Friday, November 1, 2019
Malam beranjak makin larut. Pasangan suami istri tua itu menggelar “tempat tidurnya” yang berupa helai-helai kardus bekas di depan sebuah toko yang baru tutup. Sudah tiga dekade mereka menjalani kehidupan demikian. Bagi mereka, pekerjaan sehari-hari mengumpulkan karton dan gelas plastik bekas di ibu kota lebih bisa mencukup kebutuhan diri dan anak-anaknya dibanding hidup di desa tanpa penghasilan sementara jengkal demi jengkal tanah mereka habis dibabat tuan tanah.
Mereka orang-orang hebat, para pejuang kehidupan yang menyerah ditundukkan oleh sebuah fenomena kesulitan hidup. Katanya, kesulitan itu untuk dihadapi bukan untuk diratapi apalagi melarikan diri darinya.
Saat saya bertanya dimana harus mandi, buang air dan lain-lain. Sang ibu dengan tersenyum berkata bahwa pengurus masjid setempat berbaik hati mempersilakan mereka untuk mandi dll disana. Ia bertutur tanpa nada mengeluh atau minta dikasihani. It is what it is. Menjalani kehidupan apa adanya.
And you know what? They can sleep very well at night. Di tengah serangan nyamuk jalanan dan angin malam yang kadang menusuk dingin. Sementara di tempat lain, saya tahu seorang kaya dan melimpah hidupnya, gelisah hampir setiap malam. Entah apa yang dipikirkannya, tapi tidurnya tidak nyenyak bahkan beberapa hari dia harus tidur dengan bantuan pil tidur dari dokter.
Ternyata ketentraman hati itu benar tidak seiring dengan banyak atau sedikitnya harta. Seperti kata Ronggowarsito, seorang penasihat Kasunanan Surakarta yang hidup sekitar tahun 1802-1873:
“Yèn umpåmå ayem iku mung biså dituku karo akèhé båndhå dahnå rekasané dadi wong sing ora duwé.”
Kalau saja ketentraman itu bisa dibeli dengan harta, alangkah sengsaranya orang yang tidak punya.
“Untungnya ketenteraman bisa dimiliki oleh siapa saja yang tidak mengagungkan keduniawian, suka menolong orang lain dan menyerahkan hidupnya kepada Tuhan Sang Pencipta.”
(Foto diambil sekitar tahun 2009 di daerah Cikini, Jakarta)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment