Wednesday, September 26, 2012

Mengemban Amanah Sebagai Cahaya Allah

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan kepada langit-langit, kepada bumi, gunung-gunung, semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir untuk mengkhianatinya, dan dipikullah amanah tersebut oleh manusia. (QS [33]:72)

Pernah suatu ketika Allah membuka kesempatan kepada semua makhluknya untuk memikul amanah menjadi ‘cahaya Allah’, dan menolaklah semua makhluknya kecuali manusia. Karena memang sebenarnya hanya manusia yang mampu memikul amanah itu – sebagai makhluk Allah yang mempunyai potensi paling banyak menyerap sifat-Nya. Akan tetapi keadilan Allah membuat-Nya menawarkan kesempatan ini bagi semua makhluknya, dan memang para makhluk-Nya selain manusia cukup tahu diri untuk tidak menerima amanah tersebut. Hingga dipikullah amanah itu oleh manusia.

Untuk dapat mengerjakan amanah Allah, maka manusia harus terlebih dahulu mencapai struktur target menjadi cahaya Allah (QS An Nuur : 35), karena setelah itu baru terbukalah apa misinya, untuk apa dia diciptakan, apa kodrat dirinya, atau dalam Bahasa Sufi disebut telah ‘bertemu diri’. Inilah pengenalan diri yang hakiki yang sejalan dengan hadis Rasulullah saw, man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu. Barangsiapa mengenal jiwanya maka akan mengenal Tuhannya.

Terkait amanah, Rasulullah saw bersabda, “Bila sebuah al amanah disia-siakan maka tunggulah saat kehancurannya.” Seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah bagaimana yang disebut menyianyiakan amanah itu?” Rasulullah menjawab, “Bila sebuah urusan (al amru) diserahkan kepada yang bukan ahlinya (bukan haknya).”

Jadi setiap manusia ada keahlian di bidang masing-masing, bukan sekedar ditentukan gelar atau jenjang akademis, kuliah dimana, pangkat apa, magisternya apa,dll. Tentu semua itu membantu kita untuk mengidentifikasi kodrat diri, bahwa ada sebuah fungsi spesifik yang harus kita kerjakan di bumi ini yang bila kita tidak mengerjakan itu tunggulah kehancurannya di bidang tersebut, karena kita tidak mengerjakan tugasnya. Dunia kita saat ini secara umum carut-marut karena banyak orang yang belum mengerjakan tugasnya.

Semoga Allah Ta’ala menolong kita mengerjakan amanah pribadi masing-masing, aamiin.

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)

Saturday, September 22, 2012

Struktur Insan = Struktur Target

Mengenal diri kita tidak lepas kaitannya dengan mengenal komponen yang ada dalam diri, potensi yang Allah Ta’ala Sang Pencipta berikan. Untuk mengetahui konsep dasar tentang struktur diri tentu rujukan yang paling valid adalah keterangan yang diberikan oleh Sang Pencipta yang sebenarnya bertebaran dalam kitab suci atau keterangan para pembawa risalah-Nya.

Oleh karena itu kita ambil ayat [24]: 35 dalam kitab suci Al Quran yang bicara dengan gamblang dan indah tentang struktur manusia sbb: “Allah cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat yang didalamnya terdapat pelita terang. Pelita tersebut didalam kaca, kaca itu seakan-akan kaukab yang berkilau dinyalakan (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya; pohon zaitun yang tumbuh tidak disebelah timur dan tidak pula disebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api. Cahaya diatas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” 

Di sini Allah membuat perumpamaan terhadap cahaya Allah, bukan terhadap Allah-nya. Karena kalau aspek Allah-nya tidak ada perumpamaan apapun terhadap Dia. Cahaya Allah tersebut terdiri dari tiga komponen: 1) Misykaat, yaitu sebuah lubang yang tidak tembus, simbol dari raga manusia
2) Zujaajah atau bola kaca. Diterjemahkan ‘seakan-akan bintang’, padahal istilah ‘kaukab’ yang digunakan di ayat itu adalah istilah untuk planet, sebuah benda langit yang tidak mempunyai cahayanya sendiri. Planet bercahaya karena ia memantulkan cahaya dari sumber cahaya lain. Begitupun zujaajah, ia bisa menyala terang karena ada minyak bercahaya yang menyelimutinya.
3) Mishbah atau pelita, perlambang dari ruh al quds.

Tiga elemen ini juga merupakan perwakilan dari tiga alam. Misykat ~ Raga ~ Dari alam mulk Zujaajah ~ Qalb, bagian dari Nafs (jiwa) ~ Dari alam malakut Mishbah ~ Ruh Al Quds ~ Dari alam jabarut.

Misykat adalah suatu material yang tidak tembus cahaya, sebagaimana raga kita. Sedangkan jiwa seolah-olah sesuatu yang transparan, tidak terlihat, dilambangkan dengan kaca yang bening. Antara zujaajah dan misykat terdapat ruang yang dinamakan Shadr (rongga dada).

Struktur manusia yang termuat dalam ayat Al Quran di atas adalah struktur target, sesuatu yang harus dicapai oleh setiap insan. Betapa besar potensi yang ada dalam setiap insan, sehingga Allah berfirman dalam Hadits Qudsiy, “Kalau bukan engkau, maka Aku tidak akan menciptakan alam semesta”. Maka setiap diri kita menyimpan sesuatu yang berharga dalam dirinya yang menanti untuk dijawantahkan. Tidak ada manusia kelas dua atau kelas tiga, di hadapan-Nya semua insan adalah berharga.

Semoga Allah memudahkan jalan kita menjadi cahaya-Nya. Aamiin

(Referensi: Materi Serambi Suluk, 2008. Zamzam AJT)

Kodrat Diri

Kata kodrat diri berasal dari qudrah, artinya kuasa. Istilah ini juga sering disebutkan oleh Nabi Isa dan direkam dalam Perjanjian Baru. ‘Kuasa Tuhan’ erat kaitannya dengan ruhul kudus (ruh al quds). Artinya suatu urusan yang dikuasakan dari Tuhan kepada hamba-Nya. Misi hidup seseorang adalah kuasa Tuhan yang disimpan dalam setiap diri manusia. Itulah yang membuat manusia menjadi spesial dibanding makhluk Tuhan lainnya, karena manusia yang mengemban amanah kuasa Allah untuk dikerjakan di kehidupan dunia ini. Dengan demikian, semua manusia di mata Allah secara potensial. Hanya ada yang bisa berjuang menemukan dirinya ada yang tidak.

Allah Ta’ala telah mendesain kehidupan kita sedemikian rupa, dilahirkan dimana, dari orang tua yang mana, melalui sekian tahapan kehidupan dan pergumulan hidup, semata-mata untuk menempa sang hamba agar kian mendekati kodrat dirinya, tinggal si hamba merenungkan setiap langkah yang telah ia tempuh dan berjuang untuk mendapatkan rahmat Allah.

Nabi Isa as berkata sebelum ia meninggalkan para sahabatnya untuk naik ke langit, “aku akan pergi ke Bapakku, jangan khawatir kehilangan aku karena sepeninggalku nanti engkau akan ditemani oleh sesuatu yang kamu tidak akan berpisah dengan dirimu selama-lamanya, yaitu Ruh al Quds” Demikianlah yang terjadi, pada hari ke-50 , rasul-rasul itu berkumpul di sebuah rumah yang Nabi Isa amanahkan, muncullah api dari langit, pada saat itu semua dinyalakan hatinya – menyala misbah dalam qalb masing-masing, hari itu disebut Pentakosta hari dimana terbitnya ruh al quds dalam hati masing-masing sahabat Nabi Isa. Maka tiba-tiba mereka berbicara dalam bahasa asing yang berlainan, ada yang berbicara Bahasa Mesir, Bahasa Yunani dsb. Itulah tanda bahwa setiap orang diutus sebagai rasul ke daerah-daerah yang ditentukan untuk menjalankan kodrat dirinya masing-masing.

Setiap waliyullah juga telah hidup dalam kodrat dirinya masing-masing, artinya dalam qalbnya telah menyala ruh al quds-nya. Para hamba Allah seperti Syaikh Abdul Qadir Jailani, Ibnu Arabi, Wali Songo dsb adalah orang-orang yang telah mengerjakan misi hidupnya. Demikian juga kita mengemban misi hidup yang harus dikerjakan dan akan diminta pertanggungjawaban nanti oleh Allah di akhirat.

Semoga Allah memudahkan kita menapaki jalan kodrat diri masing-masing. Aamiin.

(Referensi: Materi Serambi Suluk, 2008. Zamzam AJT)

Empat Macam Qalb

Berikut hadis Rasulullah tentang empat jenis qalb. Qalb beda dengan perasaan. Qalb adalah rasa jiwa, kalau jiwanya bangun baru seorang manusia teraktivasi qalbnya.

“Ada empat macam qalb. Pertama, qalb yang bersih yang di dalamnya ada pelita yang bersinar cemerlang, itulah qalb si mukmin. Kedua, qalb yang hitam dan terbalik, itulah qalb si kafir. Ketiga, qalb yang terbungkus dan terikat dengan bungkusnya Keempat, qalb yang campur aduk di dalamnya ada iman dan kemunafikan”

Hadis ini juga berbicara tentang struktur insan yang dijelaskan dalam QS An Nuur [24]: 35.

Qalb orang mukmin adalah yang sudah menyala api di dalamnya, yaitu api dari ruh al quds. Ini adalah tingkatan iman yang tinggi, dimana sang hamba sudah menemukan misi hidupnya, tandanya adalah bahwa Allah berkenan menganugerahinya utusan dari alam jabarut yaitu menyalanya rul al quds dalam qalbnya.

Qalb yang hitam terbalik, tidak ada cahayanya adalah qalb orang kafir. Kafir berasal dari kata ‘kafara’ artinya tertutup, qalbnya tertutup dari cahaya Ilahiyah. Hati yang gelap tidak ada keinginan untuk mendekat kepada Tuhannya, tidak gandrung kepada kebaikan, dan tidak segan-segan melakukan kejahatan tanpa sedikit pun perasaan bersalah. Na’udzubillah.

Qalb yang terbungkus dan melekat pada bungkusnya adalah qalb yang melekat pada jasad. Seperti halnya zujaajah (bola kaca) yang melekat pada misykat. Ini adalah qalb orang munafik, yaitu orang yang sebetulnya hanya mencintai dunia di hatinya. Walaupun kata-kata atau penampilannya menampilkan ‘keshalehan’ tapi hatinya tetap menginginkan hal-hal yang selain Allah. Hal itu bisa berjenjang dari hal yang bersifat material, kekayaan, barang-barang mewah, atau yang bersifat imateril seperti kedudukan di mata manusia, waham spiritual dll.

Qalb yang bercampur antara keimanan dan kemunafikan adalah qalb pada umumnya salik tahapan awal. Mengerjakan shalat tapi juga berprasangka buruk, melaksanakan shaum tapi juga melakukan ghibah dan merendahkan orang. Jadi penyakit-penyakit hati masih bercampur dengan aspek keimanan.

Semoga Allah Yang Maha Kasih dan Lembut membasuh hati kita hingga bercahaya dengan rahmat-Nya. Aamiin.

(Referensi: Materi Serambi Suluk, 2008. Zamzam AJT)

Tuesday, September 18, 2012

Manusia Sebagai Kalimah Thayyibah

Apakah engkau perhatikan bagaimana Allah membuat sebuah perumpamaan tentang kalimah yang thayyib, diumpamakan sebagai pohon yang baik. Pohon itu memberikan buah dengan seizin Rabbnya, Allah membuat perumpamaan agar manusia berpikir. Adapun perumpamaan kalimah khabiitsah (kalimah yang buruk) seperti pohon yang buruk yang telah tercerabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi tidak dapat tegak sedikit pun. (QS Ibrahim [14]: 24-27)

Kalimah adalah istilah untuk kata atau nama. Sebuah pohon di-nama-kan pohon durian karena berbuah durian. Maka pohon dinamakan sesuai dengan buah yang dihasilkannya. Itu adalah kalimah. Masing-masing manusia pun ada ‘nama-nya sesuai dengan buah pohon diri yang dihasilkan, berkarya dalam misi hidup apa. Dengan demikian kalimah juga merupakan fitrah manusia.

Dalam Al Quran atau Hadits Rasulullah kerap kali manusia digambarkan sebagai sebuah pohon. Dimulai dari benih yang ditanam, akarnya mulai tumbuh, dahannya menjulang ke langit, daunnya lebat hingga ia mengeluarkan buahnya. Perumpamaan yang sangat indah yang berkali-kali diungkapkan agar kita mengambil pelajaran darinya.

Sebagaimana benih pohon yang ditanam di dalam tanah. Maka benih ketuhanan dalam jiwa manusia ditanamkan di dalam raga masing-masing insan dan diturunkan ke alam dunia. Benih akan mengeluarkan akarnya yang berfungsi untuk menyerap sari makanan dari dalam tanah. Maka manusia pun harus bekerja dalam kehidupan berikhtiar mencari sari-sari ilmu pengetahuan untuk menumbuhkan benih diri.

Batang dari benih yang tumbuh akan menjulang ke langit, menumbuhkan dedaunan yang berfungsi untuk menyerap sinar matahari dan melakukan fotosintesa untuk menghasilkan buah. Begitupun benih yang tumbuh dalam diri manusia akan tumbuh dalam jiwa, yang sering diibaratkan sebagai langit, sebagai lawan dari raga – yaitu aspek kebumian. Adapun daun yang tumbuh adalah simbol dari amal sholeh setiap manusia. Pohon yang bagus adalah yang rindang daunnya dan banyak buahnya. Manusia yang baik di mata Allah Ta’ala pun yang banyak amalnya untuk sesama dan lingkungannya.

Oleh karena itu tidak aneh bila para rahib, biksu atau para waliyullah di berbagai penjuru dunia dalam waktu yang berbeda-beda mengajarkan para muridnya untuk bercocok tanam. Selain melatih kesabaran dan melembutkan hati, kegiatan menanam benih, menumbuhkan, memelihara serta memetik hasilnya juga sebagai pelajaran yang jelas tentang aspek benih dan pohon diri yang harus dipelihara di dalam diri masing-masing manusia. Dan tidaklah Allah memberi perumpamaan itu semua agar manusia berpikir.

(Referensi: Materi Serambi Suluk, 2008. Zamzam AJT)

Kemusyrikan Penghalang Orang Bertemu Diri

Kerap kali kita mendengar orang menyematkan label ‘orang musyrik’ kepada mereka yang meminta petunjuk kepada dukun, percaya kepada ramalan bintang, atau menyimpan jimat-jimat tertentu. Sedemikian rupa, sehingga ketika Al Quran berkali-kali menyebutkan tentang orang-orang musyrik, kita sering merasa tidak tersentuh oleh ayat itu, merasa bahwa ayat itu bukan bicara tentang diri kita. Benarkah demikian?

Di dalam Al Quran surat Ar Ruum dikatakan bahwa kemusyrikan adalah sebab seorang manusia belum menemukan fitrah dirinya, artinya orang itu belum menyelami misi hidupnya. Dengan kata lain menyingkirkan hijab kemusyrikan adalah syarat mutlak terbukanya fitrah diri setiap insan. Kalau begitu, siapapun yang belum menemukan kodrat dirinya maka sebetulnya masih ada komponen kemusyrikan yang menyelinap di hatinya.

Oleh karena itu mari kita lihat apa definisi musyrik itu dalam Al Quran. Disebutkan orang musyrik ‘yaitu orang-orang yang memecah belah agama menjadi beberapa golongan. Dan tiap-tiap golongan merasa bangga dengannya” Lalu apa maksud memecah belah agama (ad diin) itu ? Mari kita ingat kembali definisi agama (ad diin) yang diajarkan oleh Jibril as kepada Rasulullah saw dan para sahabat. Singkatnya, agama itu dibangun atas tiga pilar yang tidak terpisahkan yaitu pilar Al Islam, pilar Al Iman dan pilar Al Ihsan. Ketiga pilar inilah yang tidak boleh dipecah-pecah.

Seseorang harus beragama secara utuh dengan menggabungkan ilmu tentang syariat, tauhid dan keihsanan. Dengan demikian, tidak cukup dikatakan menegakkan agama bila telah merasa shalat, puasa, zakat, naik haji, tapi masih melakukan korupsi, hatinya penuh dengan dengki, lisannya banyak menyakiti. Orang muslim yang benar tidak akan merasa bangga diri dan golongannya yang paling benar sementara yang lain salah.

Demikianlah kita bisa introspeksi mengenai keadaan jiwa kita masing-masing. Manakala kegelisahan, kecemasan, ketakutan akan hari esok, ketidakcocokan dalam pekerjaan dan segala hal yang tidak mengenakkan di hati masih bersemayam dalam diri kita, waspadailah bahwa kita mungkin memang masih belum berjalan dalam fitrah diri kita dikarenakan hijab-hijab kecil kemusyrikan yang menyelinap di dalam hati. Ini yang harus kita mintakan ampun dalam doa-doa khusyu kita kepada Allah Ta’ala. Kiranya Sang Maha Pengampun berkenan membersihkan hati kita dari benih-benih kemusyrikan. Aamiin.

