Wednesday, September 9, 2020

 

Kisah Nabi Ayyub as yang diuji Allah dengan kehilangan anak, istri, harta dan dibuat rusak tubuhnya bukan hal yang asing bagi kita. Kita bisa mengenal beliau adalah seorang nabi berdasarkan informasi dari kitab-kitab suci. Tapi jika kita hidup sezaman dengan beliau, apakah kita termasuk yang dapat beriman kepada kenabian beliau atau ikut yang lain untuk mencacinya? Bahkan para muridnya pun saat itu mempertanyakan beliau dengan berkomentar, “Barangkali ada dosa yang engkau belum istighfari.”

Sang Nabi tidak bergeming, beliau tahu ini bukan saatnya menyampaikan klarifikasi kepada siapapun. Karena beliau sadar bahwa ini adalah urusan Allah yang tengah dimanifestasikan di semestanya. Hal yang sebenarnya berawal dari pertanyaan Iblis kepada Allah, bahwa pantas saja seorang Ayyub bisa bersyukur kepada-Nya karena ia memiliki semuanya. Tapi Allah menolak persangkaan itu dengan berkata bahwa jika diambil apapun dari hamba-Nya Ayyub, tetap ia akan memuja-Nya dengan sepenuh hati. Maka mulailah makar itu, Ayyub diberitahu tentang hal tersebut, bahwa semua yang Allah berikan akan diambil. Saat itu hanya satu saja permohonan Ayyub sang Nabiyullah, “Tolong ya Allah sisakan hatiku dan lisanku. Agar dengannya aku masih bisa berdzikir kepadamu.” Beliau rela diambil apapun, asal disisakan hati dan lisan yang bisa berdzikir. Masya Allah.

Maka ketika ujian itu bergulir, satu persatu miliknya yang ia sayangi mulai hilang dari sisinya. Orang mulai mencemooh, mencaci, lari darinya dan memfitnah. Barangkali di benak mereka, nabi macam apa ini? Lebih mirip seperti orang yang terkena kutukan dibanding seorang nabi. Demikian besar fitnahnya, kalaupun kita ada di masa itu jangan-jangan kita termasuk yang melempar cacian kepadanya. Na’udzubillahimindzaalik.

Salah satu pelajaran penting dari kisah Nabi Ayyub as adalah. Bahwa dalam penggal hidu akan ada masanya kita menerima cacian, ejekan, dan fitnah. Ketika kita ada di saat itu, apapun yang kita lakukan akan dibaca salah saja. Bahkan sebuah pembelaan yang baik pun akan didengar sebagai sebuah suara yang sumbang. Jika ini terjadi maka saatnya sabar dan taqwa. Itu kunci agar semua cacian itu tidak mendatangkan madharat bagi kita. Karena justru yang menimbulkan keburukan sering kali justru karena respon kita akan hal itu yang terpancing emosi.

Jika episode fitnah itu datang, jalani dengan sabar. Pada saatnya Allah akan membuka pintu-pintu klarifikasi. Tapi sambil menunggu saat itu datang, yang lebih utama dibanding sekadar sebuah klarifikasi adalah justru bertumbuhnya pohon sabar dan taqwa di hati kita. Karena jika itu telah tumbuh maka seperti dalam peristiwa Ayyub, Allah akan mengalirkan mata air penyembuhan yang muncul dari bawah telapak kakinya sendiri. Artinya solusi semua permasalahan itu akan tidak jauh dari dunia kita. Hanya belum Allah bukakan saja. Dengan kata lain kita harus belajar menelan pil pahit dalam kehidupan agar jiwa kita menjadi dewasa. Wallahu’alam[]



No comments:

Post a Comment