Wednesday, April 29, 2020

Pernah mencoba berjalan dengan sepatu yang alasnya retak atau terlepas sebagian? Tentu tidak nyaman. Atau mencoba minum dari gelas yang retak. Tentu sulit, karena airnya akan keburu tumpah mengalir dari retakan yang ada. Dalam tradisi orang Jawa bahkan dianggap ‘pamali’ minum dari mulut gelas yang rusak.

Sesuatu yang retak dan pecah membuat apapun itu menjadi tidak berfungsi dengan baik. Gelas yang retak menjadi tidak berfungsi menampung air. Cermin yang retak bahkan pecah menjadi tidak berfungsi memantulkan bayangan dengan baik. Kacamata yang retak menjadi agak buram penglihatannya.
Lalu bagaimana dengan diri kita yang retak dan belum menyatu? Pikiran ingin A tapi hati ingin C, sedangkan keadaannya lain juga. Tidak harmoni antara pikiran, perasaan dan keadaan. Inginnya menjadi hamba Allah dan masuk ke surga-Nya, tapi diri masih dikuasai hawa nafsu dan syahwat. Badan terseok-seok menjalani rutinitas harian sementara hati inginnya berada di dalam keadaan lain.  Mulut boleh tersenyum atau wajah dibuat ceria, tapi tatapan mata yang kosong tidak bisa dibuat-buat dan hati yang hampa tidak bisa disembuhkan oleh polesan dunia apapun. Karena hati dicipta sebagai Baitullah, rumah Allah.

Selama hati masih mendua, mencintai Allah juga mencintai dunia. Kita masih terpecah pada hakikatnya. Belum fokus. Dan belum layak menampung air anugerah-Nya.
Melekatkan sesuatu yang pecah itu di dalam diri itu hanya bisa dilakukan oleh Sang Pencipta. Yang kita bisa lakukan sebagai ikhtiar seorang hamba adalah mendekatkan semua serpihannya. Tapi tak ada satu makhluk pun di dunia, tak ada satu kursus pun dan tidak ada pendidikan apapun yang mampu merekatkan dengan erat serpihan-serpihan diri. Padahal ikhtiarnya sangat bisa untuk dilakukan, yaitu melalui shalat yang baik.

Dalam shalat kita dilatih untuk menyatukan semua elemen tubuh, pikiran, perasaan, beserta seluruh sel yang ada. Itu adalah sebuah proses pentauhidan diri yang penting. Oleh karenanya kekhusyukan di dalam shalat akan tercermin dalam perilaku di luar shalat. Jika dalam shalat pikiran masih kabur kemana-mana. Maka jangan aneh kalau kita masih kesulitan mengontrol perasaan. Masih mudah terbawa emosi dan rapuh dipaparkan oleh dinamika dunia.

Kuncinya di dalam shalat. Selama shalat kita berantakan, maka jangan berharap diri dan kehidupan kita akan rapi. Kalaupun merasa hidup baik-baik saja seperti tidak ada masalah, itu pun hanya fatamorgana. Hanya menunggu waktu bom waktu kerapuhan diri akan terkuak. Pecahnya diri akan juga mendatangkan penyakit, baik itu secara psikologis ataupun fisik. Karena retakan-retakan yang belum menyatu akan saling menggesek satu sama lain. Seperti kalau kita berjalan dengan sepatu yang retak tadi. Tidak nyaman dan hanya menunggu waktu kaki kita sakit. Padahal solusinya dekat sekali. Karena Allah Maha Dekat, dan Dia yang sanggup memperbaiki apa-apa yang pecah.

When there is a will there’s a way.

No comments:

Post a Comment