Tuesday, December 29, 2020

 Kenapa kita tidak bisa melihat Allah?

Kenapa Dia seakan bersembunyi dari penglihatan kita di alam ini? Bukankah Dia rindu untuk dikenal?


Untuk sekian lama pertanyaan ini saya endapkan karena belum bisa meraba jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Namun,  saat menelaah makna "washiyyah" dalam kajian hikmah Al Quran surat Al Baqarah yang diampu oleh Mursyid  kemudian saya merasa menemukan titik terang dalam pergulatan batin ini. Slowly but sure keping-keping puzzle Dia hadirkan dalam momen-momen tertentu dalam hidup. Yang dengan kehadiran keping-keping tambahan itu saya makin bisa menebak gambaran besar apa yang Allah hendak sampaikan dalam diri dan kehidupan ini.


Ssbagaiman washiyyah atau wasiat itu disampaikan oleh seseorang yang hendak menghadapi kematian atau kepergian dari alam ini, Allah Ta'ala juga ternyata pernah berwasiat kepada para nabi, mereka para insan dengan level spiritual tertinggi yang juga memiliki peran menyampaikan berita langit kepada umat manusia. Wasiat yang Allah berikan adalah tentang diin (agama), bahwa kita harus menegakkan agama dan jangan berpecah belah di dalamnya.


Kemudian setelah semesta alam mulkiyah ini tercipta seiring dengan itu hijab pun terbentang antara manusia dengan Allah Ta'ala. Sebiah tiga lapis kegelapan yang disebutkan dalam Al Quran. Seperti benih yang dibenamkan ke dalam kegelapan tanah dan ia harus pecah kecambah dan tumbuh ke atas dan merentang langit. 


Kita semua sedang menumbuhkan benih-benih yang Dia tanam di dalam hati. Benih itu Dia tebarkan di tanah yang terbaik untuk dia bertumbuh. Artinya segenap kehidupan dan takdir yang melingkupi adalah yang terbaik untuk diri kita. Semua dikadar dengan sangat presisi demi tumbuhnya pohon akal dalam diri kita. Yang hanya dengan akal yang bertumbuh itu kita sekali lagi bisa mengenal dan menatap wajah-Nya. Sang Cinta pertama kita...

Otw from Groningen to Amsterdam

29 Desember 2020

13.07

Friday, December 25, 2020

 

Kehidupan itu bagai sungai yang mengalir. Dimulai dari mata air di pegunungan, turun melalui lembah-lembah mengikuti hukum gravitasi. Air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Jika air menemui hambatan berupa bebatuan ia akan berbelok mencari jalan lain. Air tidak ngoyo memaksakan dirinya menembus sesuatu yang terlalu keras untuk ia tembus. Maka aliran sungai meliuk-liuk indah jika kita pandang dari angkasa. Hingga akhirnya air yang sama yang muncul dari mata air akan berakhir di lautan luas.

Hidup kita itu “work with the flow”, seperti air yang mengalir dari mata air, torehan jalur sungainya sudah Dia desain bahkan jauh hari sebelum kita diberi wujud. Lalu, jika hidup sudah ditakdirkan, apa gunanya kerja keras kita? Apa gunanya beramal shalih? Ini pertanyaan manusia yang sudah muncul sejak dulu kala. Wajar, kita memang butuh untuk memahami kehidupan.

Tak ada satu jawaban universal yang bisa memuaskan pertanyaan ini. Karena yang jauh lebih penting dari jawaban itu sendiri adalah untuk tetap mempertanyakan segenap aspek kehidupan kita sendiri. Agar kita tidak terlena dengan kemapanan hidup dan senantiasa mencari kesejatian diri.

