebuah perpisahan.
Pada awalnya saya merasa bumi yang saya pijak amblas ke
dalam tanah, seperti ditempa gempa bumi, saya tidak bisa berdiri tegak.
Limbung. Bingung. Sedih. Juga bercampur marah dan kecewa. Alhamdulillah Allah
menjaga saya dari pergaulan yang buruk, narkoba dsb. Saya pun menenggelamkan
kebingungan saya dan mencoba menghilangkan rasa sakit yang ada dengan
menyibukkan diri dalam sekian banyak aktivitas: bimbingan belajar, les Bahasa
Inggris, tenis, renang dan setiap akhir pekan nonton di bioskop bersama
teman-teman. Pokoknya bagaimana caranya setiap hari pergi pagi dan pulang malam
dalam keadaan lelah hingga tidak merasakan keadaan yang tidak harmonis di rumah,
a very place you called home. Yang seharusnya menjadi “ rumahku surgaku”.
Setelah sekian lama hidup, saya melihat penggal waktu yang
dulu terasa menyakitkan ini adalah sebuah rahmat (pertolongan) Allah Ta’ ala.
Karena kalau tidak saya sudah tak tahu berakhir dimana, dengan segala keliaran
pikiran dan cita-cita dan semua potensi yang membuncah. Saya pasti akan dibuat
lupa kepada-Nya, lupa mengerjakan amanah-Nya dan lalai bersiap untuk kehidupan
lain yang pasti menjelang.
Gejolak dalam keluarga itu membuat saya berpikir ulang
mengenai makna kehidupan. What is life all about? Apa yang kita cari dalam
hidup? Apa yang harus aku lakukan? Siapa aku?
Allah Maha Tahu semua pertanyaan itu membuat saya terjaga di
malam hari selama bertahun-tahun. Trying to figure out everything. Mencoba
memahami posisi saya di dalam konstelasi besar kehidupan.
Sekarang, Alhamdulillah saya bisa mulai memetik manisnya
buah pendidikan Ilahiyah itu hingga menyadari bahwa Dia tidak berbuat kesalahan
setitikpun dalam menetapkan sebuah takdir. Tentang orang tua saya yang sempat
dibuat berseteru, tentang kekecawaan saya setiap kali melihat ketidakharmonisan
mereka, tentang kesedihan saya setiap melihat almarhum ayah harus tinggal di
tempat yang berbeda. Semua menjadi indah pada saatnya. Di balik setiap
kepahitan kehidupan, Dia hanya berniat memberikan yang lebih baik dari itu
semua.Sedemikian rupa hingga jika saya diberi pilihan untuk mendesain ulang
kehidupan masa lalu saya, saya tidak akan mengubah satu helai benang takdirpun
yang telah Dia untai. Karena Allah adalah Penjalin Kehidupan yang terbaik.
Kenapa saya mau berbagi hal yang sangat pribadi ini?
Karena saya tahu setiap sahabat memiliki arena perjuangannya
masing-masing yang kadang kita dibuat terpukul, lelah, sedih, dan tak berdaya. Tapi percayalah itu justru
saat “hari Tuhan” datang. Karena Dia sungguh ada bersama mereka yang remuk
hatinya.
“Hari Tuhan” adalah
saat dimana Dia berkenan memperkenalkan Dirinya. Ketika semua pegangan
horizontal dan duniawi tak bisa diandalkan, ketika semua ikhtiar tampaknya tak
membuahkan hasil, tatkala kita nyaris tak bisa melihat secercah cahaya di dalam
kegelapan. Di saat genting itu justru Dia pasti datang, agar kita menjadi
mengenal-Nya, Sang Tuhan yang sejati. Bukan tuhan-tuhan palsu yang senantiasa
kita andalkan dengan semua perhitungan dan daya upaya kita.
Maka berbesar hatilah walaupun hati terasa remuk. Dia Yang Kuasa
membangunkan manusia dari maut tentu mudah untuk merekatkan pecahan-pecahan
hati yang berkeping-keping menjadi utuh kembali. Dengan satu syarat, we have to
give God all the pieces…
No comments:
Post a Comment