Tuesday, September 18, 2012

Manusia Sebagai Kalimah Thayyibah

Apakah engkau perhatikan bagaimana Allah membuat sebuah perumpamaan tentang kalimah yang thayyib, diumpamakan sebagai pohon yang baik. Pohon itu memberikan buah dengan seizin Rabbnya, Allah membuat perumpamaan agar manusia berpikir. Adapun perumpamaan kalimah khabiitsah (kalimah yang buruk) seperti pohon yang buruk yang telah tercerabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi tidak dapat tegak sedikit pun. (QS Ibrahim [14]: 24-27)

Kalimah adalah istilah untuk kata atau nama. Sebuah pohon di-nama-kan pohon durian karena berbuah durian. Maka pohon dinamakan sesuai dengan buah yang dihasilkannya. Itu adalah kalimah. Masing-masing manusia pun ada ‘nama-nya sesuai dengan buah pohon diri yang dihasilkan, berkarya dalam misi hidup apa. Dengan demikian kalimah juga merupakan fitrah manusia.

Dalam Al Quran atau Hadits Rasulullah kerap kali manusia digambarkan sebagai sebuah pohon. Dimulai dari benih yang ditanam, akarnya mulai tumbuh, dahannya menjulang ke langit, daunnya lebat hingga ia mengeluarkan buahnya. Perumpamaan yang sangat indah yang berkali-kali diungkapkan agar kita mengambil pelajaran darinya.

Sebagaimana benih pohon yang ditanam di dalam tanah. Maka benih ketuhanan dalam jiwa manusia ditanamkan di dalam raga masing-masing insan dan diturunkan ke alam dunia. Benih akan mengeluarkan akarnya yang berfungsi untuk menyerap sari makanan dari dalam tanah. Maka manusia pun harus bekerja dalam kehidupan berikhtiar mencari sari-sari ilmu pengetahuan untuk menumbuhkan benih diri.

Batang dari benih yang tumbuh akan menjulang ke langit, menumbuhkan dedaunan yang berfungsi untuk menyerap sinar matahari dan melakukan fotosintesa untuk menghasilkan buah. Begitupun benih yang tumbuh dalam diri manusia akan tumbuh dalam jiwa, yang sering diibaratkan sebagai langit, sebagai lawan dari raga – yaitu aspek kebumian. Adapun daun yang tumbuh adalah simbol dari amal sholeh setiap manusia. Pohon yang bagus adalah yang rindang daunnya dan banyak buahnya. Manusia yang baik di mata Allah Ta’ala pun yang banyak amalnya untuk sesama dan lingkungannya.

Oleh karena itu tidak aneh bila para rahib, biksu atau para waliyullah di berbagai penjuru dunia dalam waktu yang berbeda-beda mengajarkan para muridnya untuk bercocok tanam. Selain melatih kesabaran dan melembutkan hati, kegiatan menanam benih, menumbuhkan, memelihara serta memetik hasilnya juga sebagai pelajaran yang jelas tentang aspek benih dan pohon diri yang harus dipelihara di dalam diri masing-masing manusia. Dan tidaklah Allah memberi perumpamaan itu semua agar manusia berpikir.

(Referensi: Materi Serambi Suluk, 2008. Zamzam AJT)

No comments:

Post a Comment