(Referensi: Materi Serambi Suluk, 2008. Zamzam AJT)

Taubat Adalah Membangun Kecintaan Kepada Allah

Dalam dunia tasawuf kita kerap menemukan ekspresi orang-orang yang hatinya demikian mencintai Allah. Seorang Rumi yang mabuk kepayang tenggelam dalam ekstasi kecintaan kepada tuhan yang diekspresikan lewat tariannya yang kemudian dikenal dengan ‘the whirling dervish’. Seorang Rabiah Al Adawiya yang sempat mengungkapkan ekspresi ‘Tidak mengapa aku ditempatkan dalam neraka-Mu, asal Engaku mencintaiku…’. Dan banyak lagi manusia-manusia cahaya Tuhan yang sebagian besar namanya bahkan tidak dikenal orang banyak.

Walaupun demikian, pada kenyataannya lebih banyak manusia yang hatinya diisi dengan kecintaan yang luar biasa kepada selain Allah. Bukan berarti kita tidak boleh mencintai segala hal, tapi kecintaan itu tidak boleh melebihi cinta kepada Allah. Itulah salah satu ciri orang beriman yang digambarkan dalam Al Quran “Adapun orang-orang beriman maka sangat besar kecintaan mereka kepada Tuhannya”

Tentu hal yang alami bila kita mencintai pasangan kita, anak kita, orang tua, saudara, tanaman kita, bahkan tubuh kita. Bukankah itu semua titipan dari Allah yang harus dijaga dengan baik, tapi semua itu ada kadarnya. Dan manakala cinta kepada Tuhan disandingkan dengannya maka kepentingan Tuhan selaiknya yang didahulukan.

Kita bisa mengukur sejauh mana kecintaan kita kepada Allah Ta’ala. Bila hati kita lebih senang berada berjam-jam di depan tv daripada bermunajat atau dzikir kepada-Nya, bila kita lebih asyik berselancar di dunia maya untuk mencari hiburan dibandingkan dengan mempelajari ayat-ayat dan hikmah-Nya, itu artinya ikatan dan makna Allah untuk diri kita belum kuat adanya, Allah masih bersifat simbolik semata.

Pertaubatan adalah proses panjang untuk membangun kecintaan kepada Allah kembali. Kita pernah sedemikian dekat dengan-Nya. Maka kita kadang merasakan rindu yang membara di saat-saat tertentu, kekosongan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, dan hanya Dia yang bisa mengisinya. Membangun kecintaan itu juga tidak bisa dengan duduk berpangku tangan. Harus berupaya dan menggali ilmunya, sebagaimana ungkapan ‘tak kenal maka tak sayang’, maka semakin kita mengenal sifat-sifat-Nya, makin kita menghargai apapun yang Dia berikan ke dalam kehidupan kita dan makin kita rindu untuk sering berduaan dengan-Nya dalam dzikir kita di tengah kehidupan.

Mari kita renungkan ciri-ciri hamba yang bertaubat yang digambarkan oleh Nabi Isa as yang direkam dalam Injil Barnabas sbb, semoga kita menjadi hamba-Nya yang bertaubat dengan taubat nasuha. aamiin:

Fasal 101
1. Kemudian Isa berkata, “Bahwa taubat itu adalah lawan dari kehidupan yang jahat. Dari sebab itu tiap pancaindera harus mengerjakan sebalik yang dikerjakan di waktu berbuat dosa.
2. Maka harus meratap sebagai gantinya bersenang-senang.
3. Dan menangis sebagai gantinya tertawa
4. Dan berpuasa sebagai gantinya berlebih-lebihan
5. Dan berjaga (malam) sebagai gantinya tidur
6. Dan bekerja sebagai gantinya menganggur
7. Dan wara (berhati-hati) sebagai gantinya syahwat
8. Dan hendaknya kelebihan berbicara diubah menjadi sembahyang dan kelobaan itu diubah menjadi sedekah.
13. Jika demikian ketahuilah bahwa taubat itu harus dikerjakan lebih banyak dari segala sesuatu, hanya semata-mata karena cinta kepada Allah. Jika tidak maka ia akan menjadi sia-sia belaka.

(Referensi: Materi Serambi Suluk, 2008. Zamzam AJT; Injil Barnabas)

Wednesday, September 12, 2012

Mengenal Pohon Pribadi

Dalam diri setiap insan ada benih yang Allah tanam yang harus tumbuh. Benih itu ditanam di tanah raga dan bumi yang kondisinya tertentu supaya bisa tumbuh dengan optimal. Setiap benih menyimpan potensi menjadi sebuah pohon, potensi pohon ini yang disebut dengan fitrah pohon.

Sama halnya laki-laki dan perempuan. Laki-laki punya benih berupa sperma dan perempuan mengeluarkan sel telur (ovum). Sperma dalam bahasa Al Quran, yang matang dan ditanam disebut sebagai nutfah. Jadi istilah nutfah sama dengan benih pohon. Sedangkan ovum berfungsi sebagai lahan. Di dalam sperma ada potensi insan (fitrah). Maka dalam Al Quran ada kalimat “perempuan-perempuanmu adalah lahan bagimu”.

Sebagaimana benih yang tumbuh memerlukan perawatan supaya ia tumbuh dengan baik dijaga dari hal yang dapat menghalangi pertumbuhan atau racun yang dapat membunuh benih tersebut. Sama halnya ibu yang mengandung juga harus dijaga sedemikian rupa. Demikian juga pertumbuhan di tingkat jiwa juga sensitif, sehingga kita tidak bisa membuka fitrah diri seenaknya tanpa disiplin. Jiwa harus dihindarkan dari penyakit mengeluh, jangan merendahkan orang lain, bangga diri, prasangka buruk dsb, karena semua penyakit hati itu akan membuat benih mati.

Selain itu benih hanya bisa tumbuh baik dalam kondisi yang tepat, misal benih kurma yang biasa tumbuh di daerah gurun tidak akan bisa tumbuh baik di puncak gunung. Demikian pula dalam pernikahan, perlu kecocokan antara sperma dan sel telurnya. Dan yang lebih penting lagi adalah perlu kecocokan di tingkat jiwa pasangan itu, sehingga benih masing-masing pribadi dan keturunan yang dihasilkannya bisa tumbuh dengan baik.

Dalam Al Quran [30]: 30 Allah berbicara tentang fitrah yang harus ditemukan oleh setiap manusia: “ Hadapkanlah wajahmu dengan hanif (lurus) ke dalam ad diin (agama) Allah. Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah tsb, tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah. Itulah agama yang teguh (diinul qayyim). Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”

Fitrah Allah itu berkaitan dengan diin, agama dalam arti yang luas. Karena mengenal fitrah itu juga berarti mengenal potensi benih yang Allah tanamkan dalam tiap insan, maka persoalan mengenal diri adalah sesuatu yang penting supaya seseorang kokoh dalam beragama.

Namun dalam ayat tersebut diindikasikan bahwa kebanyakan manusia tidak mengetahui persoalan fitrah ini. Bahwa ada fitrah yang tidak akan berubah dalam diri setiap manusia, apabila dalam benih itu fitrahnya benih cemara ya tentu akan menjadi pohon cemara, tidak akan mungkin berubah menjadi pohon pisang.

Jika fitrah itu tumbuh dan dikenali, seorang mukmin itu akan mencapai tingkatan beragama yang teguh (diinul qayyiim). Itu yang disebut bahwa setiap orang punya misi hidup, sebuah tugas yang disimpan dalam fitrah, kita harus menemukan fitrah itu.

Menemukan fitrah diri bukan sesuatu yang dapat dikira-kira atau sesimpel dilakukan psikotest untuk mengetahuinya. Jalannya adalah dengan menempuh proses bersuluk. Karena suluk adalah suatu proses agar kita kembali ke fitrah diri itu. Dimana lahan diri kita dibajak lagi, awan waham, prasangka kita dihapus, supaya tumbuhlah benihnya. Jika ia tumbuh jadi pohon, orang itu akan mengenal tugas dirinya. Maka orang itu disebut orang yang “mengenal dirinya”. Mengenal jiwa artinya mengenal fitrahnya.

Sebagaimana cangkir dibuat untuk air bukan untuk jelaga, maka dibalik semua ciptaan ada fungsi yang terkait. Seseorang baru tahu fungsinya bila sang pohon dirinya telah tumbuh. Sebelum itu terjadi baru tebak-tebakan, dan belum mengenal dirinya. Status orang yang telah tumbuh pohon dirinya adalah yang baru mengenal Rabbnya, “man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu”

Semoga Allah memudahkan kita menemukan kembali fitrah diri. Aamiin.

