Wednesday, July 3, 2019

Orang yang beriman dengan sebenar-benarnya iman adalah mereka yang terbebas dari segenap keadaan yang Allah Ta’ ala bentuk dan hadirkan untuknya. Entah dia dibuat pintar atau kurang pintar, entah dilahirkan dari orang tua yang kaya raya atau bukan, entah rezekinya banyak atau pas-pasan, entah berwajah tampan atau cantik atau biasa saja.

Semua kondisi itu hanyalah kondisi duniawi, sebuah takdir di tingkat jasadiyah yang telah ditetapkan saat jiwa ditiupkan ke dalam janin yang berusia 120 hari.

Rasulullah saw bersabda,
Sesungguhnya salah seorang diantara kalian dipadukan bentuk ciptaannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari lalu menjadi segumpal darah selama itu pula (selama 40 hari), lalu menjadi segumpal daging selama itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh pada janin tersebut, lalu ditetapkan baginya empat hal: rizkinya, ajalnya, perbuatannya, serta kesengsaraannya dan kebahagiaannya.”
(Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu).

Ada yang mudah mencari penghidupan, ada yang harus pontang-panting sekadar memberi makan anak-istri. Ada yang karirnya mudah meroket, ada juga yang biasa-biasa saja. Tapi karena semua potensi itu pada dasarnya adalah amanah dan pinjaman dari Allah Ta’ ala maka tidak pantas seseorang berkata, “ Wah, dia lebih beruntung nasibnya”. Karena perkataan itu pada saat yang bersamaan menuduh Allah tidak adil dalam menetapkan kehidupan dan membagikan rezeki-Nya.

Orang beriman akan berkata “ Ini duniaku, ini ragaku, ini hidupku, ini takdirku” dengan gagah dan menyikapi dengan sebaik-baiknya. Hingga dengannya ia tidak diombang-ambing oleh dinamika kehidupan yang senantiasa berubah. Saat ia di puncak kesenangan tidak akan lupa darimana semua itu berasal demikianpun saat kehidupan tengah menghimpit dan ia merasa kesulitan karenanya, ia tidak merasa putus asa dan menolak takdir hidupnya.

Maka bedakan antara Dia dan pemberian-Nya. Seorang pencari Tuhan sejati akan menolak tertawan oleh semua pemberian-Nya. Ia menolak didikte oleh keadaannya, kepintarannya, harta, jabatan, karir, bahkan keinginan dan mimpinya sendiri.

Telisiklah selalu ke dalam hati yang terdalam. Apa yang tengah mengendalikan kita? Apakah keadaan rumah tanggan kita? Apakah anak-anak kita? Apakah pekerjaan kita? Apakah bisnis kita? Apakah orang tua kita? Apakah pandangan masyarakat? Atau apakah diri tengah dikendalikan oleh hawa nafsu atau syahwat kita sendiri?

(Adaptasi dari kajian hikmah Al Quran yang disampaikan oleh Mursyid Zamzam AJ Tanuwijaya, 10 Oktober 2010)


No comments:

Post a Comment