Tapi memang hidup bukan tentang kisah perjuangan, usaha dan sekian bentuk pencapaian. Karena jika itu yang menjadi tolok ukur, betapa tidak adilnya perlombaan kehidupan ini. Banyak orang yang memang ditakdirkan memiliki modal yang lebih banyak, apakah itu modal uang, ilmu, koneksi, fasilitas dsb. Bagi mereka, pencapaian kesuksesan bukan sebuah keajaiban, itu adalah keniscayaan jika mau bekerja keras untuk itu. Lalu bagaimana dengan mereka yang tampak “kurang sukses” atau bahkan dipandang “gagal” dalam kehidupan? Karena jika parameter kesuksesan hanya sekadar pencapaian lahiriyah tidak terelakkan akan tercipta kasta-kasta dalam masyarakat, tentang kaum yang sukses, agak sukses, kurang sukses dan tidak sukses berdasarkan gaji, kekayaan, jumlah buku best seller yang ditulis, jumlah pengikut dsb. Ini adalah parameter kesuksesan yang memilukan. Yang akan cenderung menafikan sekian banyak nikmat hidup yang Sang Pencipta berikan.

Kembali ke gambaran sungai tadi. Bahwa setiap orang punya aliran sungai kehidupannya masing-masing. Yang hanya di aliran sungai itulah setiap diri punya kesempatan yang paling optimal untuk mengenal Sang Pencipta sejak dari alam dunia ini. Gamblangnya begini, jika jiwa kita ditukar kehidupannya ke dalam kehidupan orang lain, you name it, orang yang kehidupannya di mata kita tampak sangat keren dan sukses, dengan seratus persen keyakinan saya katakan Anda tidak akan bahagia bertukar kehidupan dengan sang orang pujaan itu. Karena benih hanya akan tumbuh subur di tanah yang tepat. Demikian pula benih dalam jiwa kita yang harus tumbuh menjadi pohon akal yang akan mengenal-Nya hanya akan tumbuh subur di kehidupan yang Allah buatkan dan pilihkan untuk kita. Lahir dari orang tua yang itu, di negeri yang itu, dengan latar belakang keluarga seperti itu, dengan keadaan rumah tangga demikian, diberi pasangan yang itu, anak-anak yang itu, rumah yang itu, pekerjaan yang itu, keadaan tubuh yang itu dsb.

Kebahagiaan yang kita cari sungguh tidak jauh. Dia tidak memerlukan sebab-sebab lahiriyah sebenarnya. Yang ia butuhkan adalah sebuah hati yang bersyukur. Seperti air yang mengalir, work with the flow. Mengalirlah dengan aliran kehidupan. Aliran takdir yang terbaik yang Dia ciptakan dengan kedua tangan-Nya sendiri. []

Thursday, December 17, 2020

 Inginnya sih semua yang berkekurangan saya bantu semua. Inginnya memberi modal bagi semua yang butuh modal usaha. Inginnya menanggung biaya pengobatan yang tengah berada dalam kesulitan ekonomi. Banyak keinginan untuk membantu sesama, tapi apa daya kemampuan terbatas. Jadi harus selektif memilih dengan landasan keadilan sebisa mungkin.


Tapi, kadang walaupun kita memang mampu menolong seseorang, namun ada kalanya tindakan kita menolong dia secara langsung itu malah tidak membawa kebaikan bagi yang bersangkutan. Dia malah jadi terlalu mengandalkan bantuan kita dibanding tawakal kepada Allah. Maka ada saatnya ketika kita harus tega memberikan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan sambil diiringi doa. Dan dalam pengalaman saya, justru pemberian kita berupa doa yang tulus malah bisa mengubah hidupnya jauh lebih efektif dan melalui cara-cara yang mencengangkan yang tak terjangkau oleh skema bantuan kita sebaik apapun itu. 


Bagaimanapun setiap manusia dalam genggaman Tuhan Penguasa semesta alam. Dia yang mustahil menelantarkan ciptaan-Nya. Kalaupun sesekali kita diizinkan untuk menjadi perpanjangan tangan Dia untuk mengalirkan rezekinya, itu sebuah keberuntungan semata. Adapun perkara hajat hidup orang lain, kita tak punya kuasa pada hakikatnya, tak perlu merasa terlalu bertanggung jawab hingga dipenuhi perasaan bersalah saat tak kuasa memenuhi apa yang dibutuhkan. Justru disitu kita tengah disadarkan bahwa posisi kita sebagai hamba yang meminta kepada Dia Yang Maha Kuasa.