(Referensi: Materi Serambi Suluk, 2008. Zamzam AJT)

Pertumbuhan Jiwa

Saat jiwa dimasukkan bersama ruh ke dalam raga manusia yang berusia 120 hari di dalam kandungan ibu, jiwa yang masuk adalah jiwa yang masih segar menyimpan ingatan tentang peristiwa persaksian di alam alastu dengan Tuhannya. Maka dikatakan dalam hadis Rasulullah saw bahwa setiap bayi yang lahir masih dalam keadaan fitrah, suci tidak terkotori waham dunia. Namun saat tumbuh dan berkembang seiring itu ada dosa yang mulai menutupi sang jiwa, sehingga lumpuh segala kemampuan jiwa, buta matanya, tuli telinganya, hingga tidak mampu menerima petunjuk Tuhan yang bertebaran dalam kehidupan.

Adalah tugas setiap insan untuk kembali membangunkan jiwanya masing-masing untuk mengenal kodrat diri. Oleh karena itu wajib setiap pribadi melakukan suluk, menempuh perjalanan kembali menuju kesejatian diri, menuju Sang Maha Pencipta.

Untuk membantu hamba-Nya menemukan fitrahnya kembali, Sang Khalik sering menurunkan perkara-perkara dalam kehidupan sang hamba untuk menghidupkan jiwanya. Kadang kala perkara yang diturunkan itu seringkali dirasakan pahit oleh raga, namun pada saat yang bersamaan ada yang tumbuh dalam jiwa. Bisa jadi seseorang diuji dengan kematian anak kesayangannya, atau sulit mencari penghidupan dalam dunia dan lain sebagainya.

Amanah yang diberikan oleh Allah kepada setiap manusia itu bagaikan benih yang ditanam ke dalam jiwa masing-masing hamba. Benih itu harus tumbuh menjadi sebuha pohon yang berbuah. Dalam ilmu botani, benih tidak bisa ditanam begitu saja akan tetapi harus dikeringkan supaya bisa tumbuh. Manusia pun sama, tidak bisa jiwanya ditumbuhkan dalam kondisi ‘basah’, dalam kondisi kehidupan yang serba nyaman, semua tercukupi dan tidak ada masalah, maka akan cenderung mengumbar hawa nafsu dan syahwat. Maka dalam Al Quran, Surat Yusuf diceritakan tentang tujuh sapi gemuk yang dimakan oleh tujuh sapi yang kurus. Ini adalah simbol bahwa setiap manusia yang berjalan kepada Tuhan niscaya akan dikuruskan oleh masalah dan ujian, tapi Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang tak ternilai.

Setelah benih dikeringkan, ada beberapa syarat lain agar benih bisa tumbuh dengan baik, yaitu harus ada sinar matahari, mineral, air, udara, tanah yang subur dll Apabila benih tumbuh dengan baik ia akan pecah dan menumbuhkan kecambah, akarnya menjalar di bumi hingga ia menjadi pohon besar. Kalau sudah jadi pohon, baru ketahuan buahnya. Oleh karena itu pohon diberi nama karena buahnya. Manusia pun punya nama dari Allah Ta’ala, hanya kalau benih yang dibawa manusia sudah ditanam, tumbuh dan berbuah baru namanya teridentifikasi. Seorang manusia yang telah ‘berbuah’, jiwanya tumbuh dan bertemu diri, akan banyak buah yang keluar berupa pengetahuan, kebijaksanaan, karomah dll. Dan perhatikan bahwa tidak ada satu pohon pun yang menyerap buahnya. Buah adalah untuk orang lain. Jadi agama Islam ini betul-betul untuk menjadi rahmat bagi orang lain, bukan memalak atau menzalimi orang lain. Semakin banyak diambil buahnya justru semakin tumbuh banyak.

Hanya kebanyakan manusia benihnya terhalang dari hujan dan matahari. Jadi walaupun ada matahari dan hujan yang turun dalam dirinya, tapi benih itu tidak tumbuh, perumpamaannya seperti benih yang tertutup kaleng. Maka seminimalnya Allah melubangi kaleng yang menutupi benih dengan paku, hingga masuklah cahaya dan hujan. Manusia sering membuat ‘kaleng’ dalam kehidupan, kebanyakan karena menuruti hawa nafsu, syahwat dan kurang baik dalam mengendalikan pikirannya. Makanya persoalan menumbuhkan jiwa betul-betul persoalan taubat, karena hanya Allah Ta’ala yang bisa mengambil kaleng, bukan semata terapi melalui psikolog. Karena taubat yang sempurna itu hanya diberikan bagi orang-orang yang mencari Allah. 

Seseorang akan mengenal dirinya jika jiwanya tumbuh, jika ada pertumbuhan dalam jiwa pasti akan terefleksikan ke luar dalam tataran jasadiyah. Ketika ia sudah mengenal dirinya, maka ia seakan menjadi seorang yang terlahir kembali. Seperti yang dikatakan oleh Nabi Isa as, “Setiap manusia harus lahir dua kali, pertama lahir secara jasadiyah oleh ibu kita, dan kemudian lahir jiwanya”

(Referensi: Materi Serambi Suluk, 2008. Zamzam AJT)

Monday, September 10, 2012

Fungsi Ruh

Apa perbedaan mendasar manusia dibanding makhluk Allah lainnya? Kalau jawabannya akal pikiran, maka akal pikiran mana yang dimaksud? Kalau sekedar akal yang biasa diukur dengan indeks IQ, sepertinya seekor chimpanse atau lumba-lumba juga memiliki IQ yang tidak kalah dengan manusia. Kalau begitu apa komponen yang hanya dimiliki oleh manusia dan tidak dimiliki oleh hewan dan tumbuhan?

Seekor merpati misalnya punya raga, dan dia hidup karena ada ruh (disebut ruh hewani). Tapi seekor burung tidak punya jiwa, maka seekor burung tidak akan diminta pertanggungjawabannya di hari akhirat. Sama halnya dengan seekor macan tidak akan dihisab walau menerkam kambing atau merebut betinanya, karena itu natural saja, tidak punya jiwa yang akan diminta pertanggungjawabannya.

Demikian pula tumbuhan mempunyai ‘raga’ tumbuhan dan bisa tumbuh atau hidup dengan ruh (disebut ruh nabatiyah). Perhatikan apabila setangkai bunga mawar dipotong dari pohonnya, maka dalam hitungan beberapa jam sang bunga akan layu dan kemudian mati, karena saat dipotong dari pohon itulah ruhnya tercerabut.

Raga manusia juga hidup dengan ruh disebut dengan ruh insaniyah. Hanya manusia memiliki sesuatu yang spesial karena manusia mempunyai jiwa.

Benda-benda material dalam tingkat partikel adalah hidup. Adanya pergerakan proton, elektron dan partikel-partikel lain membuktikan bahwa benda yang terlihat ‘mati’ pun adalah hidup. Dalam fisika, benda baru akan diam dalam suhu 0 derajat Kelvin.

Adapun ruh al quds, atau sering disebut sebagai ‘holy spirit’ atau ruh kudus; adalah ruh dari tingkatan yang tertinggi di alam ruh. Semua manusia mempunyai ruh yang dengannya ia hidup, tapi tidak semua manusia diberikan anugerah ruh al quds. Dalam hadis Rasulullah juga disebut beberapa kali tentang ruh al qudus, ada seorang penyair yang indah zaman Rasulullah, lalu Rasul berdoa untuknya “Semoga Allah menguatkan engkau dengan ruhul qudus” artinya ia bisa bersyair dengan syair-syair Tuhan. Di saat lain Rasulullah saw bersabda, “Ruhul qudus mudah ke dalam hatiku.”

Dengan demikian, ada lima tingkatan alam ruh :
1. Ruh al quds
2. Ruh insaniyah
3. Ruh hewaniyah
4. Ruh nabatiyah
5. Ruh material

Masing-masing tingkatan mempunyai tingkatan, makin ke atas, tingkat pengetahuannya makin tinggi. Ruh manusia pun tidak sama tingkatannya, ruh seorang nabi misalnya tidak sama dengan ruh manusia biasa.

Adapun fungsi ruh berbeda bagi jasad dan jiwa. Ruh bagi jasad berfungsi untuk menghidupkan, maka apabila ruh dicabut dari raga manusia, tibalah ajalnya. Pada saat ruh dicabut dari jasad, maka jiwa pun mengikuti keluar dari jasad sebagaimana pada saat pertama kali jiwa dan ruh dimasukkan ke dalam jasad manusia yang berbentuk janin di usia 120 hari dalam kandungan ibu.

