Monday, September 21, 2020

 

Bapak tua itu datang lagi malam ini. Tampaknya memang setiap akhir pekan dia biasa beli makanan di luar. Setiap kali selalu dengan nadanya yang ketus dan sama sekali tak bersahabat dan suara parau seperti suara seorang perokok berat.

Para crew restoran sudah mafhum dengan tabiatnya. Beliau bisa naik pitam hanya gara-gara hal sepele. Yah sudah terima saja, hitung-hitung latihan sabar.

Tapi malam ini sebuah keajaiban terjadi. Sayalah yang kebagian menyerahkan pesanan kepada beliau. Terus terang agak deg-degan dan sudah pasang kuda-kuda kalau disemprot dengan energi negatifnya😅.

Dengan senyuman dan berusaha sesopan mungkin saya berikan pesanan beliau sambil tak lupa menyapa beliau "Goedenavond" alias selamat malam. Dan diduga beliau membalas dengan anggukan dan senyuman. Iya, senyuman! It was really a slow motion moment for me and also jaw dropping experience. Kolega saya yang ikut menyaksikan hal ini sampai geleng-geleng kepala sambil bilang, "He never smile! EVER!"

Saya jawab dengan lagu, "There can be miracle when you believe..." 🧚‍♀️Maklum, hobi menyanyi sejak kecil masih terbawa sampai sekarang.

Saya belajar melalui pengalaman hidup beberapa kali menemukan individu-individu unik seperti ini. Orang yang galak, ketus, masam muka, mudah marah dan bentak-bentak di depan umum itu biasanya terjadi karena mereka punya isu-isu dalam kehidupan mereka yang belum tuntas, ia masih mengganjal. Seperti kerikil-kerikil yang mengisi sepatu dan membuat langkah kita tidak nyaman. Saat orang tidak merasa nyaman dengan dirinya  lantas bagaimana mungkin dia bisa menampilkan wajah yang cerah? Apalagi baik terhadap orang lain.

Maka kemarahan, kekesalan, sifat galak yang muncul bahkan marah-marah sama orang itu sebenarnya hanya proyeksi dari kemarahan dia kepada dirinya sendiri atau kekesalannya pada situasi kehidupan yang belum dia terima dengan ikhlas. Hal ini bisa terjadi kepada siapa saja dan kerap tanpa disadari.

Saya percaya orang pada dasarnya baik. Tapi kemudian apa yang muncul ke permukaan sebagai sikap, raut wajah dan akhlak adalah hasil dari bagaimana ia memproses dan merespon alamnya masing-masing.

Maka, hal terbaik menghadapi "toxic individual" seperti itu adalah dengan memberi penawarnya yaitu berupa sifat kasih sayang. It's the only way. Karena kalau kita ikut muring-muring, ikut terpancing emosi bahkan kemarahan. Itu seperti kita membuka diri kita teracuni oleh polutan yang dia bawa. Jadinya sebelas dua belas. Tidak ada kebaikan yang dapat dituai dari sebuah pertikaian dan memendam kekesalan apalagi dendam kepada orang. Itu hanya meracuni diri kita sendiri. Penyakit yang daya tularnya jauh lebih tinggi dibanding Covid-19, karena tanpa ada di satu ruangan bahkan di dua benua yang berbeda pun kita bisa tertular penyakit negatifnya.

I have learned another lesson last night to always try to bring out the best in you. Especially when dealing with difficult person. Just like Platon said, "Be kind. Everyone you meet is fighting a hard battle."

No comments:

Post a Comment