Monday, July 12, 2021

 Saya mulai melakukan shalat memang sejak usia taman kanak-kanak. Setelah itu, masa SD dan SMP memang kadang masih bolong-bolong shalatnya. Jelang SMA, seiring dengan gunjang-ganjing rumah tangga kedua orang tua, saya jadi mulai merasakan shalat sebagai tempat teduh saya. Maka saya shalat tak perlu lagi disuruh, bahkan mulai mengerjakan shalat-shalat sunnah. Terasa ada sebuah ketenangan yang tak tergambarkan dengan kata-kata setiap kali saya wudhu dan gelar sajadah serta sujud di atasnya. 


Tapi, kalau boleh jujur saya mulai betul-betul merasa membutuhkan shalat, mulai tidak merasakan shalat menjadi beban lagi, mulai tidak malas lagi untuk bergegas shalat begitu mendengar azan adalah setelah papa saya berpulang ke rahmatullah. Berpulangnya beliau sungguh adalah sebuah big wake-up call, tamparan keras dalam kehidupan, saya mulai merasa selama ini saya bekerja keras dalam "rat race of life" seperti tikus kecil yang berlari kencang dalam roda berputar. Saya merasa sudah jauh berlari tapi sebenarnya tak pernah kemana-mana. Kematian orang yang terkasih menjadi pengingat saya bahwa hidup itu harus punya fokus tertentu dan bukan kita yang menetapkan fokus hidup itu. Karena apapun yang kita kerjakan sehebat apapun toh akan ditinggalkan juga melewati gerbang kematian. Jadi saya mulai berpikir untuk melakukan sesuatu yang nilainya kekal dunia dan akhirat, dan untuk mengidentifikasi sesuatu itu tidak bisa semaunya melainkan harus didasarkan kepada penyerahan diri yang total kepada-Nya. Karena kalau setengah-setengah berserah diri kepada-Nya tapi masih juga berpegang kepada selain-Nya maka itulah yang akan mengundang malapetaka bagi kita sendiri. I have learned the hard way.


Setelah papa tiada semua mulai terasa hambar. Tapi, saya pikir itu dibutuhkan agar saya mau melompat hijrah ke negeri Belanda meninggalkan karir yang tengah melaju pesat dan sekian comfort zone. Tanpa dunia saya diguncangkan saya akan sulit untuk melangkah keluar dari zona nyaman yang cenderung mematikan jiwa itu. Luar biasa memang skenario Allah Ta'ala.


Maka, saya mulai menemukan oase saya di sepetak sajadah yang saya bawa kemana-mana. Di manapun saya berada saya akan shalat, di kereta, di stasiun kereta, di kendaraan, dan saya mulai mensinkronisasi segenap jadwal harian dengan jadwal shalat, karena ingin mengejar shalat di awal waktu. Sebuah hal yang sungguh sangat menantang apalagi setelah saya berumah tangga. Tapi Allah selalu membukakan jalannya.


Shalat adalah hiburan buat saya, pelepas dahaga, saat teduh dan istirahat saya. Jika hati sedang gundah gulana, adukan kepada Allah dalam shalat. Jika sedang bingung, curhat sama Allah dalam shalat. Jika sedang kehabisan ide dan inspirasi, datang kepada Allah meminta dalam shalat. Jika sedang lelah, terhuyung-huyung datang kepadanya dalam shalat. Shalat adalah oase saya. Saya membutuhkan itu, saat ketika merasakan Dia hadir, dekat sekali dalam sebuah ritual sakral yang diturunkan melalui Rasulullah Muhammad saw. Demikian eratnya saya dengan shalat sampai anak-anak saya langsung paham kalau memanggil-manggil saya di rumah dan saya tidak jawab, "Oh, mama is sholating" Karena itu satu-satunya alasan saya tidak menjawab seruan mereka adalah ketika saya sedang beraudiensi dengan Sang Maha Pencipta.


Hidup selalu punya cara untuk menguji kita, membuat kecewa, mematahkan angan dan impian dan bahkan menyeret kita dalam sebuah kesulitan yang panjang. Bagi mereka yang juga tengah menghadapi hal yang serupa, saya hanya punya satu resep menghadapi semuanya dengan selamat dan bahkan bahagia. Dirikan shalat. Perbaiki shalat. Jadikan shalat benar-benar sebagai tiang agama, tonggak keseharian kita, pilar gaya hidup kita. Dan saya bersaksi Dia yang kita hadapkan wajah kita pada saat shalat selalu merespon dan mengganjar dengan jauh melebihi sekadar apa yang kita angankan sehingga shalat betul-betul menyembuhkan saya baik secara lahir maupun batin.


"Hayya alash-shalah - Hayya alal-falah"

No comments:

Post a Comment