Friday, May 1, 2020


Mengapa sulit bersabar? Karena kebanyakan kita masih dikuasai oleh hawa nafsu, syahwat dan pikiran yang salah. 


Hawa nafsu yang enggan mengalah, ingin selalu dihormati, gila pujian dan selalu ingin terlihat lebih dari yang lain membuat sulit kita menerima kenyataan bahwa dunia itu kadang di bawah dan kadang di atas. Sulit melihat bahwa dibalik celaan yang ditujukan kepadanya sebenarnya adalah sebuah obat pahit yang menyembuhkan penyakit di dalam hati yang bernama kesombongan. Hawa nafsu juga yang cenderung menghembuskan keinginan untuk selalu menonjol dan mendapat perhatian, ingin dipandang lebih dari yang lain, takut dipandang gagal dan takut dikatakan miskin dan tak berdaya. Padahal kegagalan adalah bagian dari perjalan dan kalau ia benar-benar paham. Sungguh tidak ada manusia nomor dua di dunia ini. Karena setiap orang diciptakan dengan keunggulannya masing-masing. Jadi tidak ada ruang untuk beradu unggul. Itu hanya arena untuk orang-orang bodoh.


Syahwat kita yang terbiasa makan enak, biasa dimanjakan dengan segala macam fasilitas, biasa tidak hidup susah dan ingin yang serba mudah membuat kita mengikat diri kita sendiri dalam penjara ilusi kenikmatan. Padahal hidup selalu punya cara untuk membuat kita tidak nyaman. Bahwa kesulitan dan ketidaknyamanan adalah bagian dari perjalanan menjadi dewasa.


Sedangkan pikiran yang tidak dikelola dengan benar hanya akan menghembuskan hawa panas dalam dada dengan sekian mantra salah seperti. “Coba kalau saya punya ini”, “Andai saja aku tidak mengambil keputusan itu.” Atau ajian ketakutan seperti, “Bagaimana nasib anak-anak? Bagaimana saya bisa membiayai orang tua saya?” dan lain-lain. Lupa kalau ia datang dulu tanpa membawa apa-apa dengan dipinjamkan seluruh potensi dan kemampuan hingga menjadi seperti sekarang adalah karena ada Tuhan Yang Mengatur semua. Tuhan yang sama yang akan mengurus anak-anak dan orang tuanya, tentunya. 


Pikiran yang tidak dikelola dengan baik cenderung mencerabut seseorang dari panggung dunianya per saat ini dengan hanya menginginkan apa yang belum tiba, mempertakuti dia dengan apa yang tidak nyata, menghantui dengan bayangan masa lalu, memoles keburukan agar tampil seolah-olah baik dan menutupi kebaikan dengan selubung yang buruk. Apapun itu hingga manusia menjadi makhluk yang tidak bersyukur.


Lantas bagaimana mengendalikan tiga kekuatan yang membuat jiwa kita lumpuh karenanya? 


Kuncinya dengan bersujud.

Seperti firman-Nya, “…masukilah gerbangnya dengan bersujud…” (QS Al Baqarah: 58)


Sujud itu menempatkan pikiran beserta segala komponen yang dikendalikan hawa nafsu dan syahwat pada posisi di bawah hati. Sujud itu kembali membuat hati kita sebagai Baitullah, rumah Allah. Agar ia tidak ditempati berhala-berhala yang merupakan bentukan dari alam pikiran, hawa nafsu dan syahwat. Agar manusia kembali benar-benar mengagungkan Allah. Bukankah itu yang tiap kali kita ucapkan saat shalat. “Allahu Akbar”. Allah seharusnya yang menjadi lebih penting dari segalanya. Allah seharusnya yang lebih dapat diandalkan dibanding semua perhitungan dunia kita. Allah seharusnya yang lebih ditakuti dibanding ketakutan sebesar apapun yang mencengkeram kita.


Oleh karenanya, kenapa kita masih sulit bersabar bisa jadi karena sujud yang kita lakukan dalam shalat yang banyak itu masih sujud raganya saja. Belum diikuti dengan sujud dari hati yang terdalam. Karena selama kita masih mengandalkan pikiran dalam membaca dan menganalisa kehidupan dengan menomorduakan pertimbangan Allah, saat itu pula kita masih belum bersujud. Posisi kepala kita masih ada di atas hati.[] 


No comments:

Post a Comment