“Akhirnya aku bertekad untuk memakai jilbab setelah melalui masa perenungan yang cukup lama. Saat aku kemukakan niat itu kepada kedua orang tuaku, ibu menentang dengan keras bahkan aku disuruh memilih antara tetap tinggal bersama mereka atau mempertahankan jilbab dan keyakinanku itu. Sedangkan ayah, seperti biasa lebih terbuka menerimanya, akan tetapi beliau tak berdaya menghadapi ibu yang memang keras kepala.
Keyakinanku sudah demikian kuat. Jika aku menurut apa kata ibuku saat itu aku merasa ada bagian dari diriku yang dikorbankan dan aku tahu aku akan menyesalinya seumur hidupku. Lalu dengan tetap bersikap santun aku coba menjelaskan sudut pandangku. Hingga pada titik dimana aku tahu aku harus mengambil langkah yang pahit dan berat. Mengemas pakaianku dan meninggalkan semua fasilitas yang orang tuaku berikan.
Pada saat itu aku masih kuliah di tingkat pertama. Semua biaya kuliah, kendaraan yang aku bawa setiap hari ke kampus, ongkos dan uang jajan sehari-hari adalah dari orang tua. Satu hal yang aku yakini adalah Allah-lah Sang Maha Pemberi Rezeki. Itulah saat dalam hidup dimana aku belajar melakukan ‘leap of fate’, terjun bebas dan berharap Dia menyelamatkanku. Aku keluar rumah dengan membawa sekantung besar pakaian dan semua kebutuhan kuliah. Tak tahu harus kemana. Air mata tak hentinya mengalir dari pipiku. Perasaan sedih, marah, takut semua menjadi satu. Sedih karena aku harus berpisah dari orang tua yang aku cintai, marah karena aku tidak mengerti mengapa mereka tidak bisa menerima aku apa adanya, dan takut akan nasib studi dan masa depanku.
Untuk beberapa minggu lamanya aku tinggal berpindah-pindah dari tempat kost teman yang satu ke teman yang lain. Hingga akhirnya aku menemukan tempat sewa kamar yang cocok dengan sisa uang di dalam tabunganku. Aktivitas kuliah kembali kutapaki. Alhamdulillah banyak mendapat banyak bantuan dari teman-teman yang mengetahui keadaanku. Hingga akhirnya aku tahu harus melakukan sesuatu untuk menopang kebutuhan hidupku sendiri. Tapi apa pekerjaan yang bisa kulakukan di sela waktu kuliah? Aku berdoa dan berdoa setiap hari. Memohon petunjuk-Nya. Hingga pada suatu malam aku tertidur di atas sajadah setelah berdoa dan bermimpi diriku berada di sebuah sekolah Nasrani ternama di kota tempat aku menuntut ilmu dan aku sedang mengajar disana. Mimpi itu sangat jelas hingga aku masih ingat setiap detilnya bahkan saat terbangun.
Gadis berjilbab mengajar di sekolah Nasrani? Aku bertanya-tanya sendiri akan makna mimpi itu. Walaupun akhirnya timbul ide untuk mengajar Bahasa Inggris, bidang yang sangat aku sukai dan bukan kebetulan kiranya aku memiliki nilai TOEFL yang tinggi. Walau logikaku berkata tidak mungkin, akan tetapi entah kenapa ada dorongan dari dalam hati untuk melaksanakan ide itu. Lalu aku membuat surat lamaran untuk bekerja sebagai guru Bahasa Inggris di sekolah itu.
Keesokan harinya aku berdiri di depan gerbang sekolah Nasrani ternama itu, tepat di depan papan besar sekolah yang berada di sebelah gerbang masuk. Di tangan kananku tergenggam sebuah map berisi riwayat hidup dan berbagai berkas yang menunjukkan kompetensiku dalam Bahasa Inggris. Hatiku berdegup kencang. Bayangan, ‘worst case scenario’ berkelebat bergantian. Bagaimana kalau aku ditertawakan? Bagaimana kalau aku dihardik? Bagaimana…bagaimana…Hingga tiba-tiba semua bayangan itu buyar oleh sebuah tepukan di pundak kananku.
“De, mau masuk ke dalam sekolah ini?”kata sebuah suara yang datang dari seorang perempuan paruh baya keturunan Tiongkok dengan ramah. Auranya begitu hangat hingga dalam sekejap entah kenapa aku bercerita singkat tentang keadaanku yang butuh biaya untuk melanjutkan kuliah dan mendapat mimpi mengajar di sekolah ini.
“Oh, Ade bisa mengajar Bahasa Inggris? Kebetulan dua anak saya yang sekolah disini butuh les Bahasa Inggris. Apakah Ade mau memberikan les untuk mereka?”
Respon pertamaku hanya tertegun untuk beberapa saat. Tak tahu harus berkata apa. Ini masih bagaikan mimpi buatku.
Singkat cerita, Allah memberiku jalan menyelesaikan kuliah melalui mengajar Bahasa Inggris. Ternyata ibu itu adalah pemilik sebuah pabrik makanan di kota itu. Kadang ia memberi lebih dari apa yang aku butuhkan. Alhamdulillah, kebutuhan kuliah dan sehari-hari Allah cukupkan melalui mengajar Bahasa Inggris di luar waktu kuliah.
Aku masih memikirkan kedua orang tuaku tentunya. Setiap hari. Bagaimanapun sebagai anak mereka semata wayang, hatiku terpaut demikian erat. Pernah suatu hari aku mencoba mengunjungi mereka, tetapi pembantuku mencegahku masuk dan menolak membukakan pagar rumah, katanya ibuku melarangku masuk rumah kecuali aku membuka jilbab. Masya Allah. Perasaan campur aduk itu muncul kembali. Lalu aku bertekad menyelesaikan kuliah dengan baik untuk menunjukkan kepada mereka bahwa aku bisa mandiri dan berprestasi. Dan alhamdulillah aku lulus lebih cepat dengan nilai terbaik hingga aku mendapat prestasi sebagai “mahasiswa terbaik” untuk angkatan kelulusan tahun tersebut.
Dengan bangga aku menelepon ayahku, untungnya beliau selalu membuka saluran komunikasi denganku, anak semata wayangnya. Namun ibu tetap bersikeras tidak mau menerimaku, bahkan menolak untuk menghadiri wisuda jika aku tidak melepas jilbab. Lagi-lagi aku terantuk di masalah yang sama. “
Sepuluh tahun kemudian.
“Itu kisah hidupku mbak, saat ketika aku diajari bahwa Allah yang Maha Memberi Rezeki, jalannya bisa lewat mana saja.”Tuturnya dengan suara yang penuh keyakinan. Sambil memperlihatkan foto wisuda bersama kedua orang tuanya dengan dirinya mengenakan pakaian daerah dan tutup kepala khas daerah – sebagai jalan tengah tetap menutupi aurat dan mengikuti tuntutan ibu yang tanpa kompromi itu-
Happy ending 😊
No comments:
Post a Comment