Kehidupan itu bagai sungai yang mengalir.
Dimulai dari mata air di pegunungan, turun melalui lembah-lembah mengikuti
hukum gravitasi. Air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Jika air menemui
hambatan berupa bebatuan ia akan berbelok mencari jalan lain. Air tidak ngoyo
memaksakan dirinya menembus sesuatu yang terlalu keras untuk ia tembus. Maka
aliran sungai meliuk-liuk indah jika kita pandang dari angkasa. Hingga akhirnya
air yang sama yang muncul dari mata air akan berakhir di lautan luas.
Hidup kita itu “work with the flow”,
seperti air yang mengalir dari mata air, torehan jalur sungainya sudah Dia
desain bahkan jauh hari sebelum kita diberi wujud. Lalu, jika hidup sudah
ditakdirkan, apa gunanya kerja keras kita? Apa gunanya beramal shalih? Ini
pertanyaan manusia yang sudah muncul sejak dulu kala. Wajar, kita memang butuh
untuk memahami kehidupan.
Tak ada satu jawaban universal yang bisa
memuaskan pertanyaan ini. Karena yang jauh lebih penting dari jawaban itu
sendiri adalah untuk tetap mempertanyakan segenap aspek kehidupan kita sendiri.
Agar kita tidak terlena dengan kemapanan hidup dan senantiasa mencari
kesejatian diri.
Tapi memang hidup bukan tentang kisah
perjuangan, usaha dan sekian bentuk pencapaian. Karena jika itu yang menjadi tolok
ukur, betapa tidak adilnya perlombaan kehidupan ini. Banyak orang yang memang
ditakdirkan memiliki modal yang lebih banyak, apakah itu modal uang, ilmu,
koneksi, fasilitas dsb. Bagi mereka, pencapaian kesuksesan bukan sebuah
keajaiban, itu adalah keniscayaan jika mau bekerja keras untuk itu. Lalu
bagaimana dengan mereka yang tampak “kurang sukses” atau bahkan dipandang “gagal”
dalam kehidupan? Karena jika parameter kesuksesan hanya sekadar pencapaian
lahiriyah tidak terelakkan akan tercipta kasta-kasta dalam masyarakat, tentang
kaum yang sukses, agak sukses, kurang sukses dan tidak sukses berdasarkan gaji,
kekayaan, jumlah buku best seller yang ditulis, jumlah pengikut dsb. Ini adalah
parameter kesuksesan yang memilukan. Yang akan cenderung menafikan sekian
banyak nikmat hidup yang Sang Pencipta berikan.
Kembali ke gambaran sungai tadi. Bahwa
setiap orang punya aliran sungai kehidupannya masing-masing. Yang hanya di
aliran sungai itulah setiap diri punya kesempatan yang paling optimal untuk
mengenal Sang Pencipta sejak dari alam dunia ini. Gamblangnya begini, jika jiwa
kita ditukar kehidupannya ke dalam kehidupan orang lain, you name it, orang yang
kehidupannya di mata kita tampak sangat keren dan sukses, dengan seratus persen
keyakinan saya katakan Anda tidak akan bahagia bertukar kehidupan dengan sang
orang pujaan itu. Karena benih hanya akan tumbuh subur di tanah yang tepat.
Demikian pula benih dalam jiwa kita yang harus tumbuh menjadi pohon akal yang
akan mengenal-Nya hanya akan tumbuh subur di kehidupan yang Allah buatkan dan
pilihkan untuk kita. Lahir dari orang tua yang itu, di negeri yang itu, dengan
latar belakang keluarga seperti itu, dengan keadaan rumah tangga demikian,
diberi pasangan yang itu, anak-anak yang itu, rumah yang itu, pekerjaan yang
itu, keadaan tubuh yang itu dsb.
Kebahagiaan yang kita cari sungguh tidak
jauh. Dia tidak memerlukan sebab-sebab lahiriyah sebenarnya. Yang ia butuhkan
adalah sebuah hati yang bersyukur. Seperti air yang mengalir, work with the flow.
Mengalirlah dengan aliran kehidupan. Aliran takdir yang terbaik yang Dia ciptakan
dengan kedua tangan-Nya sendiri. []
No comments:
Post a Comment