Friday, July 30, 2021

 Tantangan membesarkan anak di  masa ketika agama tengah mencapai titik nadirnya. Mereka pontang-panting untuk melihat contoh nyata sosok manusia yang akhlaknya baik karena ditempa oleh agama. Apalagi jika anak tumbuh di tengah masyarakat yang cenderung agnostik atau menyandang jargon "spirituality yes, religion no".


Ketika suguhan di dunia luar menampilkan orang-orang yang memakai atribut agama malah berperang, berperilaku kasar, mencuri, menganiaya bahkan membunuh orang alangkah wajarnya anak kemudian ciut nyalinya dan berpikir ulang apakah mempelajari agama merupakan pilihan yang baik untuknya.


Anak saya yang umur 9 tahun saja sudah mulai berpikir kritis tentang ini. Hati nuraninya masih murni mengatakan bahwa menyakiti dan menzalimi orang lain is a big no-no. Maka ketika melihat ada sebuah perbuatan menzalimi orang lain walaupun dengan dalih dan justifikasi agama, si anak langsung mengernyitkan dahi dan berkata, "Is it okay if i am less religious?" Karena dia menyalahartikan "being religious" adalah harus berangasan seperti itu. 


Disitulah fungsi kita sebagai orang tua memberikan penjelasan yang baik. Tapi sebaik-baik penjelasan ya memang dengan perilaku yang kita tampilkan sendiri. Omong kosong jika kita berkoar-koar mengatakan "Nak, Islam itu rahmatan lil 'alamin ya, camkan!" Tapi uang rakyat dikorupsi, kerja ga becus, bicara menyakitkan, kata-kata kotor dan sumpah serapah mudah sekali meluncur dari lisan, buang sampah sembarangan, tetangga disakiti, bahkan kerabat dan keluarga sendiri dizalimi, suami dan istri ribut terus, salah sedikit langsung meledak, lantas di mana letak rahmatnya?


Celetukan anak saya kemarin itu bagaikan a wake up call untuk saya. Agar saya benar-benar bercermin ke dalam diri sendiri dan bertanya, apakah saya sudah menegakkan diin (agama) saya sendiri? ...

No comments:

Post a Comment