Tuesday, May 4, 2021

 2007


Siang itu cerah sekali, langit demikian biru tanpa ada awan satupun menggantung. I thought it was going to be another one fine day. Tapi hidup memang selalu punya cara untuk memutar balikkan keadaan. Saya yang sedang duduk santai di teras saat itu tiba-tiba dikejutkan dengan suara teriakan "Tes, kesini cepat! Papamu kejang!" 


Saya berlari secepat mungkin ke dalam rumah dan menemukan Papa badannya kejang-kejang tak berdaya. Semua pengalaman saya saat bekerja sebagai dokter di bagian Gawat Darurat Rumah Sakit bagaikan lumpuh tak berdaya dihadapkan dengan situasi seperti itu. Saya terkejut, tak percaya ini terjadi pada Papa. Tak ada tanda-tanda sakit sebelumnya, hanya tekanan darah tinggi yang dalam pengobatan beberapa tahun terakhir disertai keluhan rematik dan lambung.


Ternyata ada pembuluh darah otak yang pecah, dan gumpalannya sekitar 50ml menggenang di bagian otak yang merupakan pusat bicara. Sejak terkena stroke tersebut Papa praktis tak bisa berkata-kata. Padahal beliau suka sekali ngobrol. Itu salah satu daya tariknya yang luat biasa, memiliki kemampuan bicara ngalor-ngidul bahkan dengan orang yang baru ditemuinya. Dia bisa membuat orang yang baru ditemuinya langsung merasa akrab dengannya. Setelah sakit itu keadaan Papa kian merosot, psikisnya tampak terpukul dengan keterbatasan yang ada. Harus terbaring di tempat tidur sepanjang waktu, buang air kecil dan buang air besar di sana. Saya bisa membayangkan betapa tidak nyamannya beliau. Tapi itu proses pembersihan yang Allah berikan kepada Papa.


Tepat satu bulan kemudian Papa berpulang ke Rahmatullah. Saya sedang dinas di Purwakarta saat itu. Menurut adik saya di saat terakhirnya Papa tiba-tiba bisa mengucap satu kata yang jelas, dan kata itu adalah "Tessa..." Tampaknya beliau mencari saya. Dan saya menyesal tidak bisa berada di sampingnya pada saat itu.


Saya tahu bahwa kematian adalah sebuah hal yang niscaya kita jelang. Bahkan khususnya tanda-tanda bahwa Papa akan meninggal juga sudah saya terima sekitar satu minggu sebelumnya. Tapi tampaknya tak ada yang benar-benar siap ketika orang yang kita kasihi pergi untuk selamanya. Saya masih merindukannya setiap saat bahkan air mata kerap menggenang mengenang saat-saat indah bersamanya. Bagi saya Papa adalah seorang ayah sekaligus teman yang baik dan sangat bisa diandalkan. I feel safe with him. 


Demikianlah tahun 2007 menjadi tahun duka cita bagi saya. Setelah Papa pergi, rasanya beliau masih selalu ada. Sampai-sampai sekitar sebulan setelah beliau dikuburkan, saya masih membawa kerupuk simping khas Purwakarta kesukaan beliau saat pulang di akhir pekan ke Bandung. Dan saya baru tersadarkan ketika tiba di rumah dan melihat kursi tempat ayah yang biasa didudukinya kosong melompong. He's really gone...


Tapi Tuhan tak berlama-lama membiarkan hamba-Nya dalam kesedihan. Sebuah hukum alam bahwa apapun yang diambil akan kita dapatkan sesuatu gantinya. Seperti kekekalan energi, tak ada yang benar-benar hilang pada hakikatnya. Setelah kepergian Papa, tak lama kemudian saya mendapat sebuah visi (penglihatan) tentang kehadiran seorang anak bernama Elia. Maka saya namai anak pertama saya yang lahir di tahun 2012 dengan nama itu.


Patah tumbuh hilang berganti. Seperti halnya pergantian siang dan malam yang membuat kehidupan di bumi indah lestari. Juga jantung yang berdenyut dalam harmoni kontraksi dan relaksasi, memberikan kehidupan bagi bumi diri. Saya belajar bahwa ada masa-masa "kontraksi" dalam hidup dimana kita merasakan sakit. Seperti halnya rasa sakit yang harus ditanggung oleh seorang ibu saat rahimnya berkontraksi demi lahirnya si buah hati. Tapi yakinlah bahwa di setiap akhir dari kontraksi kehidupan selalu ada kelahiran karunia-karunia-Nya yang baru. 


Oignies, Belgia

Malam ke-23 Ramadhan 1442 H

No comments:

Post a Comment