Sejak SMP entah kenapa kalau dengar lagu-lagu natal seperti "White Christmas" atau "Have Yourself A Merry Little Christmas" itu senang sekali, rasanya "feels at home". Aneh, padahal saya tidak dibesarkan di lingkungan yang memperdengarkan lagu-lagu natal seperti itu, tapi begitu sekali mendengarnya hati langsung terpaut kepada semacam realita tertentu yang pada saat itu belum terjadi. Ah, sulit menggambarkannya dengan kata-kata.
Fast forward, 30 tahun kemudian saya mulai paham kenapa fenomena itu terjadi. Karena di saat musim dingin dan mendekati natal seperti ini radio-radio di Belanda memainkan lagu-lagu natal. Ketika saya mendengarnya, saya entah tengah berada di mobil mengantarkan anak-anak les, atau sedang di rumah dengan keluarga. And yes, that feeling again, i recognize that. I feel at home...
Hidup itu seperti mimpi memang. Dalam dunia mimpi kita bisa terbang dari satu fase kehidupan ke fase kehidupan yang lain. Dalam dunia mimpi, anything is possible. Tapi mimpi adalah mimpi. Dia bukan dunia nyata. Mimpi adalah dunia yang tengah dibentangkan perlahan-demi perlahan untuk pada saatnya digulung kembali. Gone, vanish...
Dan saya ingin mengenal dunia nyata. Sebuah kehidupan yang tak mengenal akhir. Karena akhir itu menyakitkan. Seperti ketika saya mengalami akhir perjumpaan dengan ayah saya yang pergi ke alam lain melewati gerbang kematian. Makanya dalam agama saya menemukan ketenangan, karena khazanah agama adalah satu-satunya yang memberi keterangan dengan kehidupan setelah kematian. Hingga saya punya harapan untuk bertemu ayah saya lagi, tidak hanya itu. Saya meyakini jiwa ayah saya masih ada, dia menjalani kehidupan di alam barzakh, alam antara sebelum alam lain yang jauh lebih panjang usianya. Agama memberikan saya harapan itu.
Kembali tentang pengalaman masa kecil dan realitanya di masa depan. Saya percaya Allah Sang Pencipta dan Designer semesta kehidupan ini menyimpan hal-hal di masa lalu kita sebagai petunjuk atau hints akan apa yang akan kita hadapi dan kita lakoni di masa depan. Maka penting untuk membaca masa lalu dan masa kecil kita untuk memahami diri dan fungsi kita sendiri. Keping-keping puzzlenya berserakan di sana. Kita tinggal kumpulkan dan rangkaikan satu persatu dengan bismillah dan telaten. Dengannya kita bisa mulai melihat gambaran diri kita secara utuh, termasuk kenapa dibuat melampaui sekian takdir kehidupan dengan segala suka-duka, hitam-putih, tangis-tawa. It all come in one package. Hingga kita bisa bersaksi dengan sebenar-benar persaksian bahwa apapun yang Allah takdirkan itu tidak sia-sia. Apapun itu...
No comments:
Post a Comment