Tuesday, May 12, 2020

Dari kedua orang tua saya diajarkan untuk menghormati "orang-orang kecil". Saya beri tanda kutip, karena itu kata-kata yang saya anggap tidak pas disematkan kepada mereka. Para pejuang kehidupan yang menyambung kehidupan dengan menjadi tukang sampah, berjualan kangkung keliling kota, memikul bakul jamu atau keranjang makanan berkeliling dari rumah ke rumah di bawah terik matahari dan guyuran hujan.

Saya dan almarhum ayah punya kebiasaan jika menginap di luar kota untuk berjalan-jalan ke daerah pasar di pagi hari, saat matahari baru bersinar. Ayah akan mengajak saya naik becak, sepanjang jalan dia akan ajak abang becak mengobrol kadang dengan Bahasa Jawa yang awut-awutan saat Mas Becak kurang fasih berbahasa Indonesia. Dan sepanjang jalan kami akan tertawa karenanya. Ayah akan membawa saya menghampiri mbok penjual gudeg, penjual jamu, kakek penjual mainan dari kayu sambil mengajak ngobrol mereka. Dari ayah saya belajar menghargai setiap orang, tak melihat status ekonomi atau kedudukannya.

Ibu pun tak kurang "ngga tegaan", she has soft spot especially to old people. Beberapa kali saya dan ibu sedang berkendara, beliau tak segan-segan menghentikan kendaraannya dan melambai-lambai memanggil orang tua di pinggir jalan yang dia kebetulan lihat. Kadang membeli sapu yang sebenarnya tak dibutuhkan.  Dan beliau selalu melebihkan pembayarannya.

Kami biasa memperlakukan semua orang equal. Pembantu yang tinggal di rumah kami mendapat menu makanan yang sama dan dihormati. Saya marah dimarahi kalau menyuruh "Bibi", demikian panggilan  saya bagi para asisten rumah tangga saat itu, jika tidak sopan dan harus disertai kata "Tolong". Maka asisten rumah tangga dulu sudah seperti keluarga saja. Mereka tinggal bersama atau bekerja di rumah lebih dari satu dekade lamanya.

Bagi saya mereka adalah guru-guru kehidupan.

 Dari tukang roti Carirasa yang biasa bersepeda puluhan kilometer setiap hari saya belajar tentang keindahan sebuah senyuman. Setiap kali bertemu beliau selalu tersenyum. Walaupun hari panas dan kaosnya basah oleh keringat, pun walau saya tak membeli rotinya seperti biasa.

Dari pasangan tukang nasi goreng di depan Rumah Sakit Cikini Jakarta saya belajar tentang kekompakan dalam mencari nafkah. Mereka melakoni bersama berjualan nasi goreng setiap malam selama 15 tahun lamanya.

Dari ibu tua pemulung kertas yang tidur di depan emperan toko saya belajar bahwa kenikmatan hidup itu adalah sesuatu yang pikiran kita ciptakan. Saya malu jika mengeluh kurang ini-itu dan ingin ini-itu, sementara ada seorang ibu tua yang belasan tahun tidur di lantai beralaskan karton dan kain-kain tipis, hidup di atas gerobaknya dan mandi di masjid terdekat. And yet, beliau masih bisa tersenyum renyah.

Dari ibu penjual makanan bungkus di gang Raden Saleh saya belajar tentang ketulusan. Saya biasa membeli makan malam kepada beliau nasi dan telur dadar seharga empat ribu rupiah (itu harga sekitar tahun 2009) saya suka ibu ini karena ramah sekali, selalu tersenyum dan menyapa. Dan saya selalu memberinya uang 5000 rupiah dan tak mau diberi kembalian. Saya kaget ketika saya menikah di Bandung ibu ini datang beserta keluarganya, padahal ongkos Jakarta-Bandung pasti besar untuknya.

Ah, terlalu banyak kisah-kisah kehidupan yang bisa kita pelajari dari mereka. Para pejuang kehidupan yang menjalani kehidupan dengan gagah. Apa adanya dijalani saja tanpa keluh kesah.

"Jalani saja"
"Yang kecil jadi besar kalau kita bersyukur"
"Bahagia itu di hati"
"Yang penting masih bisa usaha"

Itu salah satu dari pesan yang mereka sampaikan. Tanpa harus berkata-kata pun kita sudah langsung menyerap kekuatannya. Karena mereka sudah menjalaninya sehari-hari.

Maka jangan sungkan-sungkan untuk berinteraksi dan belajar dari mereka yang sering kita sebut "orang kecil" itu. Dan kita akan menyadari bahwa mereka sebenarnya adalah orang-orang yang "sangat besar"

Keterangan foto: bercengkrama dengan grup pengamen di salah satu warung di kota Solo sekitar tahun 2009.

No comments:

Post a Comment