Kisah Nabi Ayyub as yang diuji Allah dengan
kehilangan anak, istri, harta dan dibuat rusak tubuhnya bukan hal yang asing
bagi kita. Kita bisa mengenal beliau adalah seorang nabi berdasarkan informasi
dari kitab-kitab suci. Tapi jika kita hidup sezaman dengan beliau, apakah kita
termasuk yang dapat beriman kepada kenabian beliau atau ikut yang lain untuk mencacinya?
Bahkan para muridnya pun saat itu mempertanyakan beliau dengan berkomentar, “Barangkali
ada dosa yang engkau belum istighfari.”
Sang Nabi tidak bergeming, beliau tahu ini
bukan saatnya menyampaikan klarifikasi kepada siapapun. Karena beliau sadar bahwa
ini adalah urusan Allah yang tengah dimanifestasikan di semestanya. Hal yang
sebenarnya berawal dari pertanyaan Iblis kepada Allah, bahwa pantas saja seorang
Ayyub bisa bersyukur kepada-Nya karena ia memiliki semuanya. Tapi Allah menolak
persangkaan itu dengan berkata bahwa jika diambil apapun dari hamba-Nya Ayyub,
tetap ia akan memuja-Nya dengan sepenuh hati. Maka mulailah makar itu, Ayyub
diberitahu tentang hal tersebut, bahwa semua yang Allah berikan akan diambil. Saat
itu hanya satu saja permohonan Ayyub sang Nabiyullah, “Tolong ya Allah sisakan
hatiku dan lisanku. Agar dengannya aku masih bisa berdzikir kepadamu.” Beliau
rela diambil apapun, asal disisakan hati dan lisan yang bisa berdzikir. Masya
Allah.
Maka ketika ujian itu bergulir, satu
persatu miliknya yang ia sayangi mulai hilang dari sisinya. Orang mulai
mencemooh, mencaci, lari darinya dan memfitnah. Barangkali di benak mereka,
nabi macam apa ini? Lebih mirip seperti orang yang terkena kutukan dibanding
seorang nabi. Demikian besar fitnahnya, kalaupun kita ada di masa itu jangan-jangan
kita termasuk yang melempar cacian kepadanya. Na’udzubillahimindzaalik.
Salah satu pelajaran penting dari kisah
Nabi Ayyub as adalah. Bahwa dalam penggal hidu akan ada masanya kita menerima
cacian, ejekan, dan fitnah. Ketika kita ada di saat itu, apapun yang kita
lakukan akan dibaca salah saja. Bahkan sebuah pembelaan yang baik pun akan
didengar sebagai sebuah suara yang sumbang. Jika ini terjadi maka saatnya sabar
dan taqwa. Itu kunci agar semua cacian itu tidak mendatangkan madharat bagi
kita. Karena justru yang menimbulkan keburukan sering kali justru karena respon
kita akan hal itu yang terpancing emosi.
Jika episode fitnah itu datang, jalani
dengan sabar. Pada saatnya Allah akan membuka pintu-pintu klarifikasi. Tapi
sambil menunggu saat itu datang, yang lebih utama dibanding sekadar sebuah klarifikasi
adalah justru bertumbuhnya pohon sabar dan taqwa di hati kita. Karena jika itu
telah tumbuh maka seperti dalam peristiwa Ayyub, Allah akan mengalirkan mata
air penyembuhan yang muncul dari bawah telapak kakinya sendiri. Artinya solusi
semua permasalahan itu akan tidak jauh dari dunia kita. Hanya belum Allah
bukakan saja. Dengan kata lain kita harus belajar menelan pil pahit dalam
kehidupan agar jiwa kita menjadi dewasa. Wallahu’alam[]
No comments:
Post a Comment