Ada kisah lucu tapi menyimpan hikmah besar.
Yaitu ketika Nasruddin Hoja suatu malam ditemukan oleh kawannya tengah
berputar-putar di dekat lampu jalanan sambil menunduk tampaknya sedang mencari
sesuatu. Sang kawan bertanya, “Hai Nasruddin, apakah kau mencari sesuatu?”
“Iya, kunciku hilang” jawab Nasruddin
sambil masih merunduk dan menyusuri area terang yang disinari cahaya lampu.
“Dimana, kau terakhir kali ingat
meninggalkan kunci itu?” tanya kawannya yang saat itu mulai bergerak membantu
Nasruddin mencari kuncinya yang hilang.
“Di dalam rumah itu” Nasruddin mengarahkan
telunjuknya ke sebuah rumah yang terletak tak jauh dari tempat mereka berada.
“Lantas, mengapa kau mencarinya di jalanan
ini?” kawannya kebingungan.
“Ya, karena di dalam rumah itu gelap,
disini lebih terang.”
-----
Kita bisa tertawa geli dengan keluguan
Nasruddin yang mencari kunci di tempat yang pasti tak akan ditemukan disana
dengan alasan yang polos semata-mata bahwa tempat itu terang. Padahal kuncinya
jelas ada di dalam rumah.
Itulah “logical fallacy” sebuah upaya
mencari solusi dengan menggunakan logika yang salah, akhirnya pasti hasil yang
diinginkan tidak akan tercapai. Kalau mau jujur, kita kerap terperangkap dalam
kesalahan berpikir yang serupa dalam beragama.
Contoh sederhana, kita punya sekian masalah
dalam kehidupan. Betul kan? Siapa sih orang hidup yang tidak punya masalah?
Semua punya medan perjuangannya masing-masing. Kadang sesuatu yang tidak
ditangkap oleh orang luar yang mengira kita tenang-tenang saja hidupnya. Tapi gejolak hati, perasaan dan
pikiran seseorang siapa yang tahu?
Kita butuh bantuan Allah sebenarnya
membereskan persoalan rumah tangga kita yang berantakan, merapikan pekerjaan
kita yang terbengkalai, mendisiplinkan anak yang mulai berulah dsb. Bukankah
alam semesta dalam genggaman Dia Dzat Yang Maha Kuasa? Teorinya hafal betul
kita. Tapi praktiknya ketika anak sakit, ketika butuh uang, ketika butuh bisnis
lancar, ketika butuh jodoh dll apakah yang pertama kali kita minta tolong
adalah Allah?
Coba ingat-ingat lagi dan jujur. Respon
pertama kita di saat ada kesulitan. Apakah mengandalkan pasangan? Mengharap
dibantu keluarga? Mengandalkan tabungan atau gaji bulanan? Menyenderkan diri
pada janji ini-itu dari si fulan. Mengandalkan dokter yang terkenal itu. Bahkan
mengandalkan kyai tertentu sekalipun. Sementara Allah sendiri biasanya
diandalkan di saat-saat akhir, ketika semua upaya horizontal habis dan biasanya
tak berbuah. Baru kita berteriak, “Ya Allah, tolong…”
Padahal adabnya bukan begitu. Kepada Allah
dulu adukan semua permasalahan dan kebutuhan kita. Ini justru titik awal yang
akan membuat proses berikutnya berbeda sejauh langit dan bumi. Kenapa? Karena
kalau Allah dihadirkan di awal waktu, di awal respon, maka Dia akan hadir.
Karena janji-Nya, “Ingatlah kepada-Ku, Aku akan ingat kepadamu.” Spontan.
Begitu saja.Bahkan tidak ada kata sambung “dan Aku akan ingat kepadamu.”
Kalimatnya lugas, jelas, “ingat Aku – Aku ingat kamu”. As simple as that.
Bedanya kalau Allah mengingat seseorang, maka orang itu tengah menjadi sasaran
pandangan-Nya. Kehadiran tatapan-Nya itu akan membuat seseorang dan
kehidupannya berubah. Yang tadinya rapuh jadi lebih kuat, yang tadinya mudah
putus asa menjadi lebih kokoh, yang tadinya sulit “move-on” jadi lebih mudah
“let it go”. Begitupun semestanya bisa “kun faya kun” diubah. Jalan keluar tiba-tiba terbuka, hal yang
sulit jadi mudah, penyakit pun bisa dibuat hilang dan sembuh begitu saja. Dan
tidak sekadar dimudahkan urusan dunia, tapi hikmah dan makrifatnya dapat.
Sehingga dengan terbukanya kesulitan hidup maka bertambahlah cinta dan
ketakjuban kita kepada-Nya.
Itu kunci yang kita cari. Kunci yang
mengubah kehidupan kita lahir dan batin yang terletak pada kualitas hubungan
kita dengan Allah Ta’ala dan pilarnya dibangun saat shalat. Maka, kalau kita
masih terjerembab pada permasalahan yang itu lagi, kalau kita masih terjerat
dalam kesulitan hidup yang lama. Coba renungkan, jangan-jangan kita berlaku
seperti Nasruddin tadi, mencari-cari kunci di tempat yang tidak semestinya.[]
No comments:
Post a Comment