Tuesday, November 16, 2021

 Orang yang tak pernah mengalami rasa haus yang demikian mencekik kerongkongan tak akan pernah menghargai nilai setetes air.


Orang yang selalu gampang hidupnya, lancar jaya bisnisnya dan serba mudah kesehariannya tak akan memahami nilai sebuah keajaiban ketika dunia disempitkan dan tiba-tiba ada sebuah pertolongan yang tak terduga.


Orang yang selalu bisa mengandalkan orang tua, pasangan, teman, tabungan, simpanan, warisan dsb tak akan merasakan kegembiraan yang penuh ketakjuban saat tak ada lagi rasanya yang bisa diandalkan tapi pertolongan-Nya tiba-tiba hadir dengan ajaib.


Anak-anak pun kalau biasa dimanjakan dengan semua fasilitas orang tua tak akan pernah belajar untuk menjadi kuat, sabar, tangguh dan mandiri.


Memang jadi orang tua itu mesti bisa tegaan. Suatu saat melepas dan melihat anaknya pontang-panting. I know its not easy for me with all my maternal gate-keeper thingy yang bawaannya selalu ingin membantu anak. Tapi sadar juga sebenarnya bahwa kalau si anak terus disuapi dia tidak punya kesempatan melatih otot-ototnya. Tidak sekadar otot secara fisik, tapi ada otot kesabaran, otot kemandirian, otot kebersyukuran dll yang itu penting untuk bekal dia menjalani kehidupan jangka panjangnya.


Saya jadi merenung, jangan-jangan ini juga jawaban atas pertanyaan saya tentang kenapa Tuhan mengirim kita ke alam dunia yang penuh cobaan, kegelapan, ujian dan melelahkan? Karena Dia ingin agar potensi-potensi dalam diri kita bertumbuh. Sesuatu yang tak akan pernah terjadi kalau kita leyeh-leyehan terus di surga menikmati semua fasilitas yang ada tanpa mengeluarkan peluh dan berkorban untuk itu.


-Perjalanan dalam metro menuju De Pijp Amsterdam di tengah musim gugur yang makin dingin 6°C

No comments:

Post a Comment