Sunday, August 30, 2020

 THE ART OF STORYTELLING


Menyampaikan sebuah kisah kepada anak yang baru belajar simbol huruf berbeda dengan anak yang sudah fasih membaca. Bercerita kepada anak saya yang bungsu akan membantu jika diberikan banyak gambar untuk menjembatani simbol huruf yang ia masih harus pelajari. Tapi untuk anak saya yang sudah biasa melahap buku lebih tebal dengan tanpa banyak ilustrasi di dalamnya. Akalnya lebih membutuhkan untuk lebih berimajinasi sendiri dengan menginterpretasikan kata-kata yang ia baca. Singkatnya, penyampaian sesuatu itu disesuaikan dengan kemampuan tangkap dan natur seseorang.


Menyampaikan sebuah kebenaran juga harus memerhatikan obyek yang kita ajak. Jika kebenaran disampaikan apa adanya tanpa dikemas dalam format yang pas bagi alamnya, biasanya akan mentah-mentah ditolak.


Contohnya, kalau saya mencoba menyampaikan kebenaran kepada orang yang sudah alergi dengan agama dan bahkan trauma mendengar kata Tuhan. Maka saya kemas kebenaran itu dalam bahasa yang lebih bisa ia terima. Misal, menggunakan kata "Universe", "Consciousness" dll. Dan menghindari penyebutan quote dari kitab suci sebagai referensi dari sesuatu. 


Strategi ini mirip dengan pemberian dosis makanan berbahan baku kacang dalam skala sangat kecil untuk kemudian ditingkatkan perlahan-lahan bagi seseorang yang punya alergi kuat terhadap bahan kacang. Sedemikian rupa kuatnya reaksi alergi ini seseorang bisa mati hanya gara-gara memakan satu biji kacang. Tapi tubuh ternyata punya respon canggih untuk mengatasi alergi ini. Caranya adalah dengan dipaparkan dengan bahan kacang dalam dosis sangat kecil dan terpantau oleh dokter. Dalam waktu tertentu maka ia tidak bisa aman mengkonsumsi kacang.


Nah, orang yang sudah sentimen dan anti dengan agama juga bisa kita dekati dengan strategi serupa. Tidak adil baginya untuk tiba-tiba harus menelan sekian informasi bulat-bulat dari kitab suci misalkan. Kita harus coba kemas dan terjemahkan dalam bahasa yang ia pahami. Karena kalau tidak, reaksi alerginya bisa membuat dia "mati", dalam arti makin lari dari agama, dari Tuhan. Kasihan kan...


Untuk orang jenis ini kita sesuaikan cara penyampaian kita. Seperti saya gambarkan perbedaan cara penyampaian cerita yang berbeda bagi dua anak tadi. Dibutuhkan kepekaan untuk mengidentifikasi kemampuan terimanya dan daya empati yang tinggi untuk bisa meraba luka-luka dalam hatinya agar kita tidak menyentuh topik-topik atau bahasa tertentu yang seolah menyentuh luka itu. Tunggu saja, seiring dengan waktu, doa dan kebaikan yang ada insya Allah tidak ada luka yang tidak sembuh. 


Baru di saat itu, ketika luka-lukanya mengering, ketika ia mulai bisa berjarak dari traumanya, ketika akalnya mulai siap menerima. Kita baru bisa bilang apa adanya. "Eh, sebenarnya semua hal yang aku bilang selama ini ada di Al Quran lho. Allah yang berfirman..." 


It's the art of storytelling.



No comments:

Post a Comment