Friday, November 29, 2019

CHASING SHADOWS Kita paham sebuah metafora yang disebut "mengejar bayang-bayang". Yaitu sebuah pekerjaan yang sia-sia, karena bayang-bayang akan selalu terbentuk menjauhi obyek aslinya dan ia bukan material yang sesungguhnya, melainkan sebuah gambaran yang nampak ketika sumber cahaya menerpa obyek yang tak tembus cahaya. Tapi tidak sedikit orang yang terperangkap oleh bayang-bayang yang berasal dari waham pikirannya sendiri. Bayang-bayang kebahagiaan versi pikiran yang berkata, "Kalau kau menikah dengan dia pasti hidupmu bahagia" Lalu setelah menikah, setelah masa bulan madu usia dan masing-masing dipaparkan dengan realitas yang ada. Kebahagiaan yang dia bayangkan ternyata mulai terasa asam buat seleranya. Lalu si waham berkata lagi, "Barangkali kalau punya anak akan semakin mempererat ikatan rumah tangga dan menambah ceria suasana" Tapi kemudian setelah hadir momongan, hidup makin repot dan masing-masing terkapar lelah alih-alih membawa kebahagiaan yang dia bayangkan. Tak berhenti disitu, si waham akan terus menghembuskan ide baru. "Barangkali kalau punya gaji sekian kamu akan lebih tenang hidup. Atau, batang kali kalau pindah rumah di kompleks elit itu akan lebih aman. Oh, tunggu barangkali kalau menyekolahkan anak di sekolah mahal itu pendidikannya akan lebih terjamin. Atau...bagaimana kalau..." si waham tak akan pernah berhenti memberi masukan sepanjang kita hidup. Perhatikan karakteristik waham, dia akan selalu memberi arahan untuk mengejar sesuatu yang belum ada saat ini. Di satu sisi itu adalah sebuah daya dorong yang bagus agar ada "drive" untuk melakukan sesuatu. Tapi jika semua perkataannya kita ikuti, sungguh kita telah terjebak pada sebuah permainan mengejar bayangan. Sebuah ilusi yang mengatakan bahwa objek-objek kebahagiaan terletak di luar dunia hari ini kita. Sedemikian rupa hingga itu harus dikejar seumur hidup. Maklum, waham dilahirkan di dunia ilusi. Sejak kecil ia hanya tahu bayang-bayang sebagai obyek yang nyata. Seperti kisah yang dipaparkan oleh Platon dalam buku Politeia, yang ringkasannya sebagai berikut: "Ada sebuah gua, di mana ada beberapa tawanan yang diikat menghadap ke dinding belakang gua. Mereka sudah berada di sana seumur hidup dan tidak bisa melihat ke mana-mana, hanya bisa melihat ke depan saja. Akan tetapi mereka bisa melihat bayang-bayangan orang di dinding belakang gua. Bayang-bayangan ini disebabkan oleh sebuah api yang berkobar di depan, di lubang masuk ke gua ini dan orang-orang di luar gua yang berjalan berlalu lalang. Para tawanan bisa melihat bayang-bayangan orang ini dan suara-suara mereka yang menggema di dalam gua. Maka pada suatu hari, salah seorang tawanan dilepas dan dipaksa keluar. Ia disuruh melihat sumber dari bayangan ini semua. Akan tetapi api membuat matanya silau, ia lebih suka melihat bayangannya. Lama kelamaan ia bisa melihat api dan lalu ia mulai terbiasa dan melihat orang-orang yang lalu lalang. Kemudian ia keluar dari gua dan melihat matahari dan banyak objek lain yang sebelumnya hanya sedikit bayangannya yang terlihat seperti sungai, padang dan sebagainya. Lalu ia kembali ke gua lagi dan hal pertama yang dilakukannya adalah membebaskan kawan-kawannya. Akan tetapi kawan-kawannya akan marah karena hal ini akan mengganggu mereka. Akhirnya mereka bukannya terima kasih tetapi akan sangat marah dan membunuhnya." Dalam diri kita ada suara yang meneriakkan kebenaran yang kerap terkalahkan nyaringnya oleh suara waham. Suara kebenaran itu adalah dari-Nya yang menunjukkan jalan kebahagiaan yang hakiki. Sebuah kebahagiaan yang tak terikat oleh sebuah sebab, tak perlu dicapai oleh sebuah pengorbanan yang tak masuk akal, dan tak perlu dengan cara seperti mengejar bayangan. Kebahagiaan yang kita cari bukan terletak pada bonus atau uang proyek yang belum turun. Bukan pada momongan yang belum didapat. Bukan pada gelar yang belum diraih. Bukan pada hal ini dan itu yang masih belum mewujud. Kebahagiaan ada di setiap nafas kita. Sesuatu yang Dia turunkan dengan kadar-kadar yang tepat. Hanya jika sumber cahaya yang sesungguhnya belum kita kenali, maka akal kita hanya mengenal natur kebahagiaan itu berupa bayangan saja yang hitam dan kadang menakutkan. Karena ia bisa hadir menjadi sebuah kesakitan tertentu, penantian tertentu atau fenomena lain yang tentu tak diinginkan oleh hawa nafsu kita yang inginnya hidup nyaman saja. Maka Allah Ta'ala berfirman, “Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang paling mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:216)

No comments:

Post a Comment