Sunday, December 6, 2020

 Banyak orang mengira kalau hidup di luar negeri itu asyik. Tapi ketahuilah bahwa berwisata dan tinggal lama di tempat yang asing adalah dua hal yang berbeda. Kebanyakan orang Indonesia yang saya pernah temui disini justru berpendapat hidup di Indonesia lebih baik, maka tak sedikit yang memutuskan pulang kampung. Tapi yah, yang namanya manusia memang begitu, dikasih A pengen B, dikasih B pengen C. Betapa sulitnya ternyata kita untuk sekadar mensyukuri apa yang ada.


Buat saya pribadi pun jujur saja tidak mudah beradaptasi dengan peran baru, berkeluarga, meninggalkan karir, comfort zone, sahabat- sahabat dan keluarga yang dikasihi di tanah air. Butuh waktu 3 tahun untuk akhirnya bisa bilang "i feel at home". Tidak sedikit perempuan seperti saya yang sudah punya karir bagus di tanah air lalu pergi meninggalkan semuanya kemudian harus mengurus keluarga yang kelabakan menerima episode barunya disini. Beberapa dari mereka bahkan harus dibantu dengan pil penenang yang diresepkan oleh dokter untuk bisa berfungsi dalam keseharian.


Kalau dilihat ke belakang saya pikir "obat penenang" saya adalah Al Quran. Begitu saya mencoba mendalaminya entah kenapa seperti ada kesadaran yang bertumbuh dari dalam diri. Oleh karenanya saya berupaya disiplin mempelajari Al Quran, bukan sekadar tilawah atau membaca artinya tapi mencoba membumikannya dalam keseharian. Cara belajar yang saya paling sukai adalah dengan mengajar. Maka sejak tahun 2016 (empat tahun lalu) saya mulai buka kelas kajian suluk online dimana setiap minggu kita berdiskusi tentang satu atau dua ayat dalam Al Quran kemudian dicoba direnungkan bersama-sama.


Saya perhatikan  memang itu langkah yang banyak mengubah hidup saya. Ketika kita tak kuasa mengubah sekitar kita, maka ubahlah dalam diri kita dengan Al quran maka tiba-tiba kita jadi paham kenapa kita diperjalankan dalam sebuah episode yang tadinya membuat pening kepala kita. Merenungkan Al Quran memang berdaya guna ajaib dalam meningkatkan ketahanan diri saya dalam kehidupan. Saya jadi tidak mudah mengeluh, tidak mudah patah oleh kenyataan yang berlawanan jauh dengan keinginan, atau tidak mudah terbawa arus sesaat pergantian pasang surut kehidupan. Dan selain itu ketika kita mulai paham bagaimana Allah menggerakkan roda kehidupan dan mulai mengendus hikmahnya, maka kita bisa lebih ridho menjalaninya.


Maka izinkan kiranya saya bersaksi bahwa Al Quran adalah obat (syifa) dan penawar bagi hati yang gelisah. Karena dalam Al Quran semua rambu-rambu kehidupan tercakup di dalamnya. Bagaimana menghadapi konflik rumah tangga, bagaimana menghadapi rezeki yang disempitkan, bagaimana menghadapi anak yang berulah, bagaimana menghadapi terjangan hawa nafsu dalam diri yang sering merepotkan. Pun dalam Al Quran tersebar banyak janji Sang Rabbul 'Alamiin dalam kehidupan. Bahwa Dia tak mungkin menimpakan sesuatu di luar kapasitas kita, bahwa rezeki itu dijamin, bahwa setelah kesulitan ada kemudahan, bahwa ada kehidupan yang lebih baik yang menanti kita jika kita kecewa dengan apa yang ada di dunia ini, bahwa jangan dibuat susah oleh anak-anak kita, bahwa apa yang kita baik belum tentu baik begitupun apa yang kita anggap buruk belum tentu buruk. Dan banyak lagi rambu-rambu kehidupan yang membuat kita kokoh dalam menjalani takdir-Nya. Terutama dalam takdir yang kita tidak pahami dan kita kepayahan dalam menjalaninya. And more over, tak ada di ujung lain dari Al Quran kecuali Dia. Apalagi yang lebih indah dan patut dicari selain dari itu?❤