Wednesday, September 9, 2020

Bencana & Spiritualitas


Ada penelitian yang meninjau literatur dari tahun 1978 sampai 2019. Literatur yang dibaca juga tidak main-main, berasal dari website yang bereputasi seperti PubMed, Medline, Springer, Elsevier, Science Direct,  dll baik dalam Bahasa Inggris dan bahasa lain. Mereka mencari artikel yang memiliki kata kunci "spirituality", "prayer" dan "some religious advice were assessed in times of crisis."


Kesimpulannya?


Sepertinya spiritualitas dapat membantu orang dalam melalui situasi krisis dan bahaya.

Dalam menghadapi wabah Covid-19 ini juga dianjurkan kepada para tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit untuk memerhatikan lebih aspek spiritualitas dan agama agar lebih tenang dalam menjalaninya.


Okay, let sink that in for a moment...


Orang lebih 'mudah' dibuat tunduk saat menghadapi bencana alam seperti wabah yang kita tengah hadapi sekarang, atau gunung meletus, atau tsunami, atau gempa. Mudah tunduk karena terlihat 'tangan Tuhan' yang menggerakkan itu semua. Rasanya musykil membayangkan manusia dengan ditempel teori konspirasi apapun mampu untuk menimbulkan bencana dengan skala sedemikian besar. 


Ya, kita akan dibuat bertekuk lutut ketika dihadapkan dengan fenomena alam yang dahsyat. Yang di saat itu bahkan seorang atheis pun akan mulai menjerit, "God, or whatever You are outthere... please help!" 


Akal kita mengatakan, fenomena sedahsyat itu pasti Dia yang mendatangkan. Tapi, apa iya Dia yang bisa menghadirkan kejadian spektakuler seperti itu tidak berkontribusi dalam menghadirkan sebuah fenomena keseharian?


Kita dengan mudah bisa mengaitkan sebuah bencana alam dengan kuasa Tuhan, tapi pada saat yang sama masih kesulitan untuk melihat bahwa Tuhan yang sama juga yang menghadirkan rekan kerja yang menyebalkan itu, resesi ekonomi, jualan yang ngga laku,  bisnis yang gagal, pasangan yang bikin makan ati, mantan pasangan yang bikin pusing kepala, pekerjaan yang orang anggap ngga keren, situasi rumah tangga yang bikin sesak nafas, kelakuan anak yang bikin pusing tujuh keliling, ada wanita idaman lain atau pria idaman lain, fitnah dan cacian orang yang tak ada habis-habisnya. Semua itu hadir, apa mungkin God has nothing to do with it?


Nah, kita mulai mengangguk...


Tapi pertanyaan berikutnya. Kalau memang Tuhan mengizinkan sebuah derita terjadi, mengizinkan sebuah kesulitan menghimpit, mengizinkan sebuah kepayahan menimpa. Lantas apa maksudnya?


And that is the one million dollar question. A question worth to ask.  Patut diberi ruang untuk direnungkan di sekat-sekat diri masing-masing. Mungkin butuh waktu bertahun-tahun bahkan seumur hidup untuk mencernanya. But at least we start somewhere.


Agar kita bisa berdamai dengan episode hidup kita sekelam apapun itu. Agar kita bisa menjadi paham bagaimana Dia mengorkestrasikan segenap kehidupan kita sejak lahir hingga mati nanti. Karena hanya dengan pemahaman itu kita menjadi lebih bersuka cita dalam menjalaninya.


Saya tutup tulisan ini dengan sebuah pertanyaan lain. Jika Adam memang diciptakan untuk meraih kebahagiaan surga. Kenapa beliau harus diturunkan ke dunia, terpisah bertahun-tahun dengan kekasihnya di dunia benua yang berbeda. Mengalami kesulitan di dunia, disulitkan oleh kelakuan anak-anaknya dsb. Kenapa tidak berikan saja semua yang beliau inginkan di surga. And live happily ever after...


Why?


Saya tahu, pertanyaan itu membawa perasaan tidak nyaman. Tapi kadang jiwa perlu dibangunkan oleh sebuah rasa ketidaknyamanan agar ia bangkit dari tidur panjangnya.


"The unexamined life is not worth living" - Socrates

No comments:

Post a Comment