Saat jiwa dimasukkan bersama ruh ke dalam raga manusia yang berusia 120 hari di dalam kandungan ibu, jiwa yang masuk adalah jiwa yang masih segar menyimpan ingatan tentang peristiwa persaksian di alam alastu dengan Tuhannya. Maka dikatakan dalam hadis Rasulullah saw bahwa setiap bayi yang lahir masih dalam keadaan fitrah, suci tidak terkotori waham dunia. Namun saat tumbuh dan berkembang seiring itu ada dosa yang mulai menutupi sang jiwa, sehingga lumpuh segala kemampuan jiwa, buta matanya, tuli telinganya, hingga tidak mampu menerima petunjuk Tuhan yang bertebaran dalam kehidupan.
Adalah tugas setiap insan untuk kembali membangunkan jiwanya masing-masing untuk mengenal kodrat diri. Oleh karena itu wajib setiap pribadi melakukan suluk, menempuh perjalanan kembali menuju kesejatian diri, menuju Sang Maha Pencipta.
Untuk membantu hamba-Nya menemukan fitrahnya kembali, Sang Khalik sering menurunkan perkara-perkara dalam kehidupan sang hamba untuk menghidupkan jiwanya. Kadang kala perkara yang diturunkan itu seringkali dirasakan pahit oleh raga, namun pada saat yang bersamaan ada yang tumbuh dalam jiwa. Bisa jadi seseorang diuji dengan kematian anak kesayangannya, atau sulit mencari penghidupan dalam dunia dan lain sebagainya.
Amanah yang diberikan oleh Allah kepada setiap manusia itu bagaikan benih yang ditanam ke dalam jiwa masing-masing hamba. Benih itu harus tumbuh menjadi sebuha pohon yang berbuah. Dalam ilmu botani, benih tidak bisa ditanam begitu saja akan tetapi harus dikeringkan supaya bisa tumbuh. Manusia pun sama, tidak bisa jiwanya ditumbuhkan dalam kondisi ‘basah’, dalam kondisi kehidupan yang serba nyaman, semua tercukupi dan tidak ada masalah, maka akan cenderung mengumbar hawa nafsu dan syahwat. Maka dalam Al Quran, Surat Yusuf diceritakan tentang tujuh sapi gemuk yang dimakan oleh tujuh sapi yang kurus. Ini adalah simbol bahwa setiap manusia yang berjalan kepada Tuhan niscaya akan dikuruskan oleh masalah dan ujian, tapi Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang tak ternilai.
Setelah benih dikeringkan, ada beberapa syarat lain agar benih bisa tumbuh dengan baik, yaitu harus ada sinar matahari, mineral, air, udara, tanah yang subur dll
Apabila benih tumbuh dengan baik ia akan pecah dan menumbuhkan kecambah, akarnya menjalar di bumi hingga ia menjadi pohon besar. Kalau sudah jadi pohon, baru ketahuan buahnya. Oleh karena itu pohon diberi nama karena buahnya.
Manusia pun punya nama dari Allah Ta’ala, hanya kalau benih yang dibawa manusia sudah ditanam, tumbuh dan berbuah baru namanya teridentifikasi. Seorang manusia yang telah ‘berbuah’, jiwanya tumbuh dan bertemu diri, akan banyak buah yang keluar berupa pengetahuan, kebijaksanaan, karomah dll. Dan perhatikan bahwa tidak ada satu pohon pun yang menyerap buahnya. Buah adalah untuk orang lain. Jadi agama Islam ini betul-betul untuk menjadi rahmat bagi orang lain, bukan memalak atau menzalimi orang lain. Semakin banyak diambil buahnya justru semakin tumbuh banyak.
Hanya kebanyakan manusia benihnya terhalang dari hujan dan matahari. Jadi walaupun ada matahari dan hujan yang turun dalam dirinya, tapi benih itu tidak tumbuh, perumpamaannya seperti benih yang tertutup kaleng. Maka seminimalnya Allah melubangi kaleng yang menutupi benih dengan paku, hingga masuklah cahaya dan hujan. Manusia sering membuat ‘kaleng’ dalam kehidupan, kebanyakan karena menuruti hawa nafsu, syahwat dan kurang baik dalam mengendalikan pikirannya. Makanya persoalan menumbuhkan jiwa betul-betul persoalan taubat, karena hanya Allah Ta’ala yang bisa mengambil kaleng, bukan semata terapi melalui psikolog. Karena taubat yang sempurna itu hanya diberikan bagi orang-orang yang mencari Allah.
Seseorang akan mengenal dirinya jika jiwanya tumbuh, jika ada pertumbuhan dalam jiwa pasti akan terefleksikan ke luar dalam tataran jasadiyah. Ketika ia sudah mengenal dirinya, maka ia seakan menjadi seorang yang terlahir kembali. Seperti yang dikatakan oleh Nabi Isa as, “Setiap manusia harus lahir dua kali, pertama lahir secara jasadiyah oleh ibu kita, dan kemudian lahir jiwanya”
(Referensi: Materi Serambi Suluk, 2008. Zamzam AJT)
No comments:
Post a Comment