Monday, September 10, 2012

Tentang Ruh, Jiwa dan Raga

Inti suluk adalah mengenal kembali jiwa, karena komponen dari manusia yang pernah bersaksi di hadapan Allah adalah jiwanya, dengan mengenal kembali jiwa kita masing-masing maka semua mandat yang Allah berikan kepada kita di alam persaksian akan kembali teridentifikasi. Maka Rasulullah bersabda man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu. Barangsiapa mengenal jiwanya maka akan mengenal Rabb-nya.

Proses mengenal jiwa betul-betul proses musyahadah atau persaksian, suatu peristiwa nyata yang bukan merupakan imaginasi atau sangkaan semata. Untuk mengenal jiwa ini mau tidak mau harus melalui proses tazkiyatun nafs atau pensucian jiwa, dengan sabar, tidak boleh bangga diri, tekun beribadah, giat bekerja, harus bersih hati. Lama kelamaan hijab hati yang terdapat dalam jiwa dapat terangkat dan terbuka. Dan setiap kita akan bisa bicara dengan jiwanya masing-masing. Ini memang suatu proses yang orang katakan mistik.

Gambaran saat seseorang mengenal jiwanya atau bermusyahadah diceritakan oleh seorang ulama di Bandung, almarhum adalah seorang sufi yang sangat sederhana, saat dia bertemu dirinya, suatu malam beliau wudhu hendak shalat malam, di rumah hanya ada beliau istri dan anaknya. Saat masuk ke mushala, di sejadahnya ada orang yang duduk menghadap kiblat, berjubah dan bersorban, beliau langsung bertanya, “kamu siapa?” Ketika orang itu berbalik ternyata wujudnya adalah dirinya sendiri, dia berkata “Aku adalah engkau, engkau adalah aku.”

Raga kita hanya kendaraan saja. Sebagaimana raga punya mata telinga, perasaan dll semua itu juga dimilki oleh jiwa. Mata jiwa (mata hati) disebut bashirah. Akal jiwa disebut lubb, fuad dsb (ada 7 tingkatan akal dalam), rasa jiwa disebut qalb. Apabila jiwa terhijab - tertutup oleh dosa maka qalb, lubb, fuad dsb tidak berfungsi. Adapun kalau kita merasakan sedih, gelisah, kecewa itu bukan qalb. Tapi di perasaan yang tersambung dengan pikiran jasadiyah kita.

Bentuk raga memang dicipta berdasarkan bentuk jiwa. Raga hanya bayangan dari jiwa. Raga bagaikan kuda saja. Kalau kuda tidak mengenal penunggangnya dia tidak akan tahu fungsinya. Akhirnya manusia akan bekerja dan beramal sembarangan, apa yang ada kerjakan, apa yang dia inginkan kerjakan, apa yang menjadi ‘trend’ di kerjakan. Raga dan jiwa sangat beda kualitasnya, sejauh beda bayangan dan benda aslinya. Jadi secanggih-canggihnya raga kita tidak ada apa-apanya dibanding jiwanya, termasuk ma’rifatnya, ilmunya dll, hanya hal ini jarang dikenali padahal ilmu ini bukan hal baru sama sekali. Semua para sufi menerangkan tentang ini semua.

Matahari adalah simbol ruh, sinarnya menerpa nafs, lalu bayangan sang nafs dihidupkan menjadi raga. Komponen raga terdiri dari: air, udara, api dan tanah (Plato) Jika kita membuat sebuah boneka dari tanah liat, kan tidak hidup, sebagaimana penciptaan Adam dulu. Sebagaimana Nabi Isa membentuk bentuk burung dari tanah liat (tercantum dalam Al Quran) dia mati, hingga ditiupkan ruh. Karena Nabi Isa memiliki ruhul qudus dalam dirinya, saat dikeluarkan ruh itu dari mulutnya yang suci, burung itu menjadi hidup dan terbang.

Kita yang jasadiyah dan kuda tidak beda, terdiri dari komponen daging dan ruh. Pada saatnya ruh akan keluar dan kita pun mati. Tumbuhan pun apabila diambil ruhnya akan mati. Setiap hal di dunia ini ada ruhnya. Bahkan batu yang tampaknya diam tak bergerak pun ada ruhnya, ilmu fisika modern bisa meneropong pergerakan atom dan sub atom yang bergerak dinamis dalam partikel pembentuk batu yang seandainya partikel itu berhenti bergerak maka batu pun hancur. Jadi fungsi ruh adalah menghidupkan sesuatu yang mati.

Jasad untuk hidup perlu ruh dan untuk beraktivitas perlu energi yang diperoleh dari makanan, karena dia berasal dari bumi maka sumber makanan pun berasal dari sari bumi, agar dia bergerak/berenergi. Karena raga berasal dari bumi, maka kecenderungan raga adalah kepada bumi. Ia akan mencintai hal-hal yang dari ibu pertiwinya. Semua hal yang bersifat material akan dicintai oleh raga seperti rumah mewah, mobil bagus, gadget canggih, lahan luas, nafsu seksual dll, ini disebut sebagai syahwat.