Fungsi ruh bagi jiwa bukan untuk menghidupkan, karena jiwa sudah hidup – material jiwa adalah cahaya Allah yang maha hidup, maka ruh bagi jiwa berfungsi untuk menumbuhkan. Hakikat jiwa adalah cahaya Allah. Jiwa itu dicipta dari cahaya Allah. Sebagaimana malaikat. Jin dari api yang diwujudkan. Cahaya Allah tentu sesuatu yang dekat dengan Allah Taala, maka sudah mengenal Allah. Segala hal yang dekat dengan Allah semakin mewarisi sifat-sifat Allah. Jiwa akan tumbuh dengan memakan cahaya ruh (amr Allah), sabda-sabda Allah, perintah-perintah Allah. Wallahua’lam

(Referensi : Materi Serambi Suluk. Zamzam AJT, 2008)

Tentang Ruh, Jiwa dan Raga

Inti suluk adalah mengenal kembali jiwa, karena komponen dari manusia yang pernah bersaksi di hadapan Allah adalah jiwanya, dengan mengenal kembali jiwa kita masing-masing maka semua mandat yang Allah berikan kepada kita di alam persaksian akan kembali teridentifikasi. Maka Rasulullah bersabda man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu. Barangsiapa mengenal jiwanya maka akan mengenal Rabb-nya.

Proses mengenal jiwa betul-betul proses musyahadah atau persaksian, suatu peristiwa nyata yang bukan merupakan imaginasi atau sangkaan semata. Untuk mengenal jiwa ini mau tidak mau harus melalui proses tazkiyatun nafs atau pensucian jiwa, dengan sabar, tidak boleh bangga diri, tekun beribadah, giat bekerja, harus bersih hati. Lama kelamaan hijab hati yang terdapat dalam jiwa dapat terangkat dan terbuka. Dan setiap kita akan bisa bicara dengan jiwanya masing-masing. Ini memang suatu proses yang orang katakan mistik.

Gambaran saat seseorang mengenal jiwanya atau bermusyahadah diceritakan oleh seorang ulama di Bandung, almarhum adalah seorang sufi yang sangat sederhana, saat dia bertemu dirinya, suatu malam beliau wudhu hendak shalat malam, di rumah hanya ada beliau istri dan anaknya. Saat masuk ke mushala, di sejadahnya ada orang yang duduk menghadap kiblat, berjubah dan bersorban, beliau langsung bertanya, “kamu siapa?” Ketika orang itu berbalik ternyata wujudnya adalah dirinya sendiri, dia berkata “Aku adalah engkau, engkau adalah aku.”

Raga kita hanya kendaraan saja. Sebagaimana raga punya mata telinga, perasaan dll semua itu juga dimilki oleh jiwa. Mata jiwa (mata hati) disebut bashirah. Akal jiwa disebut lubb, fuad dsb (ada 7 tingkatan akal dalam), rasa jiwa disebut qalb. Apabila jiwa terhijab - tertutup oleh dosa maka qalb, lubb, fuad dsb tidak berfungsi. Adapun kalau kita merasakan sedih, gelisah, kecewa itu bukan qalb. Tapi di perasaan yang tersambung dengan pikiran jasadiyah kita.

Bentuk raga memang dicipta berdasarkan bentuk jiwa. Raga hanya bayangan dari jiwa. Raga bagaikan kuda saja. Kalau kuda tidak mengenal penunggangnya dia tidak akan tahu fungsinya. Akhirnya manusia akan bekerja dan beramal sembarangan, apa yang ada kerjakan, apa yang dia inginkan kerjakan, apa yang menjadi ‘trend’ di kerjakan. Raga dan jiwa sangat beda kualitasnya, sejauh beda bayangan dan benda aslinya. Jadi secanggih-canggihnya raga kita tidak ada apa-apanya dibanding jiwanya, termasuk ma’rifatnya, ilmunya dll, hanya hal ini jarang dikenali padahal ilmu ini bukan hal baru sama sekali. Semua para sufi menerangkan tentang ini semua.

Matahari adalah simbol ruh, sinarnya menerpa nafs, lalu bayangan sang nafs dihidupkan menjadi raga. Komponen raga terdiri dari: air, udara, api dan tanah (Plato) Jika kita membuat sebuah boneka dari tanah liat, kan tidak hidup, sebagaimana penciptaan Adam dulu. Sebagaimana Nabi Isa membentuk bentuk burung dari tanah liat (tercantum dalam Al Quran) dia mati, hingga ditiupkan ruh. Karena Nabi Isa memiliki ruhul qudus dalam dirinya, saat dikeluarkan ruh itu dari mulutnya yang suci, burung itu menjadi hidup dan terbang.

Kita yang jasadiyah dan kuda tidak beda, terdiri dari komponen daging dan ruh. Pada saatnya ruh akan keluar dan kita pun mati. Tumbuhan pun apabila diambil ruhnya akan mati. Setiap hal di dunia ini ada ruhnya. Bahkan batu yang tampaknya diam tak bergerak pun ada ruhnya, ilmu fisika modern bisa meneropong pergerakan atom dan sub atom yang bergerak dinamis dalam partikel pembentuk batu yang seandainya partikel itu berhenti bergerak maka batu pun hancur. Jadi fungsi ruh adalah menghidupkan sesuatu yang mati.

Jasad untuk hidup perlu ruh dan untuk beraktivitas perlu energi yang diperoleh dari makanan, karena dia berasal dari bumi maka sumber makanan pun berasal dari sari bumi, agar dia bergerak/berenergi. Karena raga berasal dari bumi, maka kecenderungan raga adalah kepada bumi. Ia akan mencintai hal-hal yang dari ibu pertiwinya. Semua hal yang bersifat material akan dicintai oleh raga seperti rumah mewah, mobil bagus, gadget canggih, lahan luas, nafsu seksual dll, ini disebut sebagai syahwat.

Dikatakan ajal itu apabila ruhnya diambil, tapi selain ruh ada sesuatu di dalam raga kita, yaitu nafs, jiwa kita. Jiwa dikirimkan ke alam dunia, dari alam malakut, diberi kendaraan yaitu jasad. Jadi kalau jiwa, asalnya sesuatu hidup, sedangkan jasad asalnya sesuatu mati.

Karena jiwa adalah entitas yang sudah hidup, jadi tidak perlu faktor penghidup. Namun untuk bergerak atau beraktifitas perlu makanan juga. Yang menjadi makanannya bukan yang berasal dari unsur bumi, karena jiwa bukan berasal dari alam mulk. Makanannya adalah “perintah Allah” atau amr-amr Allah. Aktifitas jiwa kita bergantung kepada cahaya amr, atau kehendak/perintah Allah. Semua hal yang dari Allah Ta’ala, seperti hikmah, taufiq, hidayah dll merupakan sumber energi bagi jiwa. Semua tendensi jiwa untuk kembali ke ‘atas’ disebut himmah. Maka dalam diri kita akan konflik antara himmah dan syahwat.

Adapun ruh sebagaimana api dan cahayanya. Tidak sama api dan cahayanya. Api adalah ruh, adapun cahaya ruh adalah sesuatu yang keluar dari api. Yang membuat raga hidup bukan apinya tapi cahaya api. Maka disebut “Kami hembuskan ruh Kami” Nabi Isa membuat burung dan meniupkan ruhnya, yang ditiupkan adalah cahayanya, api ruhnya ada di dalam dadanya. Manusia secara potensial mampu bukan hanya menerima cahayanya tapi apinya, jika bertemu diri suatu ketika.

Ruh setiap orang tidak sama, namun saling mengenal, karena dari alam jabarut. Ruh kita saling mengenal satu sama lain, karena ada di alam yang sangat muuwahid dengan Allah ta’ala, jadi saling mengenal satu sama lain.

Allah punya tiga alam :
1. Alam jabarrut
2. Alam malakut
3. Alam mulk

Alam Mulk, adalah alam jasad dsb. Raga manusia, hewan, jin, tata surya, galaksi, semuanya adalah di satu alam. Jadi raga kita anggota dari alam mulk. Sebagaimana jin, karena dicipta dari api (salah satu komponen manusia). Jiwa adalah anggota alam malakut, jadi jiwa mengenal para malaikat, karena satu alam. Ia mengenal yang kiri kanan depan belakang. Raga memang susah mengenal malaikat, karena beda alam. Nanti di alam kubur kita bertemu malaikat, karena raga sudah tidak ada, maka jiwanya yang bertemu dengan malaikat. Jadi tidak aneh apabila ada orang yang ketemu dan berbincang dengan malaikat, asal jiwanya bangun.

Ada hal yang harus ditemukan oleh jiwa di bumi ini, yang itu dengan bantuan kendaraannya, yaitu jasad dan segala yang terkait dengannya. Pada saat kiamat, semua jiwa mati. Maka dalam Al Quran disebutkan ada dua ajal. Yang pertama ajal atau kematian raga dan yang kedua adalah kematian jiwa. Semua yang berjiwa, manusia, jin, malaikat akan mati.

