Friday, September 11, 2020

'Surviving' Corona


Dua hari setelah sekolah mengumumkan ada orang tua murid teman sekelas anak saya yang terkena Corona di malam hari dia muntah sekali. Tidak ada demam atau diare yang menyertai. Awalnya saya pikir masuk angin biasa karena perubahan suhu yang tiba-tiba dingin dan berangin kencang walaupun masih terhitung musim panas. Tapi, atas pertimbangan ada kemungkinan kontak dengan anak yang bisa jadi tertular Covid-19 maka kami putuskan untuk membawanya tes. Caranya mudah, tinggal telp, menyebutkan nomor penduduk, identitas diri dan boleh memilih tempat tesnya dimana, juga gratis. Jika kita naik mobil kesana bahkan tak perlu turun dari mobil (drive thru).  Dalam waktu 48 jam hasil tes akan diberitahu lewat telepon apakah negatif atau positif. Jika positif, akan mendapat email berisi instruksi lanjutan prosedur karantina. Dan setiap beberapa hari ada orang dari GGD - lembaga yang mengawasi penyakit menular - menelepon untuk memeriksa riwayat kontak dan perkembangan kondisi ybs serta orang yang serumah. 


Di luar dugaan hasil tes anak saya positif. Tadinya saya pede akan negatif, karena anak konon cenderung tidak menularkan. Tapi ya, it is what it is. Tiba-tiba kami sekeluarga harus melakukan swakarantina, tak boleh keluar rumah selama 18 hari sejak anaknya menunjukkan gejala.


Dua hari pertama adalah yang paling berat. Karena setiap kami bersin atau batuk saja pikiran langsung melayang, "Aku kena Corona barangkali?" It's a beginner's paranoia. Belum lagi ditambah anaknya yang nangis tersedu-sedu di hari pertama menjalani isolasi. Merasa kesepian, karena selama 7 hari dia harus berdiam dan melakukan semua aktivitas di kamarnya. Hanya boleh keluar kamar jika perlu ke wc.


Banyak hal terjadi dalam dinamika karantina. I will save that for another chapter😉 to make the story short, saat ini alhamdulillah kami baik-baik saja. Anak saya sudah kembali bersekolah, walau sempat ditunda tiga hari karena tidak berani ke sekolah sendiri. Maklum kebiasaan diantar mamanya. Sedangkan saya tidak bisa antar karena masih harus dikarantina. Untungnya Allah mendatangkan lagi pertolongan tak terduga. Ibu dari sahabat anak saya menawarkan bantuan untuk antar jemput. Alhamdulillah. Benar kiranya, dimana ada masalah pasti jalan keluarnya sudah Allah sediakan tinggal sabar dan cermat mencari jalannya.


Aside from that, saya mau berbagi fenomena-fenomena mengharukan lain. Saat dalam keadaan disempitkan begini dan tidak boleh keluar bahkan untuk belanja. Tiba-tiba tawaran untuk dibantu belanja datang dari tetangga dan teman-teman. Sama sekali tak terduga. Bahkan ada yang menawarkan bakso ala GM dikirim langsung dari pusat kota Amsterdam! 


Terharu sekali melihat teman-teman bersepeda bahkan ada yang berjalan jauh demi mengantarkan beberapa kantung belanja kebutuhan sehari-hari kami. 


Terharu melihat kartu-kartu ucapan yang dikirim oleh teman-teman sekelas kedua anak saya. Juga dari teman-teman kami.


Terharu mendapat dukungan dari tetangga sebelah rumah yang jika saya keluar rumah sebentar untuk membuang sampah, dia selalu menyemangati , "Komt goed hoor!" Alias it will be okay. Dengan senyum khasnya yang manis menyeruak diantara keriput kulit yang menampakkan kewibawaan.


Sekali lagi Allah menampilkan kuasa-Nya lewat segenap ciptaan-Nya. Sebuah pelajaran berharga untuk keluarga yang sedang mengembara jauh dari sanak saudara, entah itu ke kota yang lain, ke pulau yang berbeda atau ke negeri seberang. Kita tuh sebenarnya tak perlu merasa kesepian. Memang keluarga kita jauh. Tapi Tuhan yang sama yang menciptakan keluarga kita di kampung halaman punya kuasa untuk menciptakan keluarga-keluarga lain untuk kita di bumi-Nya yang manapun.


Toh keluarga bukan sekadar didefinisikan oleh sebuah hubungan darah. Siapapun yang tulus membantu kita otomatis jadi keluarga. Cause it's not blood that makes you family, it's love. ❤

No comments:

Post a Comment