Dikatakan ajal itu apabila ruhnya diambil, tapi selain ruh ada sesuatu di dalam raga kita, yaitu nafs, jiwa kita. Jiwa dikirimkan ke alam dunia, dari alam malakut, diberi kendaraan yaitu jasad. Jadi kalau jiwa, asalnya sesuatu hidup, sedangkan jasad asalnya sesuatu mati.

Karena jiwa adalah entitas yang sudah hidup, jadi tidak perlu faktor penghidup. Namun untuk bergerak atau beraktifitas perlu makanan juga. Yang menjadi makanannya bukan yang berasal dari unsur bumi, karena jiwa bukan berasal dari alam mulk. Makanannya adalah “perintah Allah” atau amr-amr Allah. Aktifitas jiwa kita bergantung kepada cahaya amr, atau kehendak/perintah Allah. Semua hal yang dari Allah Ta’ala, seperti hikmah, taufiq, hidayah dll merupakan sumber energi bagi jiwa. Semua tendensi jiwa untuk kembali ke ‘atas’ disebut himmah. Maka dalam diri kita akan konflik antara himmah dan syahwat.

Adapun ruh sebagaimana api dan cahayanya. Tidak sama api dan cahayanya. Api adalah ruh, adapun cahaya ruh adalah sesuatu yang keluar dari api. Yang membuat raga hidup bukan apinya tapi cahaya api. Maka disebut “Kami hembuskan ruh Kami” Nabi Isa membuat burung dan meniupkan ruhnya, yang ditiupkan adalah cahayanya, api ruhnya ada di dalam dadanya. Manusia secara potensial mampu bukan hanya menerima cahayanya tapi apinya, jika bertemu diri suatu ketika.

Ruh setiap orang tidak sama, namun saling mengenal, karena dari alam jabarut. Ruh kita saling mengenal satu sama lain, karena ada di alam yang sangat muuwahid dengan Allah ta’ala, jadi saling mengenal satu sama lain.

Allah punya tiga alam :
1. Alam jabarrut
2. Alam malakut
3. Alam mulk

Alam Mulk, adalah alam jasad dsb. Raga manusia, hewan, jin, tata surya, galaksi, semuanya adalah di satu alam. Jadi raga kita anggota dari alam mulk. Sebagaimana jin, karena dicipta dari api (salah satu komponen manusia). Jiwa adalah anggota alam malakut, jadi jiwa mengenal para malaikat, karena satu alam. Ia mengenal yang kiri kanan depan belakang. Raga memang susah mengenal malaikat, karena beda alam. Nanti di alam kubur kita bertemu malaikat, karena raga sudah tidak ada, maka jiwanya yang bertemu dengan malaikat. Jadi tidak aneh apabila ada orang yang ketemu dan berbincang dengan malaikat, asal jiwanya bangun.

Ada hal yang harus ditemukan oleh jiwa di bumi ini, yang itu dengan bantuan kendaraannya, yaitu jasad dan segala yang terkait dengannya. Pada saat kiamat, semua jiwa mati. Maka dalam Al Quran disebutkan ada dua ajal. Yang pertama ajal atau kematian raga dan yang kedua adalah kematian jiwa. Semua yang berjiwa, manusia, jin, malaikat akan mati.

Di alam mahsyar semua dihidupkan lagi, jasad, jiwanya. Jadi manusia akan diberi raga baru. Jadi yang ke surga pun jiwa dan raganya. Jadi kalau ada buah-buahan di surga, itu surganya raga. Kata Ibn Arabi, bentuk raga saat dibangkitkan akan sesuai dengan kondisi batin saat dia meninggal. Kalau sekarang kita mempunyai raga yang mirip jiwa, karena dibentuk dari kondisi batin di alam syahadah. Nanti raga disana betul-betul berdasarkan warna batin saat meninggal, kalau batin kita buruk penuh dengki, iri, amarah dll maka raganya jadi buruk.

Alam jabarut adalah alam ruh-ruh. Segala hal yang dinamai ruh, nisbatnya ke Allah Ta’ala. Kadang-kadang masyarakat tidak paham bahwa arwah jamak dari ruh, seringkali disalah tafsirkan dengan jiwa manusia. Padahal yang melanjutkan perjalanan di alam barzakh itu bukan ruh tapi jiwanya.

Demikian, dengan memahami istilah-istilah yang ketat ini, maka kita bisa lebih melihat kesinambungan satu ayat dan yang lainnya dalam Al Quran, yang semoga kehidupan kita dicahayai olehnya.

(Referensi : Materi Serambi Suluk. Zamzam AJT, 2008)

4 comments: