Sunday, August 28, 2016

Jika Sholat Sekadar Formalitas

Salah satu penyebab kita dibuat pontang-panting oleh kehidupan bisa jadi karena sholat kita baru sekadar formalitas, sebatas menggugurkan kewajiban akan tetapi kering dari hati yang berserah diri kepada Allah Ta'ala.

Kerap kali sholat kita dikerjakan seadanya saja bahkan secepat kilat karena demikian kita menyibukkan diri dalam urusan dunia. Padahal sebenarnya saat terbaik kita adalah saat kita sholat yang hanya beberapa menit itu, yang kalau saja kita fokus dan khusyu mengerjakannya maka Dia yang merapikan segala urusan kita.

Kalau saat sholat pikiran kita melayang pada segala tetek-bengek dunia malah bisa jadi tidak akan mendapat apa-apa dalam sholatnya bahkan bisa makin membuat jarak dengan Allah Ta'ala. Akan tetapi jika kita memandang sholat sebagai saat yang dinanti-nanti, walaupun singkat tapi pada saat yang tidak lama itu kita serahkan semua permasalahan kita kepada-Nya. Setiap kita punya masalah yang dianggap besar, sebagian menghadapi permasalahan yang sama bahkan bertahun-tahun lamanya. Inilah saatnya untuk menunjukkan kepercayaan kita kepada-Nya, serahkan pada Dia dengan hati yang yakin dengan kuasa-Nya.

Sesungguhnya sholat adalah hari raya seorang mukmin, karena jika pada saat-saat lain kehidupannya belum tentu dalam genggaman Allah kecuali ia bertawakal kepada-Nya, maka dalam saat munajat di sholat itulah sang hamba berada dalam genggaman kuasa-Nya. Dan barangsiapa memperbaiki hubungan dengan Allah Ta'ala maka Ia akan memperbaiki kehidupan kita.

(Adaptasi dari Kajian Hikmah Al Qur'an yang disampaikan oleh Zamzam AJT, mursyid penerus Thariqah Kadisiyah. 13 Agustus 2016)

Friday, August 19, 2016

Menyikapi Kebandelan

"Bisa jadi kebandelan seseorang menjadi jalan untuk mengungkap suatu kebenaran."
- Zamzam AJT, mursyid penerus Thariqah Kadisiyah
Setiap orang pasti dipertemukan dengan episode bandel dalam hidupnya, entah itu kebandelan diri di masa lalu, bandelnya anak kita, atau diuji dengan bandelnya pasangan.
Makan ati?
Iya!
Cape menghadapinya?
Tak diragukan lagi!
Tapi itulah kehidupan, selalu punya cara untuk menyeret kita keluar dari zona nyaman yang dibentuk oleh pikiran kita sendiri.
Suka atau tidak suka kita harus menghadapinya. Karena seorang ksatria tidak akan lari dari peperangan. Kalau zaman dahulu para sahabat diuji melalui peperangan secara fisik, maka peperangan yang kita hadapi sekarang kebanyakan adalah perang melawan kemalasan kita, menerjang keengganan kita untuk melaksanakan amanah, mengendalikan amarah, menegakkan kesabaran dan menyingkirkan waham dunia.
Sangat membantu apabila kita memiliki kesadaran bahwa dibalik ditakdirkannya kita untuk merumat kebandelan diri, anak atau pasangan itu tersimpan mutiara kebenaran (al haq) yang menjadi bekal yang sangat berharga di dunia dan akhirat* . Maka sikap yang paling baik menghadapi jatah mengurus kebandelan adalah menerima, bersabar dan lebih baik lagi bersuka citalah! Karena kita tengah membuka sebuah hadiah yang bernilai berat di timbangan yaumil akhir nanti.
===
* Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (al haq), maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami. (QS: Al'a'raf 8-9)

Tetaplah Berpengharapan!

"Be hopeful, ye righteous!"
- Book of Enoch 96:1
Tetaplah memiliki harapan
Walau permasalahan kehidupan terasa sedemikian menghimpit
Walau pundak terasa lelah menanggung beban kehidupan
Walau akhir dari penantian terasa tak jua nampak.
Tetaplah memiliki harapan
Karena ujian kehidupan sudah dikadar dengan tepat (1)
Karena Yang Maha Kasih mustahil bermaksud membuat sengsara hamba-Nya (2)
Karena roda kehidupan akan senantiasa berputar (3)
Tetaplah memiliki harapan
Karena alam dunia memang diciptakan untuk memilah kualitas kecintaan asli atau palsu (4)
Karena seberat apapun api ujian yang membersihkan kita tidak ada bandingannya dengan api yang mewujud dari segala jenis penyakit hati yang kita bawa ke liang kubur. (5)
Karena kesabaranmu untuk menanti jalan keluar yang Allah berikan akan diganjar dengan sebaik-baik pemberian. (6)
Tetaplah memiliki harapan
Karena kuasa-Nya jauh lebih kuat dibandingkan seluruh tantangan dan ujian di dunia seganas apapun itu.
Tetaplah memiliki harapan karena putus asa hanya datang dari hati yang menutup diri dari cahaya kasih-Nya. (7)
***
(1) Allah tidak membebani seseorang diluar kemampuannya
(QS Al-Baqarah: 286)
(2) Bahwasanya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Nya (QS Ali Imran: 182)
(3) Sungguh bersama kesulitan ada kemudahan (QS Al Insyiraah :6)
(4) Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (ujian) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS Al Baqarah: 214)
(5) Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula. (QS Al Zalzalah: 7-8)
(6) Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam syurga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya. (QS Al Furqaan: 75)
(7) Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir (QS. Yusuf: 87)

Tuesday, August 16, 2016

Dzikir Subhanallah Meringankan Beban Hidup

Ibnu Abbas ra berkata: “Ketika Allah SWT menjadikan
Arsy, lalu menyuruh malaikat memikulnya. Para malaikat merasakan amat berat memikulnya. Kemudian Allah SWT menyuruh malaikat berzikir "Subhanallah". Kemudian saat para malaikat membacanya, jadi terasa ringanlah amanah memikul Arasy dan setelah itu mereka berzikir (kalimat tasbih) tersebut selama-lamanya.”

---
Kita semua mempunyai beban kehidupannya masing-masing, yang setiap beban pemikulan sudah ditakar dengan tepat oleh Sang Pencipta agar sesuai dengan kemampuan sang pemikul.
Keberatan hati kita saat memikul amanah hidup biasanya muncul karena tidak paham akan hakikat dan maksud episode menanggung beban ini, sehingga tidak sedikit manusia yang mencoba melarikan diri dari kesulitan yang harus ditanggung untuk menunaikan amanahnya.

Kalimat tasbih (subhanallah) yang dapat berfungsi meringankan beban yang ditanggung oleh para malaikat di atas tentu bisa diaplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Dimulai dengan mulai membiasakan membasahi lisan kita dengan tasbih, lalu disertai dengan pemahaman bahwa "subhanallah" berarti mengalirkan diri dalam aliran takdir-Nya. Seperti halnya perahu kertas yang mengalir dalam arus sungai, ia tidak berontak sehingga dapat mengalir dengan mulus.

Tidak mudah memang untuk mengalirkan diri dalam kehendak-Nya, butuh langkah besar awal berupa penerimaan yang komplit. Kita terima diri kita apa adanya, pasangan kita apa adanya, keluarga kita apa adanya, pekerjaan per hari ini apa adanya dan hal-hal lain yang Dia hadirkan dalam genggaman kita. Mental menerima (nrimo) membutuhkan kesadaran bahwa kita adalah hamba yang tak berdaya di hadapan ketetapan-Nya, namun hal yang menakjubkan adalah justru pada saat yang bersamaan saat kita menerima kefakiran diri kita kekuatan Ilahiyah akan mulai terasa di dalam diri, karena saat kita menerima semua amanah diri tersebut secara mental kita tengah berjarak dengan mereka dan mulai mengidentifikasi semua itu sebagai sebuah pemberian yang ditata dengan sangat baik dalam pengaturan-Nya, maka pada saat itu beban kita mulai terasa berkurang, karena sadar bukan kita yang menanggung dan bertanggung jawab atas semua itu, namun Dia Sang Maha Pencipta. Adapun tugas kita hanya melakoni semua skenarionya dengan baik, menjadi bahtera yang mengalir dengan tenang.

Monday, August 15, 2016

Perempuan Sebagai Pilar Ruhani

Salah satu pelajaran berharga yang saya serap selama tinggal di Belanda dalam kurun waktu 3 tahun ini adalah dengan diperlihatkan fenomena beberapa perempuan Indonesia yang menikah atau mempunyai calon orang Eropa namun khawatir tentang keyakinan sang laki-laki yang tidak seiring dengannya. Sangat dimengerti apabila para perempuan itu mendambakan seorang pendamping hidup yang juga bisa menjadi imam dalam keluarga dan membimbing anak-anaknya untuk beribadah dengan jalan yang juga ia pilih.
Akan tetapi kenyataannya pola pikir dan budaya orang-orang Eropa berbeda, pun mereka dibesarkan dalam dunia yang berbeda. Mereka terbiasa berpikir dan berbicara kritis, setiap hal ditanyakan kenapa harus begini, kenapa harus begitu? Dan kalau dirasa belum masuk akal maka jangan harap mereka mau melakukannya, padahal butuh waktu untuk bisa mengerti dan mencecap inti dari ajaran syariah Islam. Pun berseberangan keyakinan atau pendirian juga hal yang biasa disini, we can agree to disagree and moving on the relationship. Maka bisa jadi tidak adil untuk memaksakan mereka merubah dirinya demi mengikuti keinginan sang perempuan. Singkat cerita banyak perempuan muslim Indonesia yang menikah dengan laki-laki yang hanya mengucap syahadat saat sebelum nikah dan kemudian tidak melakukan syariat agama. Inilah tipe muslim yang tidak sedikit jumlahnya di benua Eropa (juga mungkin di Indonesia, mereka yang disebut muslim ktp). Makanya mursyid saya berpesan, "Tessa sedang Allah ajari bagaimana menghadapi tipe muslim yang demikian."
Kunci menghadapinya sederhana, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedu­dukanmu.” (Q.s. Muhammad: 7)
Perempuan-perempuan yang diberi takdir seperti ini harus memerankan diri sebagai pilar ruhani dalam keluarga. Melanjutkan pesan mursyid saya, "sang perempuan harus menjadi pilar ruhani yang kokoh, nanti anak-anak dan suami akan mendapatkan berkahnya."
‪#‎keep‬ on dancing!

Dahsyatnya Potensi Qalb Insan

Melihat foto-foto ruang angkasa selalu jitu untuk membuat dada saya lapang sekaligus menjadikan masalah apapun yang sedang berkecamuk di dada menjadi relatif menjadi ciut.
Coba bayangkan kira-kira 1,000,000,000,000,000,000,000,000 bintang melayang dengan cantik di luar angkasa sana. Betapa luas jagad raya dibandingkan planet tempat kita tinggal ini tapi toh sebagian besar manusia tidak menyadari pemandangan spektakular yang tengah digelar Sang Gusti.
Jalaluddin Rumi berkata kira-kira begini "Manusia itu terlahir dengan memiliki potensi untuk mengembangkan sayapnya, lalu mengapa sebagian besar mereka memilih untuk merayap di muka bumi?"
Sesungguhnya luar biasa potensi seorang insan apabila ia telah berhasil mengembangkan sayap pengetahuannya menjadi seorang yang makrifat, yang dengannya ia bisa terbang melintasi semua alam. Seseorang yang menghabiskan hidupnya merayap dari satu persoalan dunia ke persoalan dunia yang lain menunjukkan bahwa jiwanya masih tertarik kuat ke alam bumi jasadiyah, maka hari ke harinya ia hanya menjadi santapan rasa takut, kesedihan, berat hati serta kelalaiannya menjalani takdir kehidupan yang akan senantiasa menggerinda hati sang insan. Akan tetapi melalui sebuah proses suluk yang baik sang hamba akan tertuntun untuk mulai mengembangkan jiwanya*, sebuah fitrah dirinya. Namun tidak sedikit yang hanya terpaku pada proses pengembangan langit yang memang jauh lebih mencengangkan dibanding pagelaran bintang-bintang di alam raya. Adapun orang yang ikhlas akan senantiasa mencari-Nya hingga ia menjadi hamba yang mengenal-Nya (makrifat).
Kehebatan kondisi hati (qalb) seorang hamba yang makrifat ini digambarkan dengan lugas oleh Ibnu 'Arabi dalam Kitab Fusus Al Hikam yang mengutip Abu Yazid rahimatullah "Apabila seratus juta 'al kursiy' beserta segala isinya diletakkan di sudut hati qalb seorang hamba yang makrifat, niscaya ia tidak akan merasakannya."
*Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan dia maha mengetahui segala sesuatu. (Surat 2 Al-Baqarah ayat 29)

Sujud Hiburan Terbaik Bagi Hamba

"Tidaklah menghiburku sesuatu pun dari dunia melainkan oleh sujud."
(Sa'id bin Jubair dikutip dalam Ihya 'Ulumuddin karya Imam Al Ghazali)

"Dan sujudlah dan dekatkanlah dirimu kepada Tuhan"(QS Al A'laq:19)

Abu Hurairah ra berkata, "Sedekat-dekat sang hamba kepada Allah 'Azza wa Jalla adalah apabila ia sujud, maka perbanyaklah doa ketika itu."

Rasulullah saw bersabda, "Tolonglah saya dengan banyak sujud!"(HR Muslim)

Pemberian Tuhan Terbesar Kepada Manusia

"Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus".
-QS Huud [11]:56
Apakah ada pemberian (dari Sang Pencipta) kepada ciptaan-Nya yang lebih besar daripada ini?
- Ibnu 'Arabi dalam Fusus al Hikam bagian Hikmah Nabi Huud as

Batas Kebebasan Manusia

"Allah gave us freedom of action fifteen years ago, and we abandoned it through politeness."
- Abu's-Su'ud ash-Shibli
Kebebasan yang digadang-gadang oleh sebagian orang sebagai justifikasi untuk bisa meraup apapun yang waham mereka inginkan sebenarnya sesuatu yang absurd. Kenyataannya kita semua terlahir di dunia ini dalam sekat-sekat yang tidak kita tentukan. Kita tidak memilih lewat orang tua dan baguan bumi mana dilahirkan, kita tidak mendesain bakat tertentu yang ada dalam diri, lalu jika kita sudah cukup lama merasakan asam garam kehidupan banyak saat dimana kita terantuk oleh dinding takdir yang tak dapat dibengkokkan dan memaksa kita untuk "work with the flow". Kematian dan penyakit misalnya adalah dua komponen takdir yang sangat kuat yang dapat sedemikian rupa mengoyak-ngoyak impian para pembangun mimpi. Dan tidak ada satu makhluk pun yang terbebas dari kematian atau penyakit.
Namun di sisi lain pada kenyataannya juga kita diberi kebebasan untuk melakukan manuver apapun yang kita inginkan. Cara orang menggunakan kebebasan yang ada tergantung dari kondisi jiwa masing-masing. Gambarannya adalah seperti ini:
Sebuah rumah lengkap dengan kebun dan segala isinya dipinjamkan kepada tiga jenis manusia dengan usia yang berbeda; anak balita, remaja dan dewasa. Anda tidak akan kaget jika seorang balita akan menumpahkan berbagai macam cairan dan mencorat-coret dinding rumah, singkatnya keinginannya untuk bereksplorasi akan sukses membuat rumah bagaikan kapal pecah.
Sedangkan bagi si remaja, mungkin daya rusaknya tidak sebesar anak balita, tapi ia belum tergugah untuk membersihkan sisa makanannya yang berserakan , merapihkan tempat tidurnya atau mengurus kebun yang ada di belakang rumah. Sang remaja hanya fokus dengan dunianya sendiri yaitu bermain dan bermain.
Adapun orang dewasa mengerti bahwa rumah harus dibersihkan dan diurus sedemikian rupa, apalagi rumah itu pinjaman, ia akan mempunyai rasa sungkan kepada sang pemilik rumah yang sudah berbaik hati meminjamkan tempat berteduh.
Rumah itu adalah raga kita dan penghuninya adalah sang jiwa manusia. Kebebasan bagi jiwa yang masih anak-anak akan diartikan dengan bisa berbuat seenaknya tanpa mempertimbangkan perasaan samg pemilik raga. Sedangkan bagi yang tingkat kedewasaan jiwanya sudah tinggi seperti yang dikatakan ash-Shibli " kebebasan pun aku tinggalkan " karena ia memiliki adab yang tinggi terhadap Sang Pemberi kehidupan. Baginya sebaik-baik pilihan adalah meninggalkan kebebasan berbuat demi menyenangkan Sang Pemberi kebebasan. Suatu pilihan yang tidak masuk akal bagi sebagian besar orang dan tidak akan pernah masuk akal karena hal itu hanya bisa dipahami oleh komponen hati yang merindu.

Upaya Memahami Skema Takdir

Ketika muridnya bertanya masalah takdir, sang guru hanya tersenyum lalu berucap dengan kelembutan "perbanyaklah istighfar, nanti pada saatnya pengetahuan tentang itu akan dibukakan kepadamu".
Dalam konstelasi rukun iman, iman kepada qadha (ketetapan) dan qadar (takdir) Allah menempati urutan keenam, urutan terakhir setelah iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab Allah, para rasul dan hari kiamat. Suatu sinyal bahwa untuk bisa memahami dengan utuh skema takdir tidak lepas dari pengimanan kepada rukun iman yang sebelumnya.
Seperti halnya sebuah sinar putih yang terurai menjadi warna-warni (merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu) manakala ia melewati sebuah prisma, maka penjelasan mengenai sebuah warna terkait dengan penjelasan warna lain dan terlebih tentang sumbernya, sang warna putih.
Maka pengetahuan tentang takdir akan diperoleh oleh seorang hamba sejauh mana penyingkapan yang Allah telah lakukan kepada hamba tersebut dan hal itu dipengaruhi oleh kesiapan hatinya dalam menerima ilmu Allah. Semakin ia menata hatinya semakin lapang dadanya untuk menerima cahaya iman yang telah Allah siapkan untuk masing-masing hamba. Yang dengan cahaya iman itu manusia bisa menjadi lebih kokoh dan bijaksana menghadapi suka-duka kehidupan. Serta hatinya menjadi tidak dikendalikan oleh ketakutan serta kekhawatiran dalam melakoni kehidupan karena ia telah menyandarkan jiwanya sepenuhnya dalam genggaman-Nya.
Apabila seseorang tidak pernah berkesempatan mencecap cahaya pengetahuan tentang takdir maka pengetahuan tentang hal itu akan disingkapkan kepadanya di yawmil akhir, sebuah saat dimana semua selubung akan diungkap. Akan tetapi pengetahuan yang didapatkan di hari itu sudah tidak lagi mendatangkan kebaikan baginya karena ia telah kehilangan saat untuk beramal sholeh, maka sebagian besar akan memohon kepada Allah untuk dihidupkan kembali ke dunia.
"Wahai Rabb kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami ke dunia. Kami akan mengerjakan amal shaleh. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yakin"
(QS As Sajdah [32]:12)

Makna Menjamu Tamu

Di suatu siang yang indah di kota kembang saya pernah berkesempatan menyupiri kakanda mursyid saya dari kediamannya ke kampus tempat beliau mengajar. Ketika mobil terhenti di lampu merah persimpangan Dago para pengemis mulai beraksi menghampiri kaca jendela mobil kami. Kakanda mursyid dengan sigap merogoh saku celananya untuk meraih rupiah bagi sang pengemis dan hal itu tidak dilakukannya sekali dua kali. Saya memerhatikan dengan perasaan bercampur, satu sisi terharu dengan kedermawanan yang dipancarkan oleh beliau namun di sisi lain saya tidak jarang dibuat ragu apakah baik dan mendidik memberi sesuatu kepada peminta-minta di jalanan ini?
Kakanda mursyid yang nampaknya bisa meraba pergulatan pikiran saya tersenyum kemudian mengucapkan dua kata yang selalu saya ingat hingga detik ini, beliau berkata "tamu Tuhan".
Inilah kiranya salah satu resep sukses beliau menapaki jalan mendaki pencarian Tuhan, karena memiliki mentalitas positif selalu menyikapi apapun yang dihadirkan ke hadapannya sebagai tamu yang Tuhan kirimkan yang pastinya layak untuk dijamu dengan baik dan datang dari hati yang menginginkanNya semata.
Setiap hari kita dihadirkan beragam tamu Tuhan mulai dari yang berbentuk fisik ataupun berupa lintasan-lintasan pikiran dan pasang surut perasaan yang mengalir di dalam hati yang tak ada seorang pun bisa membacanya kecuali kita sendiri dan Dia yang mengalirkan. Mudah memang untuk menjamu tamu yang menyenangkan hati, kita pun bahkan bisa dibuat tahan berlama-lama bercengkrama dengannya, namun tantangan sebenarnya bagi tuan rumah untuk bisa menunjukkan kemahirannya menjamu tamu justru saat menghadapi tamu yang menyebalkan, membuat sedih atau marah. Apakah kita sang tuan rumah masih bisa tersenyum dan melayaninya dengan baik atau menyerah pada perasaan hati yang tak enak dan membiarkan diri dikuasai oleh emosi negatif yang membuat kita tidak bisa menampilkan sisi diri kita yang terbaik?
Ihwal menjamu tamu ternyata suatu santapan harian yang konsekuensinya terentang dari dunia ini ke kehidupan di akhirat nanti. Tidak mengherankan baginda Rasulullah saw berwasiat mengenai hal ini :
“Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari)
Kiranya beliau tidak hanya membicarakan perihal tamu berwujud nyata yang datang ke rumah kita saja.

Tuesday, August 2, 2016

Hidup Dituntun Waham

"Tidak ada yang paling kuat mendorong manusia selain dari waham."
- Al Hikam No.71, Syaikh Ibnu Atha

Sebagian besar manusia menjalani kehidupannya dalam kendali waham semata. Cirinya jelas, sasaran pandangnya adalah selain Allah, dengan kata lain sesuatu yang terjangkau di dunia. Bisa jadi wahamnya memimpin niat dan cita-citanya dalam mengejar sesuatu yang nyata seperti jabatan, pangkat, dan kekayaan lain. Ataupun waham yang bersifat lebih halus seperti pujian, ingin dipandang sholeh atau terhormat di mata manusia dan hal-hal lain yang merayap sangat halus di dalam hati yang bahkantidak disadari oleh orang yang bersangkutan.

Adapun ketaqwaan adalah kedudukan yang tidak banyak manusia bisa mencapainya, karena sulitnya mencapai derajat taqwa. Perilaku orang yang taqwa senantiasa menyasar alam yang berikutnya yang bagi sebagian besar manusia dirasa jauh, padahal tidak ada sesuatu yang paling cepat mengejar manusia melainkan kematian. Akan tetapi sebagian besar manusia lalai dari mempersiapkan diri menghadapi sang malaikat maut yang pasti datang menjemput dan lebih sibuk mematut diri agar nampak cemerlang di hadapan manusia dibandingkan mementingkan penilaian Allah Ta'ala.

(Adaptasi dari Kajian Al Hikam yang dipandu oleh Zamzam AJT, mursyid penerus Thariqah Kadisiyah, 19 Juni 2016)

950 Tahun Dakwah Nuh as

Nabi Nuh as menjalankan misi hidupnya untuk menyampaikan kebenaran selama 950 tahun lamanya dan dalam rentang waktu yang panjang itu hanya 80 orang yang terpanggil mengikuti seruannya bahkan di sebuah riwayat lain dikatakan hanya 10 orang yang bertaubat.
Dalam Kitab Fusus Al Hikam, Ibnu 'Arabi mengatakan bahwa Nuh as sebenarnya diberi pengetahuan bahwa sebagian besar manusia tidak akan mengikuti seruannya. Akan tetapi seorang Nuh as tetap menjalankan amanah yang telah dikalungkan oleh Sang Maha Pencipta ke lehernya*, karena ia tidak tertawan oleh hasil perbuatan akan tetapi lebih memandang kepada Dia yang memberikan mandat tersebut.
* "Dan setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan) amal perbuatannya di lehernya. Dan pada hari kiamat Kami keluarkan baginya sebuah kitab dalam keadaan terbuka." (QS Al Isra' : 13)