Friday, May 14, 2021

Being a Step Mother

 Saya jadi lebih mengerti apa yang dimaksud dengan "Step Mother" atau "Ibu Tiri" dalam Bahasa Indonesia. Saya lebih suka menyebut saya seorang "step mother" karena saat menikah dengan suami beliau sudah memiliki satu anak dari pernikahan sebelumnya. Kenapa tidak "ibu tiri"? Karena imej tentang ibu tiri - setidaknya bagi saya - adalah figur yang jahat, culas dan tidak baik. Maklum, saya termakan oleh kisah-kisah Bawang Putih dan Bawang Merah atau Hansel and Gretel dimana dikisahkan bahwa seorang ibu tiri itu pasti jahat. We need to change our narrative to our children about that, seriously.


Jadi kenapa digunakan istilah "step"? Karena memang kita memilih untuk "step into it". Saat saya menerima pinangan suami saya dulu, saya sudah memikirkan peran tambahan saya dalam "extended-family". Suatu hal yang diwanti-wanti keras oleh ibu saya. Beliau agak mengkhawatirkannya karena terbayang oleh beliau betapa repotnya keadaan rumah tangga yang akan saya arungi, and i totally understand that. Tapi toh, kehidupan mengalirkan saya ke jalan ini. 


Ada hal-hal dasar yang saya pelajari dari episode menjadi seorang "step mother". Pertama, bahwa keputusan kita untuk menikah dengan seseorang yang sudah memiliki anak dari pernikahan sebelumnya, bukan berarti semua anak harus menerima kita langsung keberadaan kita. Karena di awal waktu hubungan yang terjalin adalah dengan sang calon pasangan, dan butuh waktu untuk anak-anak menerima keberadaan kita. So, take your time. Jangan berharap terlalu banyak, nanti kecewa. Keep positive and be kind.


Kedua, menjadi "step mother" bukan berarti kita menjadi ibu atau ayah pengganti. Karena ibu atau ayah biologis mereka tak akan tergantikan. And we shouldn't. Garis nasab itu penting dan harus direkam kuat karena itu bagian dari diri sang anak. Itu dalam Al Qur'an, surat Al Ahzab ayat 5 dikatakan, "Panggilan mereka (anak angkat) itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang paling adil di hadapan Allah..."


Ketiga, hanya karena status kita sudah resmi menjadi istri (atau suami dari seseorang), bukan pula berarti anak-anak otomatis menerima kita menjadi figur ayah atau ibu. Karena dibutuhkan waktu untuk membangun hubungan dengan mereka. Hingga akhirnya mereka nyaman dengan keberadaan kita di tengah keluarga. Hal itu membutuhkan kesabaran, hati yang lapang dan lakukan semua dengan ikhlas, tanpa mengharap timbal balik apapun. Itu lebih aman. Dengannya kita tidak lebih ringan dalam menjalani hubungan keseharian. Jika kita rileks, anak-anak pun akan merasa tidak terancam dan rikuh dengan keberadaan kita.


Buat saya pribadi, waktu yang dibutuhkan adalah sekitar 3 tahun. Itu pun dalam keadaan anak tiri saya tidak tinggal serumah, karena ia tinggal dengan ibunya. Saya mencoba menjadi teman baiknya di awal waktu dan tidak memaksakan diri sebagai figur ibu. Semakin lama kita berinteraksi kita menjadi makin mengenal satu sama lain dan menjadi nyaman. Hingga suatu hari saya tersentuh ketika anak tiri perempuan saya menjelang usia memasuki masa puber berkata, "I think you are a cool mother!" Dan dia mulai berbagai kisah dan bahkan rahasia yang kerap tidak diketahui oleh orang tua kandungnya sendiri. Alhamdulillah. Semua karena pembelajaran dari Allah semata. Adalah Dia yang mengajarkan melalui hati bagaimana harus bersikap dan merespon kehidupan hingga kita tidak salah langkah when we are step-ping into something, a certain role like a "step mother".

No comments:

Post a Comment