Kerinduan untuk dikenal adalah spirit dasar yang mengawali penciptaan.
Penciptaan semesta alam. Penciptaan lika-liku serta sekian ketetapan kehidupan.
Semua agar bisa dibaca (iqra) oleh
sang insan, ciptaan teragung, yang paling merepresentasikan Al Haqq dan yang
paling bisa membaca sapuan tinta dari qalam penciptaan-Nya. Yang ketika hal itu
diperagakan oleh Adam as saat menyebut nama-nama bahkan membuat para malaikat
muqarrabuun – para malaikat tingkat tertinggi – tersungkur bersujud di
hadapannya, sebagai gestur ketakziman kepada sebuah keagungan Allah yang ada di
dalam diri seorang Adam.
“Aku adalah khazanah yang tersembunyi (kanzun mahfiy).
Aku rindu untuk dikenal.
Karena itu Aku ciptakan makhluk supaya Aku diketahui.”
Demikian firman Allah Ta’ala dalam hadits qudsiy.
Bayangkan, Allah Ta’ala yang “laisa kamitslihi syai’un”- “Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya”(QS Asy Syuura:11) berkehendak
memperkenalkan dirinya kepada segenap ciptaan, kepada kita, makhluk yang di
awalnya bahkan tidak memiliki bentuk dan nama, yang kemudian Allah sematkan ruh,
jiwa dan raga serta segenap semesta kehidupan yang menyertainya. Semua ditata
dengan rapih dalam sebuah balutan skenario kehidupan yang terjalin indah, agar
sang hamba mengenal Sang Pencipta.
Maka ayat pertama yang turun adalah seruan untuk membaca, “Iqra!”.
Membaca kitab kehidupan, membaca kitab suci, membaca kitab diri. Akan tetapi seseorang
tidak bisa membaca jika akalnya belum dilatih. Seperti seorang bayi atau balita
yang tidak akan bisa bahkan mengeja namanya sendiri walaupun disajikan huruf
besar-besar di hadapannya.
Manusia memiliki potensi akal lahir dan akal batin. Akal
lahir ditimbulkan dari sekian banyak proses di dalam mesin berpikir raga yang
disebut dengan otak. Sedangkan akal batin letaknya di dalam hati. Ini sasaran
utama pendidikan Ilahiyah. Jika manusia mendidik akal lahirnya melalui sekian
banyak jenjang pendidikan di dunia, maka selaiknya akal batinnya terdidik
melalui sekian banyak takdir kehidupan yang menempa dirinya.
“Maka tidak pernahkan
mereka berjalan di bumi, sehingga qalb mereka dapat memahami, telinga mereka
dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta tetapi yang buta ialah
hati yang ada di dalam dada (shudur)”(QS Al Hajj [22]:46)
Seseorang boleh saja mengantungi berbagai gelar doktor dan
mencapai sekian banyak pendidikan akademik tingkat tinggi, tapi jika akal
hatinya tidak dilatih dalam jalan agama maka dia akan senantiasa diliputi oleh
kebingungan ketika harus menghadapi fenomena hidup diri dan dunia. Bagaimana
membaca ihwal kematian, tentang perceraian, tentang peperangan, tentang
kelaparan, tentang musibah dsb.
Akal hati, sejak jenjang paling rendah bernama fu’ad dan
sampai tingkat tertinggi bernama lubb, akan dapat membaca kebijaksanaan Ilahiyah
di balik fenomena yang nampak. Adalah mereka yang memiliki lubb (ulil albaab)
yang akan paham kebaikan Allah di balik segala sesuatu, bahkan di dalam
peristiwa yang paling menyakitkan sekalipun, dia akan bisa berkata, “Rabbana
maa khalaqta haadza baathilaa..””Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia…” (QS Ali Imran [3]: 3)
Langkah pertama mendidik akal hati adalah dengan menerima
dengan ikhlas, dengan tanpa berat hati semua yang Allah takdirkan. Terima masa
lalu kita, terima perlakuan orang yang menzalimi kita, terima sakit yang Dia
turunkan, terima pasangan yang Allah pasangkan kepada kita. Penerimaan adalah langkah
awal dari pendidikan Ilahiyah yang senantiasa Dia berikan pada setiap saatnya.
Selanjutnya, just enjoy the ride! 😉
No comments:
Post a Comment