Friday, September 18, 2020

 GENGSI


Keinginan liar itu yang seringkali menjadi sumber kesengsaraan kita. Disebut liar karena tidak berpijak pada keadaan dan kenyataan yang ada. Karena ingin dihormati, ingin dipandang sukses, ingin dianggap suci, ingin terkenal, ingin dihargai, dsb sambil diraih dengan memoles sedemikian banyak bedak dan kosmetik ke dalam wajah kehidupan kita sedemikian rupa untuk kepentingan “show” agar mengagumkan dalam pandangan orang. Demikian tebalnya kosmetik itu hingga dirinya tidak mengenali wajahnya sendiri. Ia melarutkan diri di dalam ramuan apa kata orang, apa kata dunia.

Seiring dengan itu kita mulai meracuni diri sendiri dengan berbagai pikiran:
“Gengsi dong, masa dokter mobilnya itu!”
“Gengsi dong, masa anaknya orang sukses ngga bisa mengimbangi orang tuanya!”
“Gengsi dong, masa direktur rumahnya disitu!”
“Gengsi dong, masa lulusan perguruan tinggi terkenal hanya kerja begitu!”

Rasa gengsi yang dituruti ini yang biasanya membawa malapetaka dalam hidup. Seperti kisah miris yang dituliskan oleh Guy de Maupassant, seorang penulis Perancis yang hidup pada tahun 1850 hingga 1893. Ceritanya tentang seorang perempuan bernama Matilda yang berasal dari keluarga menengah. Sudah sekian lama ia bergulat dengan dirinya sendiri, dengan perasaan rendah diri dan malu karena melihat dirinya tidak sesukses teman-temannya yang lain. Sungguh sebuah perasaan yang merusak hari-harinya, sedemikian rupa ia pupuk perasaan itu hingga menimbulkan kemarahan yang membara, yang membuatnya semakin sulit untuk menerima keadaan kehidupannya sendiri.

Suatu hari Matilda menerima undangan untuk menghadiri sebuah pesta yang biasanya dihadiri oleh orang-orang yang kaya dan terpandang di kota itu. Matilda selalu ingin menjadi bagian dari orang-orang itu, yang ia anggap sebagai sebuah pencapaian kesuksesan. Matilda tentu ingin sekali menghadiri pesta tersebut, tapi ia tidak memiliki perhiasan untuk dikenakan sebagai simbol sebuah status tertentu.

Berhari-hari Matilda menangis meratapi nasibnya, sang suami pun tak berdaya memenuhi keinginannya untuk membeli perhiasan karena keadaan ekonomi yang tidak memungkinkan. Matilda sempat berpikir untuk tidak menghadiri pesta itu. Ia mutung.
Akhirnya tercetus sebuah ide untuk meminjam perhiasan intan dari teman dekatnya. “Semalam saja, nanti dikembalikan.” Demikian ujar Matilda penuh harap. Sang teman yang baik hati tak sampai hati menolak permintaan itu. Akhirnya malam itu Matilda menghadiri pesta dengan dagu diangkat tinggi-tinggi untuk memerlihatkan kepada dunia bahwa ia mengenakan perhiasan berbalut intan permata. Untuk beberapa lama Matilda demikian tenggelam dalam dunia yang ia selama ini impikan, untuk sekian lama ia menjadi bagian dari “warga kelas atas”.

Tapi, hal itu tidak berlangsung lama. Malam itu, tiba-tiba Matilda menyadari bahwa kalung perhiasan pinjaman dari temannya itu hilang, tak lagi menempel di lehernya! Rasa panik menyelimuti Matilda di penggal terakhir pesta, upayanya mencari kalung tak membuahkan hasil. Ia seperti lenyap ditelan bumi.

Matilda pulang menangis tersedu-sedu. Untuk memberitakan kepada temannya bahwa kalung itu telah hilang bukan pilihan baginya, rasa gengsi sekali lagi menyelubungi pikirannya untuk mengatakan apa adanya. Lalu apa yang Matilda dan suaminya lakukan? Mereka membeli kalung yang serupa dari toko perhiasan yang terkemuka seharga 40.000 franc. Jumlah uang yang sangat fantastis bagi mereka hingga mereka harus menguras tabungannya dan meminjam uang yang dikembalikan dalam jangka waktu 10 tahun. Selama satu dekade itu Matilda dan suaminya habis-habisan bekerja untuk mengembalikan utang dan tidak bisa menikmati gaya hidup yang sebelumnya mereka miliki.

Sepuluh tahun telah berlalu, selama kurun waktu itu Matilda selalu punya alasan untuk tidak bertemu temannya yang telah meminjami ia kalung. Rasa malu, bersalah, kesal dll tidak bisa ia tutupi. Maka Matilda memilih untuk tidak bertemu saja. Padahal mereka pernah menjadi teman baik. Akhirnya, setelah utangnya lunas Matilda mulai berani untuk mengunjungi kembali teman lamanya ini.

“Akhirnya, kamu berkunjung juga. Lama sekali kita tidak bersua. Penampilanmu sekarang berbeda Matilda.” Kata temannya mengungkapkan rasa senang bercampur aneh dan sedikit kegetiran melihat penampilan Matilda.

“Ya, gara-gara kamu aku jadi sempat sengsara selama 10 tahun.” Sahut Matilda.

“Lho, kok gara-gara aku? Memangnya apa yang terjadi?”

Matilda pun menceritakan kejadian kalung yang hilang 10 tahun lalu dan bahwa sebenarnya ia dan suami membeli kalung baru yang serupa dengan kalung pnnjaman itu tapi karenanya harus bekerja keras banting tulang 10 tahun lamanya.

Mendengar penututan Matilda, meledaklah tawa sang teman, “Ya ampun, Matilda. Jadi, kamu membelikan kalung intan asli untukku? Tahu ngga, kalau kalung yang kamu hilangkan itu sebenarnya imitasi dan harganya tidak lebih dari 500 franc!”

Matilda melongo. Membayangkan 10 tahun yang ia jalani dalam sebuah penderitaan yang sia-sia. Sebuah harga yang mahal untuk membayar sebuah rasa gengsi.[]


No comments:

Post a Comment