Mendekat kepada Allah itu tidak bisa ngoyo.
Sama sekali tidak bisa dengan mencampakkan dunia kita.
Sebagai ibu yang pernah mengasuh dua anak balita yang berbeda usia 2 tahun. Saya mengalami jatuh bangun dalam membangun ketaatan saya kepada-Nya. Satu sisi saya ingin shalat dengan baik, tepat waktu, bisa dzikir dengan tenang dll. Hal yang masih relatif mudah saat anak-anak masih bayi dan banyak tertidur di dalam ranjang bayinya. Tapi ketika mereka mulai merangkak, belajar berjalan dll maka sangat sulit. Kita hilang sebentar dari penglihatan mereka untuk wudhu saja, mereka sudah menangis. Kadang akhirnya untuk mengejar awal waktu shalat, saya shalat sambil menggendong dan menenangkan mereka.
Repot memang, tapi anehnya justru itulah anak tangganya ternyata. Karena beberapa kali saya mencoba “memotong jalan” dengan cara menyewa baby sitter dengan ide agar saya lebih tenang beribadah lalu saat itu mengejar deadline menulis terjemahan buku. Tapi apa yang terjadi, dzikir saya malah terasa hambar dan ide-ide untuk menulis jadi tersendat-sendat jalannya.
Sebaliknya, kalau saya beres mengurus anak-anak walau sampai kelelahan tertidur di atas sajadah. Tapi justru di saat itu entah kenapa dzikir yang dipanjatkan menjadi sangat menyentuh hingga alas sajadah saya ditetesi banyak air mata. Nikmat sekali merasakan Dia dekat. Bahkan pernah suatu saat anugerah terbesar dalam meneruskan terjemahan Kitab Nabi Idris di saat itu - turun saat jelang shubuh ketika saya tertidur semalaman di kursi rumah sakit sambil menggendong Rumi, anak bungsu saya yang sakit sesak hingga diopname di rumah sakit.
Sejak saat itu saya mulai paham bahwa jalan menuju kepada-Nya hanya melalui anak-anak tangga yang Dia berikan dalam kehidupan kita. Suami yang itu, anak yang itu, orang tua yang itu, keadaan yang itu, kesehatan yang itu dan semuanya. Sungguh sesuatu yang dekat dan melingkupi kita. Bukan hal yang jauh dari jangkauan dan tidak nyata.
Dalam sejarah kita juga mengetahui bahwa tindakan-tindakan memuliakan tamu-tamu Allah yang dihadirkan dalam kehidupan masing-masing itu justru malah sesuatu yang efektif mendapatkan perhatian dan pertolongan-Nya. Misal seorang Tirmidzi muda yang menahan hasrat tinggi untuk mengembara dan mencari ilmu seperti teman-temannya demi mengurus ibunya yang sakit-sakitan. Kemudian Allah balas dengan mengirim guru privat. Tidak tanggung-tanggung, setingkat Nabi, yaitu Khidir as.
Lalu seorang yang sudah menabung sekian lama untuk berhaji, pada saat ia akan berangkat haji kemudian mengurungkan niatnya dan malah memberikan seluruh tabungan hajinya untuk menolong keluarga yang kelaparan. Tapi kemudian dalam riwayat malah dikabarkan bahwa dari semua jamaah yang berhaji saat itu dikatakan hanya amalan haji orang ini yang diterima, padahal beliau sama sekali tidak pergi haji. Tapi niat untuk berhajinya telah sampai dan diterima Allah. Indah sekali.
Demikianlah beragama. Mencari jalan yang dimudahkan dan merahmati semestanya. Tidak ngoyo. Dan harus work with the flow. God’s flow, not ours.
No comments:
Post a Comment