Saturday, July 1, 2023

 Tiga tahun awal tinggal di Belanda (2013-2015) adalah masa terberat yang pernah saya alami selama hidup.  Pindah ke negeri yang jauh dari keluarga besar, meninggalkan comfort zone dan karir yang menjanjikan, berjibaku menyesuaikan diri dalam pernikahan, being part of extended family, menjalani peran sebagai istri dan ibu serta segala keadaan baru sambil mengasuh Elia yang masih berusia 6 bulan saat kami pindah ke Amsterdam. Luar biasa tekanannya. Belum lagi di tahun 2014 secara tak terduga kami mendapat momongan baru dengan hadirnya Rumi Isaiah. Kerjaan sebagai ibu rumah tangga makin naik tingkat kesulitannya. Rasanya hampir tak punya waktu untuk diri sendiri. Mendera kelelahan dan kesepian adalah harga yang harus saya bayar. Kalau saya lihat ke belakang, hanya berkat rahmat Allah saya bisa melalui itu semua dengan lancar.


Tapi sejak tahun 2015 seperti ada angin sejuk yang datang. Sebuah kesegaran baru yang memompakan semangat si jiwa. Gerbangnya adalah dengan mulai lagi mengerjakan tugas saya menerjemah Kitab Nabi Idris. Waktu itu saya kerjakan dari nol lagi seakan saya belum pernah mengerjakan terjemahan kitab itu sebelumnya yang sebetulnya sudah rampung saya terjemahkan di fase peetama di tahun 2007. Satu windu lamanya naskah itu sempat mengendap. Saya seperti diajari selama kurun waktu itu di dalam kawah candradimuka yang bernama kehidupan. Menempuh satu persatu takdir yang Allah Ta’ala gelar mulai dari kepergian almarhum Papa yang mendadak terkena stroke, pindah ke Jakarta meninggalkan Purwakarta kota yang saya tadinya sudah betah sekali tinggal disana. Kemudian menikah dan Allah pindahkan ke kota Amsterdam. Semua rangkaian kehidupan itu tampaknya membekali saya untuk melakukan penerjemahan tahap kedua yang berselang 8 tahun lamanya.


Proses penerjemahan tahap kedua secara logika tidak mungkin dilakukan di tengah tumpukan pekerjaan keseharian mengurus dua balita dan rumah tangga. Naskah Kitab Nabi Idris itu tergolong bahasa kitab suci yang tidak semudah menerjemah novel atau karya berbahasa populer lain. Mencari terjemahan kata yang presisi adalah hal yang membuat kepala cukup pusing dibuatnya. Belum lagi review yang saya baca di jurnal-jurnal ilmiah bahwa kajian naskah Laut Mati itu biasanya menjadi pekerjaan para peneliti selevel Doktor. Lha saya ini secara akademik seolah ngga mumpuni mengerjakan itu, emak-emak tanpa latar belakang menerjemahkan manuskrip lama. Tapi kok bisa? Lagi-lagi karena Allah tolong saja. Titik. Karena kalau mengandalkan kemampuan saya pasti tidak sanggup. Jelas tidak akan pernah selesai.


Tapi begini, saya bersaksi bahwa ketika saya berusaha memberikan sikap yang terbaik terhadap apa-apa yang Dia berikan, mau itu berupa anak rewel, lantai yang kotor, cucian yang menumpuk, melayani keluarga dll, ternyata itu menjadi kunci agar Allah menurunkan pertolongan-Nya di hal-hal yang memang harus saya lakukan. Dalam hal ini, saya kemudian dimudahkan untuk menerjemah. Jari seperti menari saat mengetik di atas keyboard. Kata-kata yang harus ditulis kadang sepeti ada yang membisikkan. Pokoknya ajaib! Masya Allah.


