وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).
(QS Az Zumar: 54)
Pada ayat yang terlihat sederhana ini tersimpan rahasia yang besar. Perhatikan bahwa kata bertaubat disandingkan dengan Rabb sedangkan kata berserah diri ditujukan untuk-Nya (Huwa).
Rabb adalah pangkat yang Dia (Huwa) miliki.
Kenapa kita bertaubat kepada Rabb?
Karena mengenal Rabb adalah gerbang untuk mengenal-Nya. KIta berinteraksi dengan Allah melalui Rubbubiyah-Nya. Allah sebagai Rabb yang memberi kita kehidupan, menggoreskan takdir, dilimpahkan ketetapan dan amr yang berbeda-beda. Setiap orang diciptakan berbeda-beda potensinya, kecerdasannya, raut wajahnya, kadar rezeki dan usianya. Dia sebagai Rabb yang menata, mengurus, mengqadha dan mengkadar seluruh kejadian dalam alam semesta ini. Maka apabila seorang manusia berbuat melampaui batas yang Dia tetapkan, dia patut bertaubat kepada-Nya sebagai Rabbul Áalamiin.
Dalam lingkup pertaubatan selalu ada komponen berserah diri. Jalan tarekat adalah jalan pertaubatan dan mekanismenya adalah dengan berserah diri. Berserah diri inilah yang ditata dengan teknik riyadhoh, fana itu berserah diri. Riyadhoh yang dikerjakan sebetulnya hanya metoda agar diri kita sampai ke maqam Al Islam, sebuah penyerahan diri yang haq. Tapi seringkali orang berserah diri dengan tanpa pengetahuan, pasrah begitu saja tanpa belajar apa-apa. Tanpa mempelajari Kitabullah, tanpa berkaca ke proses penyerahan diri yang dicontohkan para nabi dan orang-orang terang kita hanya akan menduga-duga bahwa kita telah berserah diri dengan benar. Sebagai
pejalan pemula kita seringkali jatuh bangun dalam memaknai penyerahan diri
kepada Allah, bagaimana itu ketaatan kepada Allah, kepada rasul, kepada mursyid dst, memang tidak
mudah, kita belajar terus.
Pada intinya tiada pertaubatan kecuali diikuti dengan penyerahan
diri, maka jalan manapun yang mengatakan sebagai jalan pertaubatan pasti ada
mekanisme berserah diri kepada Allah taála, Adapun berserah diri yang sesungguhnya bukan
semata-mata terletak pada pemotongan pikiran, syahwat, hawa nafsu, tapi sebuah
mentalitas, sebuah jiwa, sebuah kesadaran. Berserah kepada Allah taála adalah sesuatu abstrak, ukurannya apa? Kita hanya membentuk pengalaman pribadi masing-masing dan kita berinteraksi antara takdir yang ditetapkan kepada kita. Melalui takdir harian
kehidupan itulah kita belajar menemukan cara berserah diri yang Dia ridhai
untuk diri masing-masing.
(Sajian ulang dari Pengajian Hikmah Al Quran yang disampaikan Kang Zam, 17 Desember 2005)
terima kasih mbak atas tulisannya..semoga kalo ada postingan lagi, mohon aku dapat dishare kembali.
ReplyDeletealhamdulillah, biasanya saya share via facebook. Nah mickey ini nama facebooknya apa ya?:)
Delete