Di alam mahsyar semua dihidupkan lagi, jasad, jiwanya. Jadi manusia akan diberi raga baru. Jadi yang ke surga pun jiwa dan raganya. Jadi kalau ada buah-buahan di surga, itu surganya raga. Kata Ibn Arabi, bentuk raga saat dibangkitkan akan sesuai dengan kondisi batin saat dia meninggal. Kalau sekarang kita mempunyai raga yang mirip jiwa, karena dibentuk dari kondisi batin di alam syahadah. Nanti raga disana betul-betul berdasarkan warna batin saat meninggal, kalau batin kita buruk penuh dengki, iri, amarah dll maka raganya jadi buruk.

Alam jabarut adalah alam ruh-ruh. Segala hal yang dinamai ruh, nisbatnya ke Allah Ta’ala. Kadang-kadang masyarakat tidak paham bahwa arwah jamak dari ruh, seringkali disalah tafsirkan dengan jiwa manusia. Padahal yang melanjutkan perjalanan di alam barzakh itu bukan ruh tapi jiwanya.

Demikian, dengan memahami istilah-istilah yang ketat ini, maka kita bisa lebih melihat kesinambungan satu ayat dan yang lainnya dalam Al Quran, yang semoga kehidupan kita dicahayai olehnya.

(Referensi : Materi Serambi Suluk. Zamzam AJT, 2008)

Saturday, September 8, 2012

Tentang Alam Rahim

Semua jiwa-jiwa sebelum dikirimkan ke rahim ibu dipanggil menghadap Allah dan diambil kesaksian dari jiwa mereka, perhatikan di sini yang bersaksi bukan ruh, jasad atau pun akal pikiran. Peristiwa ini berlangsung di alam persaksian.

Allah Ta’ala berkata: Alastu bi Rabbikum? Bukankah aku Rabbmu Semua jiwa mengatakan “betul, kami bersaksi” Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat nanti tidak mengatakan sesungguhnya kami Bani Adam adalah orang2 yang lalai. Berkata “Kami tidak pernah tahu ttg persaksian ini” (Al Quran [7]: 172)

Saat jiwa bersaksi, jiwa kita dalam kondisi mengenal Rabbnya. Begitu dimasukkan ke rahim ibu, dan lahir, kemudian menjadi tidak mengenal Allah. Yang tidak paham adalah akal raganya, tapi jiwa yang di dalam mengenal. Tapi, semakin seseorang bertambah usia, sang jiwa menjadi semakin terpuruk di dalam raga. Menjadi lemah oleh pengaruh buruk lingkungannya.Si jiwa menjadi tidak hidup dan sang entitas yang sempat mengenal Allah tadi menjadi tenggelam dalam dunia raga kita termasuk di dalamnya ada ego, hawa nafsu dan syahwat.

Salah satu tanda kita tidak lagi mengenal Allah yakni tidak yakin Allah akan menolong, ragu bahwa Allah yang akan memberi rezeki. Padahal ketika dalam kandungan kita diberi makan lewat plasenta, setiap bayi ada kantung kuningnya, itu adalah makanannya. Bayangkan sejak dalam kandungan bayi itu sudah ada makanannya. Saat dilahirkan ada air susu ibu, semua itu ada rezekinya. Jadi manusia ada rezekinya yang mendampingi sebagai bekal hingga ia meninggal pada saatnya. Begitu besar juga sebenarnya masih ada kantung rezekinya cuma tidak kelihatan, tidak sekonkret plasenta seperti waktu bayi namun harus diupayakan. Tapi semua Allah jamin, karena dunia ini diciptakan bukan untuk mencari makan, tapi utk mengenal Allah, mengabdi pada Allah Ta’ala. Artinya apa? Urusan rezeki kita itu Allah yang jamin! Tidak Kuciptakan jin dan manusia kecuali utk mengabdi kepada-Ku. Sehingga kalau di dunia kita hanya sibuk cari ‘makan’ sampai mati dan lupa pada tugas untuk menemukan jalan keutamaan, maka rugi sekali.

Kenapa jiwa dilahirkan di alam bumi? Tentu ada yang dicari di alam dunia. Oleh karena itu harus berpengetahuan, harus belajar. Seperti halnya kita punya anak, kalau ia lahir lalu dibiarkan tidak sekolah, maka tidak akan pandai. Jiwa pun sama harus mengenal semua alam yang Dia buat. Memang jiwa awalnya mengenal Allah, dibekali dahulu tauhidnya, lalu disuruh dicari pengejawantahannya di seluruh alam-alam yang akan dilaluinya.

Perjalanan setelah dari alam persaksian adalah di alam rahim. DI situ jiwa mulai dimasukkan ke dalam raga, dibekali dengan empat hal yang menjadi skenario dasar yang harus dia lakoni di alam berikutnya, yaitu alam dunia. Berbekal dengan semua itu, seyogyanya manusia mencari kesejatian dirinya, menemukan sebanyak mungkin al haq, mengenali kebenaran dalam kurun waktu yang singkat ini.

”Sesungguhnya setiap orang di antara kalian, penciptaannya dikumpulkan dalam rahim ibunya, selama 40 hari berupa sperma (nuthfah), kemudian menjadi segumpal darah (’alaqah) selama 40 hari juga, kemudian menjadi segumpal daging (mudhghah) selama 40 hari juga. Lalu diutuslah malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya. Dia diperintahkan menuliskan empat kata: Rezekinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya.
Demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, salah seorang di antara kalian mengerjakan amalan ahli surga, sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. Ternyata ia didahului oleh ketetapan Allah untuk tidak masuk surga. Kemudian dia melakukan perbuatan ahli neraka, sehingga ia pun masuk neraka.
Ada pula salah seorang di antara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka, sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. Ternyata dia didahului oleh ketetapan Allah untuk tidak masuk neraka. Kemudian dia melakukan perbuatan ahli surga sehingga dia pun masuk surga.” (HR Bukhari dan Muslim)

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)

Tentang Shiraathal Mustaqiim

Setiap hari setidaknya 17 kali sehari kita diajarkan untuk memohon ditunjukkan kepada shiraathal mustaqiim dalam setiap rakaat shalat kita. Satu-satunya doa yang terdapat dalam surat Al Fatihah yang tanpa membacanya shalat kita menjadi tidak sah, sebenarnya doa itu betul-betul mengingatkan kita untuk senantiasa fokus dalam hidup untuk mencari jalan khusus kita menuju Allah.

Berdoa memohon shiraathal mustaqiim sebetulnya sama dengan meminta agar Allah Ta’ala menunjukkan agar kita masing-masing ditunjuk pada misi hidupnya. Setiap orang punya misi hidup yang tidak sama. Benda-benda di sekeliling kita pun punya fungsi spesifiknya masing-masing, asbak fungsinya ya untuk abu rokok, cangkir adalah untuk air minum, sendok untuk menyuap makanan dsb. Apa yang dibuat oleh manusia saja ada fungsinya, apalagi manusia, makhluk termulia di alam semesta, tidak mungkin diciptakan hanya sekolah, menikah, punya anak, kerja, pensiun dan mati. Semua seolah sama dan tidak mengenal fungsinya.

Kita harus mengenal apa fungsi diri masing-masing, itu adalah thariq dan shiraathal mustaqqim kita. Jadi bukan sekedar tarekat. Tarekat hanya salah satu cara utk menemukannya. Mau tarekat besar, kecil, ataupun tidak bertarekat, yang penting menemukan shiraathal mustaqiim-nya.

Jadi istilah shiraathal mustaqiim itu bukan semata-mata suatu jembatan di akhirat nanti, yang katanya seperti titian serambut dibelah tujuh yang tajam seperti pisau, yang menggambarkan betapa sulitnya menempuh jalan itu. Shiraathal mustaqiim itu kita minta hari ini setiap hari karena ia adalah sebuah jalan yang membentang sejak hari ini hingga ke hari akhir nanti, ke sebuah zaman yang sangat jauh. Artinya kita harus bisa menemukan dalam kehidupan yang samar ini sebuah jalan yang lurus. Itulah kenapa dalam konteks suluk harus dibuka mata hati, agar kita bisa melihat jalan yang satu itu di antara berbagai jalan semu yang ada. Yang dibuka adalah mata dalam untuk melihat apakah benar langkahku adalah dalam kodrat Allah?

Caranya bagaimana? Semua peta dan kunci untuk membukan jalan diri masing-masing ada dalam Al Quran, maka wajib untuk mempelajari dan mengamalkannya. Tentu saja mempelajari Al Quran sendiri bukan perkara mudah, maka kita butuh mencari referensi ke hadits Rasulullah, keterangan para sahabat dan waliyullah mengenai tafsir Al Quran. Seorang sufi berkata, ‘mustahil seseorang ingin menemukan kodrat diri tanpa shalat dan tanpa membaca Al Quran.’

