Friday, December 25, 2020

 

Kehidupan itu bagai sungai yang mengalir. Dimulai dari mata air di pegunungan, turun melalui lembah-lembah mengikuti hukum gravitasi. Air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Jika air menemui hambatan berupa bebatuan ia akan berbelok mencari jalan lain. Air tidak ngoyo memaksakan dirinya menembus sesuatu yang terlalu keras untuk ia tembus. Maka aliran sungai meliuk-liuk indah jika kita pandang dari angkasa. Hingga akhirnya air yang sama yang muncul dari mata air akan berakhir di lautan luas.

Hidup kita itu “work with the flow”, seperti air yang mengalir dari mata air, torehan jalur sungainya sudah Dia desain bahkan jauh hari sebelum kita diberi wujud. Lalu, jika hidup sudah ditakdirkan, apa gunanya kerja keras kita? Apa gunanya beramal shalih? Ini pertanyaan manusia yang sudah muncul sejak dulu kala. Wajar, kita memang butuh untuk memahami kehidupan.

Tak ada satu jawaban universal yang bisa memuaskan pertanyaan ini. Karena yang jauh lebih penting dari jawaban itu sendiri adalah untuk tetap mempertanyakan segenap aspek kehidupan kita sendiri. Agar kita tidak terlena dengan kemapanan hidup dan senantiasa mencari kesejatian diri.

Tapi memang hidup bukan tentang kisah perjuangan, usaha dan sekian bentuk pencapaian. Karena jika itu yang menjadi tolok ukur, betapa tidak adilnya perlombaan kehidupan ini. Banyak orang yang memang ditakdirkan memiliki modal yang lebih banyak, apakah itu modal uang, ilmu, koneksi, fasilitas dsb. Bagi mereka, pencapaian kesuksesan bukan sebuah keajaiban, itu adalah keniscayaan jika mau bekerja keras untuk itu. Lalu bagaimana dengan mereka yang tampak “kurang sukses” atau bahkan dipandang “gagal” dalam kehidupan? Karena jika parameter kesuksesan hanya sekadar pencapaian lahiriyah tidak terelakkan akan tercipta kasta-kasta dalam masyarakat, tentang kaum yang sukses, agak sukses, kurang sukses dan tidak sukses berdasarkan gaji, kekayaan, jumlah buku best seller yang ditulis, jumlah pengikut dsb. Ini adalah parameter kesuksesan yang memilukan. Yang akan cenderung menafikan sekian banyak nikmat hidup yang Sang Pencipta berikan.

Kembali ke gambaran sungai tadi. Bahwa setiap orang punya aliran sungai kehidupannya masing-masing. Yang hanya di aliran sungai itulah setiap diri punya kesempatan yang paling optimal untuk mengenal Sang Pencipta sejak dari alam dunia ini. Gamblangnya begini, jika jiwa kita ditukar kehidupannya ke dalam kehidupan orang lain, you name it, orang yang kehidupannya di mata kita tampak sangat keren dan sukses, dengan seratus persen keyakinan saya katakan Anda tidak akan bahagia bertukar kehidupan dengan sang orang pujaan itu. Karena benih hanya akan tumbuh subur di tanah yang tepat. Demikian pula benih dalam jiwa kita yang harus tumbuh menjadi pohon akal yang akan mengenal-Nya hanya akan tumbuh subur di kehidupan yang Allah buatkan dan pilihkan untuk kita. Lahir dari orang tua yang itu, di negeri yang itu, dengan latar belakang keluarga seperti itu, dengan keadaan rumah tangga demikian, diberi pasangan yang itu, anak-anak yang itu, rumah yang itu, pekerjaan yang itu, keadaan tubuh yang itu dsb.

Kebahagiaan yang kita cari sungguh tidak jauh. Dia tidak memerlukan sebab-sebab lahiriyah sebenarnya. Yang ia butuhkan adalah sebuah hati yang bersyukur. Seperti air yang mengalir, work with the flow. Mengalirlah dengan aliran kehidupan. Aliran takdir yang terbaik yang Dia ciptakan dengan kedua tangan-Nya sendiri. []

No comments:

Post a Comment