Tuesday, November 30, 2021

 RANGKING DAN NILAI MERAH


Sejak kecil saya terbiasa terbuai dengan berbagai pujian atas prestasi saya di sekolah. Sedemikian rupa sehingga tak terasa  rangking satu sudah seakan menjadi berhala buat saya. Hal itu berubah ketika memasuki SMA 3 Bandung. Persaingan akademik demikian ketat disana. Untuk bisa mencapai rangking 13 saja saya rasanya sudah mati-matian belajar. Ditambah untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup saya dapat angka merah, nilai lima tertoreh di buku rapport saya. 


Malu rasanya. Harga diri dan ego yang tertampar. Jati diri saya mulai terkoyak. Identitas "Tessa si rangking satu" mulai luntur. Then who am i? Saya rasa itu salah satu pencetus kenapa saya mulai lari ke mushalla, mulai betah berlama-lama di masjid dan rutin mengerjakan shalat dhuha. Setelah itu Allah Ta'ala memperkenalkan saya kepada buku Ihya Ulumuddinnya Al Ghazali yang tergeletak di rak buku mushalla SMA 3. Dan setelah itu saya tidak pernah lepas membaca kitab-kitab dan ilmu yang berkaitan dengan tashawwuf. 


Ada cara lain memandang kehidupan ternyata. Yang lepas dari perlombaan semu dari sekadar nilai dan rangking akademi. Saya mulai belajar bahwa setiap manusia terlahir membawa keutamaannya masing-masing. Yang itu akan bisa memberkahi dunia jika ia berserah diri dengan pengaturan Ilahiyah. Dan saya belajar bahwa angka merah bukanlah suatu aib. Justru itu indikator yang berharga yang menunjukkan bahwa memang bidang kita bukan disitu. Hal ini saya coba terapkan untuk anak-anak saya. Agar mereka jangan merasa malu dengan nilai rapport yang kurang. It's okay, it is as it it. Bisa jadi memang dia bukan bidangnya di matematika, bukan bidangnya di kimia dll. So in a way, saya berterima kasih kepada Pak Syahrul, guru kimia saya yang memberikan saya angka merah di rapport. Dengan kejujuran beliau itu saya menjadi terbangunkan dan mulai mencari makna lain dari dunia. Al fatihah untuk beliau.

No comments:

Post a Comment