Ibaratnya kita hendak melintasi padang pasir atau mendaki gunung yang besar, tentu kita membutuhkan peta. Peta itu memuat keterangan tentang jalanan yang ada, tanjakan, turunan dan semuanya tercantum di dalamnya. Al Quran adalah peta seseorang menempuh perjalanan menuju kesejatian diri. Tidak hanya itu Al Quran adalah transformator jiwa kita, hingga mata hati terbuka, jiwa bercahaya, hingga jalan itu makin jelas.

Semoga Allah Ta’ala menuntun kita kepada shiraathal mustaqiim. Aamiin

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)

Tuesday, September 4, 2012

Makna Thariqah

Rasulullah saw bersabda, Barangsiapa yang menempuh (salaka) suatu thariqan (jalan) untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan jalan ke surga.

Istilah thariqah ini juga berasal dari kata kerja tharaqa, artinya memukul sesuatu dengan palu atau menempa sesuatu menjadi tipis. Karena itu dalam sebuah thariqah, isinya penempaan. Dari besi yang tidak berbentuk, dibakar dan ditempa jadi pedang tipis yang tajam. Atau arti lainnya, mengetuk pintu. Sesuatu yang terus menerus dan ada tujuannya.

Siapapun yang menempa dirinya dengan tuntunan Allah Ta’ala, maka dirinya sedang menempuh thariqah, maka jangan mempersempit kata thariqah ini dengan tarekat. Thariqah adalah istilah dalam agama yaitu jalan yang sangat bersifat individu yang masing-masing kita wajib mencarinya mulai dari alam dunia ini. Siapapun yang berjuang melaksanakan aspek syariat dengan baik lalu masuk ke tahapan thariqah maka cirinya ada produk-produk pertaubatan yang terpantul pada dirinya, terlepas dari orang itu tergabung dalam suatu jamaah tarekat atau tidak. Istilah thariqah tidak secara khusus mengatakan Tarekat Naqshabandi, Maulawiyah , Kadisiyyah dsb itu hanya bentuknya saja. Ada yang berjalan sendirian, ada yang tersistem, kita tidak pernah tahu.

Rasulullah saw berkata, “Sesungguhnya syariatku datang dengan membawa 360 thariqatan, barangsiapa menempuh salah satunya niscaya akan sampai

Istilah thariq juga terdapat di Al Quran [46]: 30 Hai kaumku, sesungguhnya aku telah mendengar sebuah kitab yang telah diturunkan setelah Musa, yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Kitab Al quran itu memberi petunjuk kepada Al Haqq dan thariqi mustaqiim.

Dari ayat di atas Allah memberi tuntunan kepada kita bahwa kunci untuk membuka jalan (thariq) masing-masing menuju Al Haqq adalah dengan mempelajari Al Quran sehingga kita mendapatkan petunjuk darinya. Al haqq itu sifatnya kebenaran yang umum, yang semua harus mengenalnya. Tapi thariq itu spesifik per individu. Ini terkait orbit diri dan misi suci masing-masing dari Allah.

Di ayat ini juga Allah menggunakan nama lain di depan mustaqiim dengan istilah ‘thariqimustaqiim’ . Kalau kita berdoa dalam shalat memohon ‘ihdina shiraathal mustaqiim’ maka ini identik dengan ‘thariqi mustaqiim’

Setiap hari kita berdoa dalam shalat ‘ihdina shiraathalmustaqiim.’ meminta jalan yang teguh. Setidaknya lima waktu dalam sehari. Dimana inti Al Fatihah adalah pada doa itu. Sebagai muslim kita harus mengerti apa yang kita minta, jangan meminta pada Allah sesuatu yang kita tidak pahami, sehingga pada saat Allah mengabulkan atau tidak mengabulkan, kita tidak tahu . Padahal dalam Al Quran dikatakan, ‘Janganlah engkau meminta kepadaKu sesuatu yang engkau tidak pahami.’ 

Maka harus kiranya masing-masing kita membaca dan mengkaji Al Quran, apa yang Allah katakan tentang shiraathal mustaqiim. Sehingga kita tidak berdoa atau shalat dengan lalai.

Semoga Allah Ta’ala membimbing kita kepada shiraathal mustaqiim. Aamiin.

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)

Beda Antara Jiwa dan Ruh

Seringkali kita mendengar perkataan ‘semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan’ atau istilah ‘arwah gentayangan’ atau ‘perjalanan spiritual’, semuanya bicara tentang ruh, arwah adalah istilah jamak untuk ruh. Di sisi lain saat kita bernyanyi lagu Indonesia Raya, kita kumandangkan..’..bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia Raya’ atau kita juga menyebut orang yang bermasalah mentalnya sebagai ‘mempunyai gangguan jiwa’. Nah, sebenarnya apa bedanya jiwa dan ruh? Sesungguhnya pengetahuan antara perbedaan kedua istilah ini sangat penting dalam memetakan struktur diri kita sendiri.

Ruh itu bungkusnya jiwa, sedangkan jiwa bungkusnya raga. Jadi di dalam raga kita yang kita llihat sehari-hari ini terdapat jiwa dan ruh, dua entitas yang berbeda. Sebelum jiwa bersama-sama ruh ditiupkan ke dalam raga manusia dipanggil dulu ke hadapan Allah Ta’ala di suatu saat yang peristiwa itu terekam dalam Al Quran Surat Al A’raaf [7] ayat 172. Dikatakan sbb:
Allah mengambil kesaksian atas anfus (jiwa-jiwa) mereka,
Perhatikan di sini dikatakan yang diambil kesaksian adalah jiwa-jiwa bukan ruh. Dengan demikian entitas utama manusia adalah jiwanya. Adapun ruh berfungsi untuk menghidupkan jiwa dan raga. Sedangkan raga adalah kendaraan jiwa selama berada di alam dunia dan alam mulkiyah. Jadi jiwa kita yang berjalan sejak di alam alastu (alam persaksian), alam rahim, alam dunia, di alam barzakh dan seterusnya Jiwa kita dan seluruh manusia dipanggil ke hadapan Allah ta’ala. Allah bertanya, Bukankah Aku Rabbmu ? Dan kita pun dulu menjawab Iya, dan kami bersaksi (balaa syahidna) Dialog ini menunjukkan bahwa kita sudah mengenal Tuhan disana.

Maka saat jiwa terdalam kita dan ruh ditiupkan ke dalam raga yang berusia 120 hari kandungan, sang jiwa sudah mengenal Allah. Akan tetapi seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan raga, pengaruh dari orang tua dan lingkungan menyelimuti jiwa dan meninggalkan sayyiah-sayyiah. Oleh karena itu kita sekarang menjadi ragu-ragu pada Allah Ta’ala, siapa Allah, siapa kita? Apa tugas kita? Oleh karena itu Plato, seorang filsuf Rabbani dari Yunani mengeluarkan konsep pendidikan yang berdasarkan ‘Recollection’, artinya setiap manusia dididik sesuai dengan ‘bakat langit’nya masing-masing yang perlahan-lahan akan dikenali recollection dalam perkembangannya.

Jiwa yang telah berpengetahuan awal tentang Tuhannya itu ketika dimasukkan ke dalam raga yang berupa janin tentu terjadi ‘gap’, karena akal raga sang janinn belum berkembang, sehingga belum siap menerima pengetahuan yang jiwa miliki. Jadi pengetahuan itu terkunci dalam jiwa yang ada di raga masing-masing manusia. Akan tetapi saat raga makin tumbuh, si anak mulai masuk taman kanak-kanak, sekolah dasar dan seterusnya, jiwa makin tercekik di dalam oleh pengaruh-pengaruh buruk yang diterima oleh sekitarnya. Sehingga pengetahuan itu terkubur di dalam diri.

Jikalau Allah tidak memberikan taufik dan hidayah kepada seseorang, maka pengetahuan tentang jati diri yang dia terima di alam alastu itu tidak akan pernah terbongkar hingga ia meninggal dunia dan berpindah ke alam barzakh. Kadangkala jalannya melalui ujian hidup berupa hilangnya orang yang disayangi, kehilangan pekerjaan, berbagai hal yang membuat guncang kehidupannya dan menjadikan orang tersebut mulai berpikir dalam tentan kehidupan dan mencari kesejatian hidup. Saat itulah jiwanya mulai mendapat energi kembali, seiring dengan ilmu yang dia cari dan pensucian jiwa maka perlahan-lahan pengetahuan purba ini kembali terbongkar, our own personal legend.

Rasulullah saw bersabda ‘man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu’ Siapa yang mengenal nafs (jiwa) nya maka akan mengenal Tuhannya. Perhatikan bahwa sang jiwa di sini yang menjadi titik fokus bukan ‘man arafa ruuhu’.

