Tuesday, November 26, 2019

"Tidak ada manusia yang sempurna". Kita sering dengar itu. Tentu saja tidak ada manusia yang sempurna tanpa "kesempurnaan" yang Dia Sang Pencipta sematkan kepada seorang insan. Karena bagaimana mungkin manusia, makhluk yang dulunya bahkan tak punya ruh, tak punya jiwa dan tak punya raga bisa mewujud menjadi sempurna tanpa hadirnya Kuasa Sang Maha Pencipta? But the good news is, Allah berkehendak menjadikan setiap kita sempurna. Hanya saja kita sering salah memahami makna sebuah kesempurnaan. Karenanya banyak yang terjebak oleh fatamorgana yang mereka pikir sebagai sebuah oase kesempurnaan padahal bukan, karenanya mereka tidak bahagia. Orang yang mencapai kesempurnaan penciptaan, menjadi untuk apa dia dicipta pasti ia meraih kebahagiaan sejati, sebaliknya orang yang bahagia belum tentu telah menjadi orang yang sempurna di mata Allah. Tapi sekali lagi, sepertinya kita harus meredefinisi ulang makna kesempurnaan, dengannya kita secara otomatis memaknai kembali apa itu kebahagiaan yang sebenarnya. Karena kesempurnaan hidup sama sekali bukan terletak pada pencapaian-pencapaian material, status dan kejayaan semata ataupun terpenuhinya beragam keinginan yang kebanyakan bersumber dari nafsu dan syahwat itu. Kesempurnaan kita sebagai manusia tercapai ketika kita hidup dalam garis kehidupan yang Dia inginkan. Dalam kenyataannya, menjadi hamba yang sempurna di mata Allah bisa jadi menyakitkan mata kebanyakan manusia. Kita ambil contoh manusia-manusia mulia yang hidupnya dibentuk sedemikian rupa oleh Allah Ta'ala. Mereka yang harum namanya di langit hingga diabadikan kisahnya dalam Kitab Suci. Satu benang merah yang nampak nyata, semua menjalani hidup yang tidak mudah. Seorang Nabi Ayyub as harus memerankan seorang yang nampak seperti 'dikutuk' dengan berbagai ujian kehilangan harta, keluarga hingga berpenyakit menjijikkan di sekujur tubuhnya yang bahkan membuat para muridnya berceletuk, "Barangkali engkau harus bertaubat wahai nabi..." Demikian fitnah kala itu. Seorang Nabi Ismail as harus menjalankan kehidupan yang tumbuh tanpa ayah dan ditempatkan di gurun pasir sejak bayi bersama ibunda. Sekian tahun tak bertemu sang ayah, tahu-tahu ayahnya datang berkunjung untuk menyampaikan ihwal perintah penyembelihan dirinya yang kemudian menjadi tonggak ritual kurban. Tidak selesai sampai disitu beberapa tahun kemudian ketika Ismail telah dewasa dan mempunyai istri, sang ayah - Ibrahim as - kembali datanh mengunjunginya, namun mereka tak sempat bertemu. Lalu sang ayah menitipkan sebuah pesan kepadanya lewat istrinya bahwa ia harus mengganti "daun pintu"nya. Sebuah isyarat bahwa ia harus menceraikan istrinya. Begitulah tantangan kehidupan yang harus seorang Ismail alami. Juga lihat bagaimana pengorbanan seorang Asiyah yang ditakdirkan menikah dengan orang lalim seperti Firaun. Tapi melaluinya bayi Musa menjadi selamat dan diterima menjadi bagian kerajaan Mesir dan kelak membebaskan Bani Israil dari perbudakan. Walaupun Asiyah yang mulia harus membayar dengan menjelang hukuman mati yang mengenaskan. Mereka adalah orang-orang yang sempurna hidupnya, sedemikian rupa hingga namanya tertoreh dengan tinta emas dalam Kitab Suci. Tapi lihatlah warna kehidupannya jauh dari definisi kesempurnaan secara hawa nafsu dan syahwat yang inginnya hanya berenang dalam kesenangan dan kemudahan hidup. Pretty much a definition of happiness for a small children. Mereka yang akalnya bekum tumbuh dewasa. Maka untuk bisa membaca kebahagiaan perlu akal dalam. Tidak cukup dengan akal pikiran yang diasah walaupun dengan sepuluh gelar Doktor. Tidak akan terjangkau dengan itu. Kode-kode Ilahiyah terlalu halus dan kompleks untuk dibaca dengan hukum sebab akibat yang sangat terbatas. Panduan-Nya sangat gamblang, "...Allah akan menimpakan rijsa (kemalangan) kepada orang-orang yang tidak menggunakan akalnya." QS Yunus:100 Dia bukan Dzat yang menebar murka kepada ciptaan-Nya. Semua yang Allah berikan adalah yang terbaik dan sempurna. Hanya itu tadi, jika kesempurnaan takdir-Nya dibaca dengan logika jiwa yang seperti anak kecil, maka apa daya yang terbaca hanyalah sebuah penderitaan dan ketidaksempurnaan semata. Wallahu'alam

No comments:

Post a Comment