Saturday, August 26, 2023

 “It’s only a matter of time before doctors become replaced by artificial intelligence (AI)” kata Yuval Noah Harari ketika diwawancara oleh BBC dalam rangka peluncuran bukunya “21 lessons for the 21st century”. Saya tidak setuju dengan dia. Sama halnya saya tidak setuju dengan pendapatnya di buku Sapiens bahwa kita manusia adalah Homo Sapiens.


Kalaupun AI bisa mengolah semua data mengenai kondisi tubuh manusia seperti tanda-tanda vital, bioritme dll, itu masih puncak dari gunung es dari keadaan yang sebenarnya, karena manusia adalah makhluk yang bukan sekadar raga yang terdiri dari sekumpulan organ dan sistem. Manusia punya jiwa dan ruh. Manusia punya pikiran dan emosi dan perasaan. Semuanya mempengaruhi state of well-being seorang manusia.


Mungkin kalau sekadar mengatasi gejala penyakit yang ada, AI masih bisa diandalkan. Sakit kepala? Ini obatnya. Sakit perut? Minum ini. Sakit pinggang? Ambil ini. Tapi memori saya masih kuat menjejak saat mendengar kuliah umum etika kedokteran untuk para mahasiswa kedokteran baru yang disampaikan oleh almarhum Prof. Rully Roesly dulu , beliau mengatakan bahwa kemampuan menjadi dokter terutama ditentukan oleh anamnesa yang baik. Lebih dari 70% akurasi diagnosis itu dari anamnesa yang baik. Anamnesa adalah sesimpel wawancara dokter kepada pasien. Dia membutuhkan kemampuan komunikasi, kemampuan mendengarkan dan empati yang baik. Lebih dari itu seorang dokter yang memiliki hati yang hidup akan bisa menangkap  hal-hal yang jauh lebih dalam. Sesuatu yang tak akan mungkin dijangkau oleh AI karena mereka tak punya hati.


Saya jadi ingat pengalaman pernah kerja di sebuah klinik di daerah Cicalengka di sekitar tahun 2002-2003 dulu. Klinik itu selalu ramai oleh pasien yang jumlahnya ratusan di pagi dan sore sampai malam hari. Maklum dengan anya merogoh kocek 12ribu rupiah saja pasien sudah bisa konsultasi dengan dokter plus mendapat paket obat. Memang senang bisa banyak menolong orang, tapi saya sering tidak puas dalam melakukan anamnesa. Karena bagaimanapun proses anamnesa membutuhkan waktu, dan setiap kali saya mencoba menggali lebih jauh riwayat penyakitnya si petugas administrasi sedikit-sedikit memberi sinyal “jangan kelamaan dok, pasien masih banyak yang antri”. Nah, serba salah. Akhirnya diagnosa langsung ditegakkan berdasarkan data yang terbatas. Mungkin si pasien akan merasa sembuh dengan berbagai pereda sakit atau obat-obat simtomatik. Tapi hanya masalah waktu keluhannya berulang jika akar penyakit itu tidak kita temukan.


Kondisi itu juga yang memutuskan saya pindah ke klinik yang lebih sepi di Purwakarta. Di sana saya bisa leluasa menganamnesa pasien. Saya jadi tahu bahwa di balik sering kambuhnya eksim seorang nenek tua ada hubungannya dengan konflik dengan mantunya. Saya jadi memerhatikan bahwa di balik serangan maag yang berulang pada seorang ibu ternyata bersumber pada ricuh di rumah tangganya. Saya jadi paham bahwa di balik sakit panu yang berulang ternyata bapak ini punya kecenderungan diabetes dan beliau susah mengontrol makanan karena makan makanan yang enak adalah media pelampiasan dia dari ketegangan yang ada di rumah tangganya.


Manusia itu memang kompleks. Tidak seperti memperbaiki robot. Begitu banyak dinamika yang terjadi di dalam semesta diri manusia. Ada tiga alam yang membentuk seorang manusia. Raga dalam alam mulk, jiwa dari alam malakut, ruh dari alam jabarut. Dan itu saya yakin sampai kapanpun tak akan pernah bisa terjangkau oleh AI. It is not that intelligent afterall…

No comments:

Post a Comment