Sunday, July 7, 2019

Empat anak gadis usia rentang 15 hingga 20 tahun bertemu lagi setelah sekian lama tak bersua. Satu kuliah dan dibesarkan di Belanda, satu kuliah di Singapura, satu kuliah di Korea dan satu kuliah di Jakarta. Dalam diskusi panjang itu ada sebuah catatan penting yang patut untuk dibagi.

Sekolah atau kuliah di Indonesia lebih stress dibanding sekolah di luar negeri.

Kenapa?
Karena social pressure tinggi, family pressure tinggi. Sistem sekolah yang menerapkan sistem rangking juga membuat anak dipaksa berlomba menjadi rangking pertama, a ridiculous rat-race in educational system.

Jangan salah, di luar negeri juga stress tentu ada. Tapi anak lebih bebas menjadi dirinya sendiri. Anak cenderung dibebaskan mencari jurusan yang ia minati, lepas dari pengkotak-kotakan IPA/IPS, jurusan keren atau tidak dsb. Di level sekolah dasar bahkan anak tidak naik kelas pun hal yang bukan tabu disini. Guru atau orang tua akan biasa merespon, “ laat maar… (biarkan saja)” karena paham setiap anak kadang butuh temponya masing-masing.

Saat ditanya lebih jauh kepada anak gadis yang besar di Belanda, tentang kenapa anak-anak di Belanda bisa lebih bebas menentukan jurusan kuliah dan pilihan pekerjaan. Dia bilang, “ Soalnya aku tidak perlu pusing mikirin apakah aku akan dapat makan, punya tempat tinggal atau tidak?”

Ternyata ada kaitan antara iklim pendidikan dengan sistem sosial yang dibangun oleh pemerintah dalam sebuah masyarakat. Di dalam sebuah masyarakat yang pemerintahnya memastikan hal-hal dasar seperti pangan, sandang dan papan juga pendidikan dan kesehatan dipenuhi oleh mereka dengan gaji UMR sekalipun, maka orang itu akan lebih luwes untuk mencari bidang yang sesuai dengan panggilan hatinya. Karena ia tidak terjebak dalam situasi harus mempertahankan sebuah pekerjaan yang sebenarnya tidak dia sukai demi untuk memenuhi hajat hidup diri dan keluarganya.

#catatan akhir pekan dari mendengar percakapan sekumpulan anak gadis di sebuah kedai ramen di Amsterdam.



No comments:

Post a Comment