"Kesedihan adalah kawan karibku..." sabda Kanjeng Nabi Muhammad salallahu 'alaihi wassalam.
Kok sedih jadi kawan karib? Bukankah kita inginnya bahagia? Begitu mungkin akal yang masih diwarnai dengan hawa nafsu bertanya-tanya. Karena hawa nafsu itu yang inginnya semua serba enak, semua serba mudah, kalau perlu tidak ada masalah sedikit pun dalam hidup ini, inginnya senang-senang saja. Tapi apakah itu realistis? Pada kenyataannya kepedihan, tangisan, kehilangan dan kesengsaraan adalah bagian dari hidup.
Ketika Aristoteles, guru dari Aleksander Agung mendengar tentang kematian yang mendatangi Aleksander, maka ia pun menuliskan hal berikut kepada Olympias, ibunda Aleksander,
"...Tidakkah kau tahu bahwa ketika Tuhan Yang Mahaagung, Yang Mahakusa dan Mahatinggi menciptakan dunia ini dan menyelesaikannya, ia berkata kepadanya, “Wahai tempat kesengsaraan, wahai ibu dari kematian, wahai penghalang kebahagiaan dan kesenangan, wahai penghancur kenikmatan, wahai pencerai berai kawan-kawan, wahai kau yang membuat harapan palsu, wahai kau yang mengambil jauh hati, wahai kau yang menarik pemberian-pemberian, saksikanlah bahwa kau akan menangis, kau akan menangis dan kau akan menangis..."
Kesedihan dengan demikian bukan hal yang terkutuk. Dia justru adalah penghias hati mereka yang mencari kebenaran, mencari yang sejati, mencari yang hakiki, mencari-Nya.
Ada keutamaan-keutamaan yang hanya bisa dicecap dengan merasakan kesedihan. Bukankah Tuhan hadir di hati hamba-Nya yang hancur? Bukankah Rasulullah diangkat ke langit ketujuh setelah melalui tahun duka cita, kehilangan orang-orang yang beliau sayangi? Bukankah lautan terbelah ketika Musa dan kaumnya menjerit meminta pertolongan di saat-saat terakhir ketika dihimpit oleh lautan dan pasukan Fir'aun yang bermaksud membantai mereka?
Kesedihan adalah sebuah air yang membasuh kekotoran hati. Yang dengannya semua bongkahan-bongkahan yang memenuhi shadr perlahan-lahan hilang.
Kesedihan membuat kita menjadi melihat hal yang lebih utama dibanding senantiasa tergerus oleh beragam kesibukan sesaat yang tidak ada habisnya.
Kesedihan membuat kita menjadi rendah hati, menyadari posisi diri sebagai makhluk-Nya yang fakir, yang senantiasa membutuhkan pertolongan-Nya, kapanpun dan dimanapun.
Kesedihan bukan berarti menghalangi kebahagiaan. Justru ia berfungsi menyibakkan kebahagiaan-kebahagiaan palsu untuk mulai mengenali kebahagiaan yang sejati.
Kesedihan yang menjadi kawan karib tidak sama dengan menjadi depresif. Karena akar dari kesedihan yang baik itu yang bersumber kepada pencarian kepada-Nya. Dia menjadi sedih tatkala berjauhan dengan-Nya. Menjadi sedih menyadari sekian jauh jarak terbentang antara dirinya dan Sang Pencipta, Dzat Yang Maha Pengasih Maha Penyayang - Ar Rahman Ar Rahiim. Dan hati hanya terpaut kepada-Nya, sudah terlanjur jatuh cinta pada-Nya di pandangan pertama di Alam Alastu, ketika persaksian diangkat "Alastu birabbikum?" - qala "bala syahidna" (QS 7:172). Sejak saat itu tak ada yang bisa memenuhi hati kecuali Dia. Dan manusia terkatung-katung mencari obyek-obyek kecintaan dari satu ke yang lainnya sambil tak pernah merasa terpuasakan sebelum cinta yang hakiki didapatkan.
Kesedihan dengan demikian adalah keniscayaan dalam pencarian kepada yang dirindukan. Dengannya ia sama sekali bukan sebuah keburukan melainkan sesuatu yang indah karena itu menunjukkan sebuah rasa cinta yang telah ada dan selalu ada.
Dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda, “Bacalah Al Qur’an dengan kesedihan, karena Al Qur’an diturunkan dengan kesedihan.” Tentu bukan bermaksud membuat umatnya bermuram durja. Akan tetapi maksudnya Al Quran adalah sebuah berita peringatan dari Allah yang justru berisi kabar gembira. Bahwa hidup di dunia ini bukan satu-satunya kehidupan. Kalau kita belum mendapat apa yang Dia janjikan disini, nanti pasti disana akan didapatkan. Bahwa semua amal akan dibalas setimpal dan Dia Maha Adil. Bahwa tak ada satupun makhluknya yang dizalimi. Bahwa tak ada satupun yang ditimpakan melebihi kapasitas pikul seseorang. Bahwa jangan pusing dengan rezeki, karena bagi yang beriman dan beramal shalih maka rezeki akan diturunkan dari langit dan dari bumi yang dipijak. Dan banyak kabar gembira dan peringatan dari Allah di dalamnya, tapi sedikit dari manusia yang kemudian memerhatikan dan mengikuti apa yang Allah serukan. Sehingga mereka terjebak oleh ilusi kesenangan hidup di dunia akan tetapi hatinya merana. Na'udzubillahimindzaalik.[]
No comments:
Post a Comment