Suatu ketika raga kita akan meninggal dunia, dia akan hancur. Lalu komponen apa dari manusia yang melanjutkan perjalanan di alam barzakh? Sedangkan raga manusia sudah hilang tak bersisa. Jiwa kita yang sejak awal, dari alam alastu melakukan perjalanan hingga ke alam akhirat dan seterusnya. Di alam barzakh, jiwa akan berinteraksi dengan malaikat, ada malaikat Munkar dan Nakir yang datang dan mengajukan pertanyaan (lihat artikel Hadis Tentang Kejadian Di Alam Kubur). Kenapa jiwa bisa berinteraksi dengan para malaikat sedangkan kita selama di dunia jarang sekali bisa berinteraksi dengan mereka? Karena jiwa dan malaikat sama-sama komponen dari alam malakut.

Demikianlah pembahasan singkat tentang perbedaan antara jiwa dan ruh. Pembahasan lebih lanjut mengenai unsur-unsur pembentuk manusia dibahas dalam tulisan yang berjudul Struktur Insan.

Semoga Allah Ta’ala menuntun kita kepada kesejatian kita yang hakiki. Aamiin.

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)

Kenali Misi Hidupmu

Thariqah adalah utk membangun bahtera di alam dunia agar tidak tenggelam didalamnya. Kita seyogyanya bekerja dan berkarya di bumi ini tapi jangan sampai tenggelam di dalamnya. Bukan kemudian meninggalkan dunia. Adapun tujuan sejati thariqah adalah untuk mengenal diri kita.

Setiap manusia mempunyai misinya masing-masing. Namun untuk mengetahui apa misi hidupnya maka hijab hati harus terbuka, sehingga musyahadah (mempersaksikan), yaitu musyahadah siapa diri kita sebenarnya. Jadi target sebuah thariqoh adalah mengenal misi kita apa. Bukan dengan cara psikotes, tes bakat dsb, itu hanya menyentuh permukaannya saja. Akan tetapi kita harus betul-betul menyentuh esensi yang terdalam dari diri kita.

Jalaluddin Rumi membuat perumpamaan begini, ada seorang raja menyuruh menterinya ke sebuah negeri, kata sang raja “pergi ke suatu negeri dan bangunlah jembatan di sana”. Si menteri kemudian pergi ke negeri itu dan menemukan banyak persoalan di sana, ia mengerjakan banyak hal, bikin gedung, rumah, jalan dsb. Dan kembalilah si menteri menghadap raja dan mengaku sudah mengerjakan banyak hal. Kata sang raja, “Bagaimana dengan jembatan itu?” dan sang menteri pun lupa mengerjakannya.

Seperti itulah, manusia banyak yang mengerjakan banyak hal di bumi ini, tanpa mengerti apa sebenarnya tugas spesifik yang diamanahkan kepada kita. Kita sudah sekian tahun hidup, tapi belum mengenal apa yang ada di dalam kita. Sesungguhnya tugas spesifik itulah yang harus kita kerjakan, karena kita akan kembali pada Allah Ta’ala dan diminta tanggung jawab.

Jadi siapapun yang bertarekat harus menemukan kodratnya, ruhul qudusnya, karena itu adalah amal sholeh tertinggi manusia (sacred mission on earth). Misi itu tidak akan pernah tahu kalau tidak mengenal jiwa yang paling dalam, yang bertemu Allah Ta’ala di mauthin syahadah QS [7]: 172.

Semoga Allah Ta’ala memudahkan jalan kita mengetahui kesejatian diri. Aamiin.

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)

Monday, September 3, 2012

Perjalanan Manusia Melintasi Alam-Alam

Ketahuilah bahwa setiap manusia telah dan akan melewati sekian banyak tempat menetap, alam atau negeri sepanjang perjalanan hidupnya. Pengetahuan mengenai hal ini penting agar kita tahu skema besar perjalanan hidup, dan tidak tertumpu hanya di kehidupan dunia saat ini saja.

 Keterangan ini diambil dari Kitab Risalah al Anwar (Risalah Cahaya-Cahaya) karangan Ibnu Arabi. Beliau menceritakan tentang 7 alam (mauthin) yang akan ditempuh oleh manusia:
1. Mauthin syahadah
2. Mauthin rahim
3. Mauthin dunia
4. Mauthin barzakh
5. Mauthin mahsyar 
6. Mauthin akhirat 
7. Mauthin al-katsiib (bukit pasir)

 Mauthin syahadah atau alam persaksian telah kita lalui, di sana seluruh jiwa dikumpulkan dan bersaksi di hadapan Allah yang terekam dalam Al Quran, 
 Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap anfus (jiwa-jiwa) mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhan-mu?”. Mereka menjawab, “Betul, (engkau) Tuhan kami, kami bersaksi” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.” (QS Al A’raaf [7]: 172)

Dari alam syahadah, sang jiwa di turunkan pada waktu dan tempat yang telah Allah tentukan ke alam dunia melalui rahim sang ibu. Kemudian tinggallah sang jiwa menyatu dengan raganya di dalam rahim selama kurang lebih 9 bulan lamanya. 

Sekarang kita berada di alam dunia dan sungguh kita hanya tinggal di sini sebentar saja dibandingkan dengan lama kita tinggal di alam-alam berikutnya. Para nabi dan leluhur kita yang telah wafat sudah berpindah alam ke alam barzakh, mereka masih hidup di sana selama ribuan tahun bahkan lebih. Dan semua mukmin yang hidup di alam barzakh bukan tidur, mereka shalat di sana, belajar, berkomunikasi dan berma’rifah. Namun ada juga yang mengalami pembersihan di alam barzakh atau sering disebut alam kubur.

Sungguh hidup di dunia ini sangat sebentar, mereka yang telah melaluinya bersaksi demikian dan terekam dalam Al Quran, Allah bertanya, “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?” Mereka menjawab, “Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada (malaikat) yang menghitung.” Allah berfirman, “Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui.” (QS Al Mu’minuun [23]:112-114) 

Akan tetapi, walaupun singkat kehidupan kita di alam selanjutnya sangat ditentukan di sini. Maka negeri dunia disebut negeri bekal. Inilah saatnya kita bekerja keras mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya untuk melanjutkan perjalanan ke alam-alam selanjutnya. 

Kesadaran tentang skema perjalanan alam-alam ini dan betapa singkatnya sebenarnya kehidupan kita di dunia seyogyanya menjadikan kita tidak dibuat pusing oleh takdir yang Allah desain untuk kita di alam ini. Karena sesulit-sulit hidup kita di sini, secape apapun sungguh tidak ada apa-apanya dibandingkan kesulitan di alam sana. Demikian juga kenikmatan tertinggi di alam dunia sekalipun tidak akan bisa menandingi kenikmatan yang akan diraup di alam sana. 

Semoga Allah Ta’ala menuntun kita dalam menapaki kehidupan dunia dan mendapatkan bekal yang sebaik-baiknya dari sisi-Nya. Aamiin.

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)  

Sunday, September 2, 2012

Bagaimana Cara Memilih Thariqat ?

Seorang sahabat berbicara kepada saya, mengutarakan keinginannya untuk berthariqat - setelah mengetahui tahapan perjalanan menuju makrifatullah, yaitu syariat – thariqat – haqiqat – makrifat, bagaimana cara menemukan thariqat yang baik dan benar?

Guru saya seringkali mengingatkan bahwa hal yang paling mustahil di dunia ini adalah kalau kita mencari Allah, lalu Allah tidak menuntun. Dengan demikian saya yakin sekali kalau kita berbisik di hati kita yang terdalam memohon kepada-Nya agar senantiasa dituntun, maka kita tidak akan tersesat. Sebaliknya, seseorang walaupun sudah mencapai tingkatan yang tinggi dalam beragama namun hatinya berpaling dari ikhlas mencari Allah semata, maka niscaya akan tergelincir, na’udzubillah.

Dalam sebuah buku Thariqah Tijaniyah ada hadis Rasulullah saw, dlm kitab Mizan al Qubra juz 1.”Sesungguhnya syariatku datang dengan membawa 360 thariqatan siapapun yang menempuh (salaka) salah satunya akan sampai.”

 Jadi banyak sekali pilihan jalan menuju Allah, maka tidak pantas seseorang merasa dirinya paling benar thariqahnya, paling suci alirannya dan menganggap remeh kepercayaan atau agama lain. Lebih baik kita fokus pada pemurnian diri sendiri saja. Makin kita memohon agar ditunjukkan kepada jalan yang benar, yang haq, maka Allah yang akan memandu dengan indah ke mana kita harus berjalan. Insya Allah. []

 (Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)