Tuesday, September 10, 2019

Besi yang keras bisa lunak dengan izin Allah di tangan Daud as.
Api yang membara bisa terasa dingin dengan izin Allah di hadapan Ibrahim as.
Burung gagak ditundukkan untuk memberi makan Ilyas as dengan izin Allah.

Mereka, para nabi adalah manusia juga seperti kita. Bedanya cara mereka menyikapi kehidupan demikian bergantung penuh kepada Allah Sang Penguasa seluruh alam. Jadinya efektif, indah dan menakjubkan.

Adapun kita sering terlalu percaya dengan kemampuan diri, terlalu bergantung kepada simpanan dan aset yang ada, terlalu mengandalkan pasangan, terlalu takut kehilangan dunia tapi tak begitu takut kehilangan senyum Allah. Buat kita barangkali Allah hanya penghias bibir di sekian menit shalat yang kering maknanya di hati. Sekadar melakukan agar terbebas dari kewajiban. Free from guilty feeling.

Kita lupa bahwa medan kehidupan ini adalah papan catur-Nya dan kita adalah bidak-bidak yang sedang berkesempatan nangkring di atas papan, menjalani satu set permainan dan akhirnya mati. Keluar dari papan dunia. Di atas papan ini ada hukum yang berlaku. Hukum-Nya. Jadi mengada-adakan hukum dan berjalan-jalan sendiri hanya berdampak membuat runyam permainan.

Siang malam kita didera oleh urusan yang tak ada habis-habisnya. Masalah yang tak kunjung usai, utang yang tak juga lunas, penyakit yang tak  sembuh-sembuh, konflik yang tak pernah reda, kesepian yang selalu mencekik dan sekian rasa tak nyaman yang membuat kita bagai ada dalam neraka dunia. Kita kepayahan, terseok-seok menjalaninya. Minggu demi minggu terasa bagai pecutan cambuk di punggung seorang budak, disaat kita harus menghadapi pekerjaan atau kehidupan yang kita anggap sebagai beban.

What's wrong with us?

Kenapa seorang Ilyas as walaupun tubuhnya kurus kering dan hanya memakan biji-bijian tapi mulutnya bisa terus bersyukur.

Kenapa seorang Ayyub as yang kehilangan seluruh anggota keluarganya habis, harta bendanya hilang dan bahkan tubuhnya berpenyakit yang membuat semua orang menjauh darinya. Tapi hatinya masih memuja Allah?

Kenapa seorang Yesaya as yang tahu akhir hidupnya akan digergaji menjadi dua terus tegap berjalan menyongsong takdirnya dengan pengharapan yang tak pernah pudar pada-Nya?

Kenapa seorang Zakariya as yang berdoa enam puluh tahun memohon keturunan, dalam penantiannya berkata bahwa ia tak pernah kecewa kepada Allah?

Tapi kita, baru diberi kekurangan sedikit sudah kalang kabut. Badan diberi sakit sedikit sudah marah kepada Allah. Difitnah sedikit sudah naik pitam. Padahal kebanyakan kita saya yakin ujian kehidupannya bahkan tak seberapa dibanding yang telah dialami oleh orang-orang terdahulu.

Jangan-jangan kita kurang tepat menyikapi kehidupan. Karena hati terlalu condong kepada selain Allah. Akibatnya Allah menyerahkan nasib kita kepada dunia dan kita menjadi menderita karenanya. Lantas apa gunanya kita bersujud, apa fungsi kita punya Tuhan Yang Maha Kuasa kalau kita sendiri berlagak seperti tuhan yang mencoba mengatur-atur kehidupan sambil tak punya kapasitas itu. Buktinya kita terkapar berkali-kali, dibuat kecewa oleh fatamorgana pilihan yang kita anggap baik. Kenyataannya kita kepayahan menghadapi sekian banyak problematika di hadapan kita.

Padahal Allah, Tuhan yang sama melunakkan besi untuk Daud as, sangat bisa melunakkan hati pasangan, orang tua atau atasan yang keras.

Allah, Tuhan yang sama yang membuat api menjadi terasa dingin untuk Ibrahim as, sangat kuasa mendinginkan hati kita menjadi tenang walau ujian kehidupan orang lain lihat begitu bertubi-tubi menghantam.

Allah, Tuhan yang sama menundukkan seekor gagak untuk menghidupi Ilyas as, sangat kuasa menundukkan alam untuk mencukupi sekadar kebutuhan sehari-hari atau kebutuhan sekolah anak kita.

Sungguh kita harusnya tenang menghadapi hidup jika berjalan bersama-Nya. All we have to do is ask. Humbly ask...

No comments:

Post a Comment