BELAJAR BERTASBIH
Sejak kecil saya sudah diajarkan melafalkan tasbih subhanallah. Otomatis saya pun bertumbuh dengan menjalankan ritual ini dengan mengucapkan dzikir setelah shalat. Tapi kalau boleh jujur saya baru benar-benar belajar bertasbih dan mulai menghayatinya jelang usia 40-an tahun.
Saya baru paham bahwa tasbih bukan sekadar bermakna "Maha Suci Allah", tapi bagaimana agar dzikir itu juga berdampak pada keseharian saya. Dalam Al Qur'an dikatakan burung-burung bertasbih dengan mengembangkan sayapnya. Hebat sekali ya saya pikir. Hal yang nampaknya biasa bagi kita namun toh dinilai sebagai bertasbih di mata-Nya. Sedang saya? Kerja saya Usaha saya? Segenap kesibukan saya apakah patut dibilang bertasbih? Jangan-jangan penghambaan saya kalah dibanding seekor burung.
Saya mulai mengevaluasi ulang pemaknaan tasbih saya terutama setelah diamanahi mengurus dua bocah cilik yang sempat berkali-kali dibuat pontang-panting dan bertekuk lutut karenanya. Hal yang saya pahami dengan mengurua anak adalah bahwa dunia saya menjadi berputar di sekitar mereka. Saya menunda rencana kuliah S2 demi mereka. Saya memilah pekerjaan demi mereka. Saya tak segan-segan membatalkan semua kegiatan demi merawat anak-anak yang sakit.
Pokoknya saya dilatih untuk lebih fleksibel dan work with the flow melalui mengurus anak-anak. Berjalan kaki yang biasa ditempuh dalam waktu 10 menit ke supermarket terdekat bisa sampai 30 menit kalau bawa anak-anak. Liburan yang biasanya ngepak apa adanya untuk diri sendiri berubah jadi serasa packing untuk bedol desa kalau bawa anak-anak. Dan sekali lagi kalau bikin agenda siap-siap last minute dibatalkan apalagi kalau anak-anak masih usia balita, biasanya masih sering sakit.
Work with the flow itu saya pahami sebagai bertasbih (dari kata sabaha yang artinya mengalir). Alih-alih memaksakan diri ngoyo memenuhi agenda pribadi. Kita harus mengalir dengan liukan semesta yang kadang di luar dugaan.
Awalnya kesal dan banyak mengeluh bahwa mengurus anak dan rumah tangga itu demikian menyita waktu. Maklum ada unsur syahwat spiritual yang ingin shalat lama-lama, ngaji lama-lama, mengkaji Al Qur'an lama-lama, diskusi agama berjam-jam atau pengajian tak terinterupsi dst. Sekilas berbau agamis dan baik ya, tapi saya kemudian paham jika keinginan itu tidak sejalan dengan aliran sang waktu maka itu adalah sebuah syahwat yang berbalut kebaikan. Seolah nampak indah tapi sebenarnya salah untuk berpikir demikian. Kenapa? Karena saya merasa jadi tidak bisa penuh menikmati kekinian saya, bahkan lebih parah lagi bawaannya kesal sama anak-anak yang terasa selalu demanding. Padahal Mursyid saya senantiasa mengingatkan bahwa di setiap saat itu. Ya, setiap saat. Ada nikmat Allah tertingginya yang kebanyakan manusia lalai meraihnya karena panjang angan-angan dan kurang bersyukur akan apa yang Allah hadirkan di saat ini.
All in all, butuh waktu sekitar dua windu sejak saya belajar konsep berserah diri dan tasbih ini sampai saya mulai paham dan menghayati dalam keseharian. Saya menuliskan refleksi ini agar sahabat-sahabat bisa mengambil pelajarannya. Agar tak perlu mengulang kesalahan saya yang butuh memutar untuk memahami dan menghayati makna bertasbih dan berserah diri, hingga harus melalui sekian banyak benturan dalam kehidupan baru dibuat tak berdaya, menyerah dan tersadarkan. Intinya sekali kita bertasbih, menyatakan diri Islam - berserah diri (aslama) kepada-Nya, ya sudah percaya saja bahwa segenap pengaturan takdir-Nya adalah yang terbaik. Because the more you resist the flow of life, the more you will suffer.[]
No comments:
Post a Comment