Monday, February 16, 2015

Kerjakan Yang Dekat


Seseorang bertanya kepada gurunya tentang taqwa, "Guru, bagaimana saya bisa belajar bertaqwa?"
Sang Guru menjawab singkat dan tegas, "Kerjakan yang dekat...kerjakan yang dekat..."

Salah satu sifat menonjol dari hawa nafsu dan syahwat adalah menginginkan apa-apa yang tidak ia miliki. "Coba kalau saya dapat jodoh, coba kalau saya punya anak, coba kalau saya punya mobil - yang merk itu pula, coba kalau rumah saya disitu, coba kalau suami saya begitu, coba kalau hidung saya agak mancung dikit, coba kalau saya masih kerja seperti dulu,.." dsb.
Memang beda tipis antara cita-cita dan angan-angan semu, namun hati setiap orang pastilah bisa memilahnya.
Yang pasti, jelas tidak mudah bagi seseorang untuk sekadar menerima kondisi per hari ininya dengan apapun yang Dia titipkan ke tangan kita saat ini.
Pikiran kita yang seringkali terkontaminasi waham ingin melakukan sesuatu yang hebat dan besar serta kerap terperangkap oleh stereotipe "Kesuksesan Hidup" yang banyak digadang-gadang orang. Sedangkan jangan-jangan Sang Gusti hanya ingin kita merumat dengan baik segala titipan-Nya yang dekat dan sepertinya itulah arti kesuksesan yang sebenarnya. []

Berserah Diri Itu Bukan Pasrah

Salah satu alasan agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW disebut agama "Islam" adalah karena 'berserah diri' adalah tema utamanya. Hanya dengan mengalirkan diri dalam aliran sang waktu maka manusia akan bahagia. Alih-alih bertarung dengan suguhan takdir-Nya dan berkeluh kesah menjalaninya seraya memancarkan aura negatif kepada lingkungan sekitar, berserah diri berarti menerima dengan ikhlas episode per saat ini,

Berserah diri tidak sama dengan pasrah, menyerah dan tidak melakukan apa-apa, akan tetapi sebaliknya, secara fenomena bisa jadi dia tampak pontang-panting akan tetapi hatinya tenang dalam menjalani.
Berserah diri juga berarti mengalir betul dengan aliran kehidupan, tidak menafikan 'tamu-tamu Tuhan' yang Dia datangkan dan tidak mengacuhkan kondisi dan lingkungan yang ada.
Berserah diri sulit diukur dari penampakan lahiriah semata, karena ia adalah suatu proses yang terjadi di lubuk hati seseorang.[]

Friday, February 13, 2015

Merajut Sarang Laba-Laba

"The meaning of life has been reduced to an unconscious operating mode: get a job that will enable us to buy what we want, pass through life with a minimum of pain and discomfort."
- Shaikh Kabir Helminski

Adalah kecenderungan alami manusia jika ia mencintai keabadian. Berbagai ekspresi tertuang untuk menyatakan kecintaannya itu, dari yang banting tulang pagi hingga malam untuk menyediakan kehidupan yang layak bagi anak, cucu, cicit, bahkan kalau perlu hingga delapan turunan diamankan oleh 'dana abadi' supaya mendapatkan kehidupan yang super layak. Ada yang memutar keras otak dan menguras keringat demi menorehkan namanya dalam jajaran 'ahli ini- dan ahli itu; pemegang rekor ini-itu' dengan harapan namanya tertoreh dengan tinta emas dan dikenang hingga akhir zaman.

Seribu satu cara dicari oleh manusia untuk menghindari derita. Maka gagasan seperti mendapat gaji tetap, 'passive income', cara cepat jadi kaya tidak pernah surut dari peminat dari masa ke masa walau dengan kemasan yang berbeda-beda. Di bidang kesehatan, banyak penemuan obat dan teknik yang bisa membuat manusia tidak mengalami rasa sakit saat melahirkan dan bahkan di beberapa negara orang yang memiliki penyakit kronis dan terminal tidak perlu berlama-lama menderita akibat sakitnya karena dapat dilakukan euthanasia (mengakhiri kehidupan seseorang - menggunakan zat kimia yang disuntikkan ke dalam pembuluh darah - dengan sengaja - atas permintaan pasien sendiri dan/atau keluarga).

Inilah modus sang ego (The 'I') dalam membangun kerajaannya, jauhkan sejauh-jauhnya kesusahan dan penderitaan dalam hidup. Ego manusia yang selalu ingin hidup enak. Namun kehidupan yang dibangun oleh mentalitas ego-is ini sesungguhnya bagai merajut sarang laba-laba. Tampak canggih namun sangat rapuh. Buktinya, ia tidak akan pernah bisa menahan hembusan takdir.[]