Tuesday, September 29, 2020

 Hidup itu harus mengalir, untuk bisa mengalir kita harus fleksibel. Open up for a change of plan. Saya belajar itu hari ini. Saat jemput anak-anak, biasanya kami bergegas pulang. Waktu antara bubaran sekolah jam 15.15 sore hingga makan malam jam 18.00 sore itu cepat sekali. Karena padat diisi dengan kegiatan membantu anak-anak mandi, merapikan cucian dan memasak. Jadi saya tidak pernah janjian sama seseorang diantara jam itu, karena kegiatannya sangat padat. Tapi hari ini berbeda, saya khusus menyediakan waktu untuk perempuan ini walaupun dengan konsekuensi acara memasak agak terlambat. 


Sebutlah namanya Evy, seorang single mother dengan satu anak laki-laki. Saat bubaran sekolah tadi saya tak sengaja mendengar dialog antara dia dengan anaknya. 


“Where are we going now mom?”

“I don’t know sweetie, we still have two hours before your swimming lesson.”


Rumah mereka terbilang jauh, jadi biasanya jika ada waktu luang sebelum melakukan kegiatan ekstrakurikuler mereka suka keliling entah ke toko atau bermain di taman sekitar.


Saat Evy melihat kiri dan kanan masih mencoba mencari jawaban untuk anaknya, ia melihat saya. Dan saya paham saat itu bahwa dia ingin mengajak Rumi, anak saya yang sekelas dengan anaknya itu ikut main bersama. Tapi kan budaya orang Belanda sungkan kalau ngajak sesuatu dadakan. Dan sebenarnya saya terbilang tidak punya waktu untuk menemani mereka bermain, tapi entah kenapa saat itu saya rasa dia betul-betul butuh teman. Akhirnya saya kabari suami bahwa saya dan anak-anak akan terlambat, juga makan malam akan terhidang agak terlambat hari ini. 


Di luar dugaan Evy sangat terbuka bicara tentang kesulitan yang dihadapinya, tentang pekerjaannya yang tak menentu karena terkena dampak pandemi, tentang ayah dari anaknya yang tidak mau sama sekali menemui bahkan kontak dengan anak lelakinya, dan tentang pergulatan yang dialami anak lelakinya itu merasa diabaikan (abandoned) oleh ayahnya. Anak ini jadi banyak berulah, kadang masih ngompol, lonjakan emosinya kerap tak terkendali. Evy sudah berupaya membawa anaknya dalam penanganan psikiater anak. Tapi tidak ada yang menggantikan kehadiran seorang ayah dalam hidup anaknya. Evy kerap menitikkan air mata jika anaknya yang baru berusia enam tahun itu menangis dan berkata, “My father doesn’t want me.” It’s painful to hear your child say that. Saya pun menunduk dalam-dalam. Tidak tahu harus bilang apa. 


Dalam keadaan yang sangat menyakitkan seperti itu kadang tidak pada tempatnya kita memberikan wejangan-wejangan dan ceramah motivasional. Sometimes all the other want to hear is “It’s tough”, yaitu kita akui itu berat. Dan pengakuan itu somehow magically put  the other person into a recognition spot. Dia merasa dilihat, diakui. Selebihnya semesta akan punya jalan untuk memompakan kembali semangat kepada dia, sometimes even effortlessly.


Kami berpisah tak lama kemudian. Tampak Evy lebih ringan hatinya setelah bisa curhat. Dia bilang “Thank you”, tapi tampaknya saya yang seharusnya mengatakan terima kasih kepadanya. Untuk mengingatkan bahwa kita semua punya medan perjuangannya masing-masing dan bersyukurlah dengan apa yang ada. My – what so called – struggle as a mom tampak menjadi tak ada apa-apanya dibanding perjuangan dia mengurus anak sendirian dengan keluarga jauh di negara lain. Terima kasih Evy, semoga Tuhan melapangkan jalan kebahagiaanmu.

No comments:

Post a Comment