Tuesday, November 7, 2023

 Kembali ke Belanda.

Disambut cuaca dingin musim gugur.

Hujan dan angin adalah warna keseharian negeri ini

Tak heran, menikmati hangatnya terpaan sinar matahari adalah hal yang mewah disini.


Kembali ke negeri dimana suara adzan tak terdengar.

Waktu shalat berubah-ubah drastis seiring dengan perubahan sumbu perputaran bumi terhadap matahari.


Keadaan alam yang berbeda dengan setelan waktu shalat yang relatif konstan sepanjang tahun di Indonesia.

Masjid tersebar dimana-mana yang mengumandangkan panggilan “shalat lebih baik daripada tidur” di pagi buta.

Musholla mudah didapatkan sehingga berbagai aktivitas kita di luar terwarnai oleh saat-saat tertentu ketika seseorang meninggalkan apapun yang dia lakukan untuk bersimpuh dan bersujud di hadapan Sang Pencipta.


Di negeri ini memang segala hal tampak demikian rapi. Jalanan yang tak berlubang. Relatif tak ada kemacetan. Lingkungan yang bersih dan tertata rapi. Sistem sosial ekonomi yang melindungi warganya. Sebuah tatanan kenyamanan duniawi yang nyata.

Tapi…

Saya merasakan sebuah kerapuhan.

Ada kekosongan yang coba diisi oleh sekian ragam kesibukan kehidupan.


Disini orang mulai meninggalkan Tuhan.

Membicarakan Dia adalah hal yang seperti dianggap memalukan kalau tidak tabu.

Dan kehidupan akhirat? Oh, itu seperti sesuatu yang aneh. Tidak nyata.

Carpe diem. Kata mereka.

Nikmati kehidupan yang hanya sekali ini.

Tapi…

Mereka lupa bahwa hidup di dunia ini bukan kehidupan satu-satunya.


Pandemi yang disebabkan Coronavirus kemarin sempat menjadi pengingat.

Betapa rentannya kehidupan.

Bahwa kematian adalah sesuatu yang sangat dekat, terlalu dekat.

Tapi lepas dari wabah itu. Manusia sudah lupa lagi. Demikian mudahnya terseret dalam sekian rentetan kesibukan yang tak bertepi.

Mengejar kenyamanan, memastikan keturunan hidup baik, mengamankan semua aset dunianya. Semua hal dikerahkan untuk hal-hal yang dia akan tinggalkan saat kematian datang menjemput.


Di situ saya menjadi miris.

Duh Gusti, seandainya mereka tahu betapa berharganya hidup dan beramal shalih untuk bekal mereka di alam berikutnya.

Ya Allah, seandainya mereka tahu nilai sebuah sujud dalam shalat.


I have nothing but love for them ❤️ 

Mendoakan wajah-wajah asing yang saya temui di jalanan, di pasar, di tempat-tempat umum.

Menyelipkan shalawat di pesanan makanan mereka.

Apapun yang mudah untuk saya lakukan.

Karena saya percaya pada kekuatan doa.

Itu adalah ruang dan sumbu yang menghubungkan antara bumi dan langit. Antara kehidupan yang fana dengan Kuasa-Nya yang tak terbatas.


Mungkin ada alasannya kenapa saya dilahirkan di negeri timur dan sempat dicelup oleh warna ketuhanan. Untuk kemudian berkelana dan bertugas di barat yang kering spiritualitas. Tak lain hanya menyisakan remah-remah. Dan jiwa-jiwa manusia yang kelaparan.


Setidaknya saya harus menjadi mercusuar bagi keluarga kecilku, anak-anak yang terlahir dengan fitrah dan mesti dijaga sebaik mungkin.

Setidaknya saya menyentuh orang-orang sekitar, tetangga, rekan kerja, komunitas tertentu yang Allah mudahkan untuk menjangkaunya. Mengingatkan kembali tentang Tuhan.

Agar manusia tidak kelu lidahnya untuk sekadar menyebut nama-Nya.

Karena manusia fitrahnya mencari Tuhan.

Ada yang sadar itu, ada yang pura-pura tak tahu, ada yang takut, dan banyak yang tenggelam oleh alam ilusi dunia.


Jalaluddin Rumi berkata, “Dimanapun kau berada, jadikah cahaya di tempat itu”


Cahaya yang menyibakkan kegelapan.

Cahaya yang menuntun manusia kembali pada Sang Sumber Cahaya.

Cahaya yang mengingatkan bahwa setiap kita terlahir dengan membawa modal cahaya itu.


Membawa manusia dari kegelapan menuju cahaya.

Dengan izin dan pertolongan-Nya.

Insya Allah.


Amsterdam, 8 november 2023/24 Rabi’ul Akhir 1445 H

3.55 dini hari

No comments:

Post a Comment