Thursday, February 28, 2019

Kehidupan: Medan Besar Untuk Menumbuhkan Akal Batin


Kerinduan untuk dikenal adalah spirit dasar yang mengawali penciptaan. Penciptaan semesta alam. Penciptaan lika-liku serta sekian ketetapan kehidupan. Semua agar bisa dibaca (iqra) oleh sang insan, ciptaan teragung, yang paling merepresentasikan Al Haqq dan yang paling bisa membaca sapuan tinta dari qalam penciptaan-Nya. Yang ketika hal itu diperagakan oleh Adam as saat menyebut nama-nama bahkan membuat para malaikat muqarrabuun – para malaikat tingkat tertinggi – tersungkur bersujud di hadapannya, sebagai gestur ketakziman kepada sebuah keagungan Allah yang ada di dalam diri seorang Adam.

“Aku adalah khazanah yang tersembunyi (kanzun mahfiy).

Aku rindu untuk dikenal.

Karena itu Aku ciptakan makhluk supaya Aku diketahui.”

Demikian firman Allah Ta’ala dalam hadits qudsiy.

Bayangkan, Allah Ta’ala yang “laisa kamitslihi syai’un”- “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya”(QS Asy Syuura:11) berkehendak memperkenalkan dirinya kepada segenap ciptaan, kepada kita, makhluk yang di awalnya bahkan tidak memiliki bentuk dan nama, yang kemudian Allah sematkan ruh, jiwa dan raga serta segenap semesta kehidupan yang menyertainya. Semua ditata dengan rapih dalam sebuah balutan skenario kehidupan yang terjalin indah, agar sang hamba mengenal Sang Pencipta.

Maka ayat pertama yang turun adalah seruan untuk membaca, “Iqra!”. Membaca kitab kehidupan, membaca kitab suci, membaca kitab diri. Akan tetapi seseorang tidak bisa membaca jika akalnya belum dilatih. Seperti seorang bayi atau balita yang tidak akan bisa bahkan mengeja namanya sendiri walaupun disajikan huruf besar-besar di hadapannya.

Manusia memiliki potensi akal lahir dan akal batin. Akal lahir ditimbulkan dari sekian banyak proses di dalam mesin berpikir raga yang disebut dengan otak. Sedangkan akal batin letaknya di dalam hati. Ini sasaran utama pendidikan Ilahiyah. Jika manusia mendidik akal lahirnya melalui sekian banyak jenjang pendidikan di dunia, maka selaiknya akal batinnya terdidik melalui sekian banyak takdir kehidupan yang menempa dirinya.

Maka tidak pernahkan mereka berjalan di bumi, sehingga qalb mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada (shudur)”(QS Al Hajj [22]:46)

Seseorang boleh saja mengantungi berbagai gelar doktor dan mencapai sekian banyak pendidikan akademik tingkat tinggi, tapi jika akal hatinya tidak dilatih dalam jalan agama maka dia akan senantiasa diliputi oleh kebingungan ketika harus menghadapi fenomena hidup diri dan dunia. Bagaimana membaca ihwal kematian, tentang perceraian, tentang peperangan, tentang kelaparan, tentang musibah dsb.

Akal hati, sejak jenjang paling rendah bernama fu’ad dan sampai tingkat tertinggi bernama lubb, akan dapat membaca kebijaksanaan Ilahiyah di balik fenomena yang nampak. Adalah mereka yang memiliki lubb (ulil albaab) yang akan paham kebaikan Allah di balik segala sesuatu, bahkan di dalam peristiwa yang paling menyakitkan sekalipun, dia akan bisa berkata, “Rabbana maa khalaqta haadza baathilaa..””Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia…” (QS Ali Imran [3]: 3)

Langkah pertama mendidik akal hati adalah dengan menerima dengan ikhlas, dengan tanpa berat hati semua yang Allah takdirkan. Terima masa lalu kita, terima perlakuan orang yang menzalimi kita, terima sakit yang Dia turunkan, terima pasangan yang Allah pasangkan kepada kita. Penerimaan adalah langkah awal dari pendidikan Ilahiyah yang senantiasa Dia berikan pada setiap saatnya. Selanjutnya, just enjoy the ride! 😉

No comments:

Post a Comment