Kesalahan fatal saya saat me”manage” kehidupan adalah ketika saya terapkan pola management seperti saya memimpin rumah sakit dan departemen dulu. I was so into target and achievements. What can i say, old habit is hard to die.
Akhirnya kelimpungan sendiri. Saat saya sedang semangat mengejar deadline terjemahan, tiba-tiba anak merengek dan minta perhatian jadinya malah saya yang kesal, kasihan anak-anakku yang polos itu. Ketika saya sedang ingin menghadiri pengajian tertentu atau simposium Ibnu Arabi yang saya sangat dambakan, lalu anak agak hangat badannya dan suami keberatan kalau saya pergi. Saya malah misuh-misuh sama suami karena menganggap dia tidak mau berbagi tanggung jawab.
Begitupun saat cari kerja inginnya pakai Warp Speed seperti di Star Trek. Apa daya buntutnya sudah sebroyongan beruntun. Tak bisa berlari kencang seperti dulu. Kalaupun dipaksakan pasti harus ada yang dikorbankan.
Saya pun sempat terpuruk. Seperti menabrak tembok beton keras dan saya tetap menyeruduknya. Demikian ngoyo dan tidak “work with the flow”.
Sampai akhirnya ditegur keras dengan anak bungsu saya Rumi yang masuk rumah sakit seminggu setelah my biggest breakthrough job interview di sebuah NGO di Amsterdam. Disitu saya dibuat sadar dengan posisi dan keadaan saat itu. Sambil memeluk badan Rumi (yang saat itu berusia 1,5 tahun) yang terkulai lemah karena infeksi pernafasan yang menyerangnya. Dua selang dan satu kabel menempek di tubuhnya; selang oksigen, selang untuk memasukkan makanan dan kabel untuk memantau keadaan vitalnya.
Selama tiga malam saya menemani dia sambil tidur di sebelah ranjang kecilnya di rumah sakit. Rumi tidak bisa tidur kecuali kalau saya peluk. Dan tidak mudah memeluk tubuh kecil dengan seliweran selang diantaranya. Pernah malam pertama saat badannya demikian lemah, saya sampai terpikir barangkali anak ini akan dipanggil pulang oleh-Nya. Air mata saya mengalir deras. Sebagian besar meminta maaf karena banyak menyia-nuiakan saat untuk bersama dia atau sering marah sama dia. Hingga akhirnya saya sampai pada titik ketika saya pasrahkan dia dan berkata kepada Allah. “Ya Allah, anak ini milik-Mu, Engkau Maha Tahu mana yang terbaik baginya. Jika Engkau berniat menjemputnya kembali, pasti itu yang terbaik baginya. Saya ikhlaskan ya Allah...”
Lalu saya berdzikir hingga tertidur. Dan malam itu saya diberi sebuah mimpi yang mengubah visi kehidupan saya dan cara saya menyikapi kehidupan.
Itulah sekilas pelajaran hidup ketika saya menuai sebuah malapetaka berupa pontang-panting, marah, konflik rumah tangga, ketegangan, dan semua perasaan neraka lainnya ketika hidup terlampau menekankan pada hasil akhir dan sangat kurang berserah diri dan tawakal kepada Allah. Once again, i was playing God. Astaghfirullah...
Sekarang, saya lebih tenang alhamdulillah. Satu-persatu yang berserak sudah mulai Allah dekatkan. Jadi begini ya caranya. Bukan kita yang mengumpulkan itu semua, pasti tidak mampu, pasti gagalnya. Tapi jalannya harus mendongak dulu ke atas, minta sama Gusti Allah, tawakal kepada-Nya. Sungguh Dia Maha merespon dengan baik tatkala kita sungguh-sungguh memohon pertolongan-Nya.
Bahwa dalam perjalanannya akan juga menghadapi lelah dan kesulitan, iya. Tapi dengan hati yang menghadap kepada Allah semua itu jadi relatif tak terasa. Jauh sekali dibandingkan ketika saya ngoyo mengatur sendiri kehidupan saya dan akhirnya gagal total.
Jadi kuncinya, kerjakan saja semua kewajiban hidup kita sebaik-baiknya. Apa yang ada di depan mata kerjakan. Lihat tumpukan cucian rapikan, lihat rumah kotor bersihkan, ada pertanyaan dari sahabat via email jawab, ada tetangga ngajak ngobrol layani. Lalu jika ada kesempatan ya kembali menulis dan membaca. Work with the flow. Tanpa memikirkan hasil akhir atau ditarget. Tidak ngoyo. Ternyata lebih nyaman.
“Dharma itu bekerja sekarang, sebaik-baiknya dan jangan pernah menggantungkan kepada hasil akhir.”
- Bhagawad Gita
No comments:
Post a Comment