Setelah itu, di tahun 2016 Allah memberikan pintu beramal lain dengan lahirnya kelas Kajian Suluk Online. Diawali dengan permintaan dari 2-3 orang, sekarang anggotanya sekitar 207 orang tersebar di 33 kota dari seluruh dunia. Setiap Kamis kami bertemu dalam ruang maya untuk sama-sama mengaji Al Quran, kitab diri dan kitab kehidupan. Dari situ saya perhatikan satu persatu rezeki dunianya pun dibukakan. Kami tiba-tiba dimudahkan membeli rumah dengan lima kamar tidur di Amsterdam, beli mobil untuk pertama kalinya karena pertimbangan bawa anak dua suka ribet apalagi kalau hujan (foto terlampir kenangan membawa anak dengan strollernya masing-masing lengkap dengan tas berisi keperluan mereka sambil menunggu kereta), lalu saya dimudahkan dapat SIM Belanda yang terkenal susah dan mahal mendapatkannya. Kemudian tahun 2017 Kitab Nabi Idris alhamdulillah diterbitkan oleh Pustaka Prabajati, suami dapat kerja ke tempat yang baru dengan kenaikan gaji yang signifikan, saya pun dapat tempat dimana saya bisa kerja paruh waktu agar tidak mengganggu jadwal saya mengasuh anak-anak. Tahun 2019 pertama kalinya bisa keluar negeri meninggalkan krucil tiga hari saja karena mengikuti simposium Ibnu Arabi di Oxford. Tahun 2021 pertama kalinya saya bisa ke Indonesia solo tanpa anak-anak. Dua kali pula! Masya Allah. Tidak terbayang sebelumnya. Dan yang penting anak-anak ada yang menangani dengan baik. Bagaimanapun mereka adalah prioritas utama pekerjaan saya. Artinya kalau pekerjaan yang lain berprestasi tapi kepentingan dan pendidikan anak-anak terbengkalai jadi seakan tak ada nilainya. What’s the point? Itu prinsip saya. I have to set my priorities in the right order dengan basmallah.


Sepuluh tahun berselang, sekarang alhamdulillah saya rasakan Allah Ta’ala makin menempatkan saya di koordinat yang semakin pas. Terasa pijakannya teguh. Seperti nama suami saya😉 Itu pentingnya menemukan bidang atau kesibukan yang “gue banget”. Karena kalau belum menemukan itu biasanya kita akan cenderung labil, gampang murang-maring, esmosi jiwa mulu (ini pengalaman pribadi😜). Cape kan hidup seperti itu. Sementara Allah ingin kita bahagia kok. Jadi apa yang menghalangi kita untuk berbahagia dengan takdir dan ketetaoan-Nya? Ya tak lain karena kita sendiri yang belum move-on, yang tidak menerima kehariiniannya, yang kurang mahir dalam memanage apa-apa yang Dia hadirkan. Kita yang menginginkan seribu satu hal selain apa yang tengah Dia sajikan saat demi saat. We are the one who don’t allow ourselves to be happy. It’s on us. It’s our choice.


Belajar dari pengalaman hidup saya. Kunci bahagia itu sederhana sekali. Nikmati apapun yang Dia berikan di hari ini. Itulah gerbang kebersyukuran. Sesimpel tersenyum kepada si kecil yang tiba-tiba menyerbu masuk ruang kerja sementara kita tengah melakukan meeting online. Sesederhana geleng-geleng kepala sambil tersenyum melihat kaos kaki yang berserakan. Don’t sweat small stuff. Just pick it up. Tak perlu mendramatisasi keadaan dengan melabel “kamu ngga pernah perhatian tentang hal ini”. Jadinya darting (darah tinggi) terus. Kasihan badan kita bisa rusak karenanya.


Kalau kita biasa menyikapi “hal-hal yang kecil” dengan sukacita dan hati yang bersyukur maka itu adalah anak-anak tangga untuk mensyukuri hal-hal lain yang lebih besar. 


Karenanya ngga perlu pusing menghadapi hidup. Tentang masa depan anak. Masa depan pernikahan. Masa depan bangsa apalagi jauh jangkauannya. Kan ada Allah. Gusti Allah ora sare kalau kata mbah saya. Kita serahkan saja kepada Dia. Pokoknya yang saya selalu coba lakukan adalah bagaimana memberikan respon yang terbaik di setiap takdir yang dibentangkan dari saat ke saat. And let Allah do the rest. Lebih ringan menjalaninya dan menyenangkan. Tak perlu memikul beban yang tak perlu kita pikul. Just travel light. Insya Allah☺️


Amsterdam, 7 menit awal di saat dini hari 

2 Juli 2023 / 14 Dzulhijjah 1444 H


No comments:

Post a Comment