Saya tidak pernah menyangka rumah tangga saya hancur dalam hitungan bulan. Rasanya kami baik-baik saja. Bahagia dengan dua buah hati. Kemana-mana pergi bersama. Seperti layaknya kebanyakan keluarga lain.
Hingga suatu hari saya menemukan bon makanan atas nama seorang perempuan di suatu hotel di saku baju suami yang hendak dicuci.
Saya coba mengklarifikasi dengan tenang dan tanpa emosi - walau demikian berat, tapi entah kenapa Allah memberi saya ketenangan pada saat itu. Justru suami yang tampak kelimpungan. Akhirnya dia mengakui bahwa tak berapa lama telah menjalin hubungan dengan seorang perempuan lain.
Sakit hati saya. Sedih, marah, kecewa semua bercampur menjadi satu. Saya tidak bisa apa-apa selain menangis. Saya bahkan tidak bisa marah kepada suami apalagi melayangkan kata-kata kasar. Saya masih mencintainya, bagaimanapun juga.
Setelah menyadari hal tersebut tidak dapat begitu saja dihentikan. Saya menyarankan agar suami menikahi saja perempuan itu. Agar hubungannya menjadi halal. Saya tidak mau ayah dari anak-anak saya terjerumus kepada perzinaan.
Suami pun akhirnya menyetujui saran ini. Pada hari pernikahan mereka pun saya yang menyiapkan baju khusus untuk suami. Sungguh perasaan saya campur aduk pada saat itu. Tapi tekad untuk menyelamatkan imannya melalui syariat yang Allah sediakan lebih kuat membara di hati saya. Biar Allah yang menjadi saksi.
Setelah mereka menikah saya coba menghubungi istri mudanya, sekadar ingin mengucap selamat dan menyambung silaturahmi, tetapi dia menolak, entah kenapa. Kemudian beberapa bulan setelahnya suami jadi jarang pulang dan hampir bisa dihitung oleh jari dalam sebulan bertemu dengan anak-anak. Hingga puncaknya di bulan kedelapan, suami menceraikan saya.
Saya sudah tidak punya tenaga lagi untuk berjuang mempertahankan rumah tangga kami. Rasanya saya sudah memberikan segalanya. Enough is enough. Akhirnya kami bercerai dan dengan sisa tenaga yang ada saya meneruskan perjalanan hidup dengan dua malaikat kecilku sebagai penyemangat jiwa. Saya tidak tahu bagaimana harus menghidupi diri sendiri dan dua anak ini karena saya tidak punya pekerjaan atau usaha. Akhirnya saya putuskan kembali ke kota tempat saya dilahirkan. Setidaknya saya masih punya keluarga disana.
Itu titik balik perjalanan hidup saya. Enam belas tahun yang lalu. Alhamdulillah banyak rezeki tak terduga setelah saya berpisah dengan suami yang selama ini mencukupi kebutuhan kami. Dengan limpahan rezeki-Nya ada saja jalan sehingga dua anak saya bisa kuliah dan yang paling besar sudah kerja. Saya bisa naik haji dan bahkan memiliki rumah saat ini juga berkat kebaikan Dia yang menggerakkan hati orang-orang sekitar saya. Sungguh saya tidak pernah dan pantang untuk meminta-minta. Tapi bahkan pada satu hari ketika saya berkata kepada dua anak saya bahwa ibunya tidak punya uang untuk membeli bahan makanan hari itu, selalu ada tetangga yang mengirimkan makanan. Subhanallah wallahu Akbar!
Betul rupanya Gusti Allah mboten sare (Allah tidak tidur). Lewat episode hidup ini seolah Allah berkata kepada saya, “Aku yang memelihara kamu dan anak-anakmu, bukan suamimu...”
(Berdasarkan kisah nyata)
No comments:
Post a Comment